webnovel

Tuhan, Mengapa Engkau Memanggil Papa Secepat Ini?

Esoknya aku pergi Ke Blitar. Wajah Papa selalu terbayang. Seolah sedang menatap dan memanggil-manggilku untuk pulang. Sumpah! aku merasa jadi anak durhaka karena sudah lama tidak menemuinya. Padahal kabar terakhir yang aku terima, Papa sudah dua kali masuk rumah sakit.

Aku pergi sendiri tanpa bilang kepada teman-teman yang lain. Lagi pula mungkin saat ini teman-teman sudah jijik kepadaku karena mau diajak berdua oleh si Samuel berengsek itu. Andai aku tahu sejak awal bahwa si Samuel seorang predator, tentu aku tak sudi meskipun sekadar kenal.

Kini semua sudah terlambat. Aku tidak hanya dikenal sebagai pemakai narkoba, tetapi juga sebagai gay.

Astagfirullah ... desahku sambil terus menyetir.

Butuh lima sampai enam jam perjalanan dari Surabaya ke Blitar. Aku lelah, tapi mau bagaimana lagi. Rasa rindu kepada Papa menjadi energi gaib yang membuat tubuhku kuat. Terbayang wajah bahagia Papa saat bertemu denganku. Papa memang senang bercanda jika bertemu aku. Ah, tunggu aku, Pa.

Sekitar jam satu aku sudah sampai di Blitar. Namun, masih butuh satu jam lagi untuk bisa sampai ke rumahku yang berada di pelosok. Banyak penjual buah berjajar di sepanjang jalan. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak untuk istirahat. Aku membeli makan karena lapar sekaligus membeli apel untuk Papa.

Papa pasti senang bertemu denganku. Apalagi melihat anaknya baik-baik saja. Aku memang tak pernah menampakkan kesedihan di depan semua orang, terutama Papa. Jika sedang sedih, aku memilih diam menyendiri untuk menghisap ganja, meminum wiski, atau menenggak beberapa butir obat terlarang. Setelah mabuk parah, biasanya aku tertidur.

Ketika sampai di perbatasan Blitar, tiba-tiba langit mendung. Kendaraan aku pelankan karena hati gelisah. Aku putuskan untuk menepikan mobil dulu sekadar menenangkan hati. Tak berhasil. Hatiku makin gelisah. Mungkin di sana, di Surabaya, teman-teman sedang menggunjingkan aku karena sudah menginap berdua dengan si Samuel berengsek itu.

Huh ... biarlah. Jika harus tidak punya teman, akan kujalani hidup ini sendiri. Akan aku biarkan jiwa ini merdeka tanpa batas.

Jam menunjukkan pukul 1.15. kira-kira 10 kilometer lagi akan sampai rumah. Jalan mulai berkelok-kelok. Di kiri-kanannya jurang. Aku memelankan laju mobil. Habis jalan yang berkelok-kelok, jalanan yang aku tempuh menurun seolah menuju lembah. Aku semakin berhati-hati dan akhirnya bisa menarik napas dalam sedikit lega ketika mulai melewati perkebunan kelapa sawit. Ketika sampai di kaki gunung, aku berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan di sana.

***

"Kenapa di depan rumah banyak orang?" tanyaku kepada diri sendiri. Perasaanku semakin tidak enak. Sepertinya terjadi sesuatu di rumah. Jangan-jangan Papa ....

Aku memakirkan mobil, kemudian segera turun dan berlari menuju rumah. Menyelinap di antara tetangga yang hanya menatapku iba. Sampai di depan pintu, kulihat Papa tengah terbujur kaku dengan kain batik yang membungkus dirinya.

"Papa!" Aku menjerit sembari melesat ke arah jenazah Papa yang terbaring di ruang tengah.

Kubuka penutup kepalanya. Wajahnya pucat. Tak ada senyuman di sana. Senyuman yang membuatku bahagia. Tak ada. Yang tersisa hanyalah wajah beku tanpa ekspresi. Dingin.

"Jangan pergi, Pa!" Air mataku meleleh.

Kupeluk Papa sembari menggoyangkan tubuhnya dengan harapan Papa membuka mata. Nirguna, Papa telah pergi untuk selamanya.

Ya Tuhan, mengapa Engkau memanggil Papa secepat ini? Mengapa?

***

Prosesi pengurusan jenazah berjalan lancar. Hampir semua tetangga ikut membantu tanpa diminta. Ada yang bertugas menggali kubur, memandikan, dan membuat papan lahat serta batu nisan. Semua mereka lakukan dengan sukarela.

Saat jenazah Papa mulai ditandu diiringi kalimat tahlil menuju permakaman umum yang terletak di ujung desa, hatiku sangat perih. Langit mendung, angin berembus pelan menurunkan gerimis. Beberapa kali aku mendapatkan ucapan dukacita dari tetangga dan kolega Papa. Semua hanya aku tanggapi dengan anggukan. Tak ada seorang pun yang mampu menghiburku.

"Mama? Di mana Mama?" tanyaku kepada diri sendiri.

Aku mengedarkan pandangan. Namun, sosok yang aku cari memang tak ada. Aku menarik napas. Hatiku semakin perih.

Tiba di permakaman, gerimis semakin deras. Hal itu tak menyurutkan aku dan para pelayat yang bermaksud menguburkan Papa. Semua tetap pada posisinya. Tak heran, jika kematian Papa sangat disesali oleh para tetangga, karena semasa hidup, apalagi dulu ketika Papa masih sukses, banyak orang yang telah merasakan kebaikan Papa. Tak heran juga jika para tetangga di desa lebih menghargaiku ketimbang teman-teman di Surabaya.

Pemakaman selesai. Aneh, gerimis pun berhenti, tetapi air mataku tak jua tuntas. Ketika para pelayat satu per satu mulai kembali ke rumah masing-masing, aku masih saja terpaku, duduk di samping pusara Papa. Angin yang berembus kencang dan sisa-sisa gerimis yang dibawanya tak berarti apa-apa jika dibanding dengan gerimis di hatiku. Baru kali ini aku merasakan kepedihan yang begitu dalam. Namun, aku sadar, tidak ada gunanya aku terus bersedih. Papa sudah tiada, Papa sudah tenang. Aku tak ingin kesedihanku mengganggu ketenteraman Papa di alam sana.

"Pa ... tenanglah di sana. Aku janji akan sering datang kemari," lirihku di antara desau angin.

Aku berdiri, memutar tubuh kemudian melangkah pelan. Namun, ketika sampai di pintu masuk area permakaman, aku kembali memutar tubuh. Di sana, dari arah pintu masuk permakaman sebelah utara, aku melihat seorang wanita berbaju hitam sedang berjalan di antara batu nisan. Aku segera membuang muka, lalu kembali melangkah lebih cepat daripada sebelumnya.

Sampai di rumah aku duduk di ruang tengah. Bi Ina, asisten keluarga yang sudah aku anggap keluarga sendiri sedang di dapur. Sunyi menyergap. Seolah tak ada lagi kehidupan di rumah ini. Para tetangga pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Entah sengaja memberi kesempatan kepadaku untuk sendiri, entah memang mereka punya kegiatan lain? Ah, lagi pula saat ini aku sedang tak ingin bicara dengan siapa pun.

Mataku tertuju pada beberapa pigura yang terletak di atas bufet panjang yang terbuat dari kayu jati setinggi pinggang orang dewasa. Aku berdiri lalu melangkah menuju bufet itu. Beberapa pigura berisi foto keluarga, kerabat, dan teman-teman masa kuliahku terpajang di sana. Namun, aku lebih tertarik pada sebuah pigura berukuran 14 x 20 berwarna biru isinya ada foto kebersamaanku dengan Papa dan, …. Samuel.

Ah, bisa-bisanya ada muka laki-laki keparat itu di sana. Sial, aku melupakan sesuatu. Sebelum insiden malam itu terjadi, hubunganku dengan Samuel baik-baik saja. Bahkan sangat dekat melebih saudara sendiri.

Aku sering mengajak Samuel pulang ke rumahku di Blitar. Dan anehnya, dia bisa akrab dengan Papaku. Tuh anak sebenarnya sangat baik dan mudah akrab dengan siapapun. Foto itu diambil saat Papa bermain catur bersama Samuel. Ya, Papa suka sekali bermain catur.

Aku jadi teringat saat kali pertama mengajak Samuel ke Blitar.

"Ini daerah tempat tinggalmu, Ri? Keren banget pemandangannya!" ucap Samuel waktu itu.

Saat mobil yang kami kendarai berhenti tepat di lereng gunung, Samuel begitu takjub melihat pemandangan perkebunan kelapa sawit yang terhampar luas sejauh mata memandang.

Hembusan angin yang lembut nan sejuk, membawaku pada masa lalu. Suasana seperti ini selalu aku rindukan.

"Ya, rumahku memang di daerah pegunungan. Lihatlah ke arah sana. Itu kampung halamanku." Aku menunjuk sebuah perkampungan di kaki gunung. Bangunan-bangunan yang tertata rapi dengan berbagai macam tipe dan dikelilingi banyak pepohonan tampak sangat mempesona.

"Pemandangan sebagus ini dan kamu tidak pernah mengajakku kemari? Luar biasa." Samuel menyindir.

Aku meringis. Benar sekali. Ini kali pertama dia datang ke tempat ini. Aku selalu mencari alasan tiap kali Samuel mengajakku pulang ke Blitar.

"Kamu tahu, dulu perkebunan kelapa sawit yang kamu lihat itu adalah milik Papaku. Tapi sekarang...." Aku memotong kata-kataku sendiri karena rasanya terlalu menyesakkan untuk diteruskan. Mengingat karena masalah itu keluargaku menjadi hancur.

"Sabar, ya," hibur Samuel.

Setelah puas menikmati pemandangan, kami kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.