webnovel

Part 06

     Suasana di dalam kelas sangat membosankan baginya. Oh, itu selalu. Mengingat dirinya lebih suka menyendiri dan jauh dari kebisingan. Ah---- jika saja guru killer itu tidak memberinya tugas, mungkin Yoongi sudah keluar kelas dan menyendiri lagi di sana. Ya, di tempat favoritnya. Di belakang sekolah. Sayangnya guru itu izin pergi dan meninggalkan tugas sebanyak ini untuk kami.

     Sial. Kalau ingin memberi jam kosong, seharusnya tanpa tugas. Tanggung sekali. Dan guru itu dari tadi sudah tidak ada. Tidak mungkin suasana kelas sepi, kan? Apalagi melihat pemandangan murid-murid yang teladan mengerjakan tugasnya sampai tuntas dan tepat. Tidak mungkin. Hanya seberapa, bisa dihitung dengan jari. Selebihnya, seperti biasa. Menggosip semua. Entah hal apa. Sudah melegenda sepertinya.

Tapi itu untuk yang lain. Tidak untuk Min Yoongi. Pria itu lebih memilih memejamkan mata seraya menidurkan kepalanya di atas meja. Wajahnya ditutupi topi hoodie yang dikenakannya. Yoongi tertidur.

     Sering kali temannya, Hoseok menasehati pria itu. 'Jangan sering suka menyendiri, Yoon---- itu tidak baik. Berbaurlah. Teman-teman yang lain banyak yang ingin gabung denganmu. Apalagi----- seorang gadis.'

     Mulut ember menyebalkan itu selalu bilang begitu. Membuat Yoongi muak tiap kali mendengar ucapannya. Tapi lihat, semua yang dia katakan selama ini apa berpengaruh untuk Yoongi? Tidak.

     Yoongi masih suka berpisah dan menyendiri dari keramaian. Entah. Sudah sifat aslinya, mungkin. Dari dulu takut dengan banyak orang. Sudah pernah Yoongi konsultasi, ternyata pria itu mengendap penyakit 'Social Phobia' atau sering disebut Anti Sosial. Yaitu suatu kondisi kesehatan mental kronis ketika interaksi sosial menyebabkan kecemasan irasional. Bagi penderita gangguan kecemasan sosial, interaksi sosial sehari-hari menyebabkan kecemasan, rasa takut dan malu. Mungkin bisa juga karena trauma di masa lalu.

.

.

.

.

.

.

.

"Yoon, Yewon bicara padamu. Apa tidak dengar?"

     Kepala Yoongi bangkit dari atas meja yang masih ingin ia tiduri disana. Membuka matanya perlahan. Dia hampir saja ketiduran. Hoseok tiba-tiba mencolek bahunya. Sontak, pria itu melepas headset yang masih ada di telinganya. "Ada apa?" ujarnya malas.

"Eumm----sudah sarapan?" Gadis itu masih sama. Selalu gugup saat berbicara dengan Yoongi.

Membuang pandangannya ke sembarang arah, lalu mendengus. "Jangan sok peduli seperti itu padaku. Pergi sana! Aku sedang malas bicara." ketus Min Yoongi.

     Yoongi kembali menidurkan kepalanya di meja. Sedangkan gadis itu---- masih terdiam kaku di hadapannya. Yoongi kesal. Akhirnya menatap sinis mengintimidasi gadis yang masih diam seperti orang bodoh. "Kenapa masih disini?" Jeda, "Kim Yewon, lihat. Teman-temanmu semuanya menatapku sinis begitu setiap kali kau meghampiriku. Tidak sadar, eoh?"

"Biar saja, Yoon. Aku tidak peduli mereka mau mengatakan seperti apa tentangmu. Tapi, aku tetap mencintaimu." Gadis itu lirih. Gugup. Hanya memainkan jari-jari tangannya yang bisa ia lakukan. Kepalanya pun tidak berani diangkat.

Yoongi mendengus kesal, "Aku tidak mau jadi bahan gosip teman-temanmu, Yewon-ah! Pergi sana!

     Lagi-lagi Yoongi menyuruhnya menjauh. Malas berurusan dengan gadis bodoh itu. Baginya, Yewon adalah gadis bodoh yang masih saja ingin mengejarnya. Selama ini, apa yang sudah Yoongi perbuat padanya? Tidak ada hal manis, bukan? Tapi kenapa gadis itu masih baik terhadapnya? Yoongi juga sampai bingung. "Dasar gadis bodoh!" maki Yoongi. Dirinya sama sekali tidak menatap Yewon yang masih setia berdiri di depannya.

Yewon lirih. Meringis sakit di dalam hatinya. Gadis itu ingin menangis. Perlakuan Yoongi tidak pernah membuatnya bahagia. "Y- Yoon, aku hanya ingin memberi ini." Yewon menyodorkan sebuah kertas kecil berwarna merah muda. Cantik. Tapi sayang, Yoongi tidak menyukai warna cerah itu.

Yoongi mengerenyitkan dahi. "Apa?"

"Kertas, Yoon----"

"Ck, aku tahu. Maksudnya ada isinya? Surat?" sahut Yoongi malas.

Yewon sontak mencegah Yoongi saat perlahan membuka kertas pink itu. "Jangan dibuka sekarang, Yoon!"

"Kenapa?"

Gadis itu menggeleng pelan, "Tidak sekarang. Masih banyak orang disini. Nanti saja saat di rumah."

Yoongi buru-buru menutup kembali kertas itu. "Baiklah." jawabnya datar.

"Dan---- oh, ya. A- aku bawa ini untukmu, Yoon." sekarang gadis itu menyerahkan dua kotak tempat makan berwarna hitam dan putih. Kali ini, warna kesukaan Yoongi.

"Di tempat makan berwarna hitam, ada nasi dan Tteoboekki kesukaanmu. Aku memasaknya sendiri tadi pagi, sebelum ayah dan ibu bangun. Ini khusus untukmu, Yoon." Jeda, "Kalau tempat makan berwarna putih, ada beberapa lembar roti tawar dan selai coklat. Itu kalau masakanku rasanya hambar. Tidak enak, atau semacamnya lah. Jadi, aku sengaja membuatnya dua kotak karena takut kamu tidak suka masakanku. Jangan suka melewatkan waktu makanmu, Yoon----- makanlah roti ini kalau kamu tidak sudi memakan masakanku." ujarnya panjang lebar.

[ ]

     Dia hanya khawatir jika Yoongi tidak makan. Jarang sekali melihat Yoongi menyantap makanan. Kalau dia sengaja memberinya makanan, pasti tidak pernah diterima. Sering juga tidak dimakan. Lupa. Kebiasaan.

Yewon ingin lebih memperhatikan kesehatan pria itu. Jika dirinya tidak pernah membahagiakan Yoongi, setidaknya gadis itu ingin meyakinkan Yoongi banyak makan.

     Tanpa ekspresi, Yoongi meraih kedua tempat makan itu. Oh, Yewon senang. Akhirnya pria itu mau menerima makanan pemberiannya. Semoga saja dia benar-benar memakannya. Dan---- suka dengan Tteoboekki buatannya. Tidak terlalu istimewa. Biasa saja. Yewon bahkan baru belajar memasak seminggu yang lalu dengan assistennya.

"Kalau begitu, aku kembali ne? Jangan lupa dimakan, Yoon." ujar gadis itu seraya tersenyum menatap Yoongi.

"Hm" sahut pria itu datar. Bahkan kelewat datar. Sampai tak ada ekspresi disana.

.

.

.

.

.

.

.

"Yewon memberimu apa?" ujar Hoseok. Sedari tadi dia duduk di sebelah Yoongi dan hanya sibuk dengan ponselnya. Namun, sesekali mendengar percakapannya dengan gadis itu.

"Kertas."

Hoseok tersenyum miring, "Ayolah, Yoon---- semua orang tahu itu kertas. Apa tidak mengerti maksudku?"

Yoongi menghela nafasnya malas, "Kalau disini ada kertas, apa lagi? Memangnya ada jaman sekarang orang menulis surat di batu?"

"Ck, kau kira masa pra aksara?" ketus Hoseok.

"Ya, wajahmu mirip manusia pra aksara. Seperti----Pithecanthropus."

[ ]

Yoongi terkekeh. Tapi ucapannya tadi justru mendapat satu tatapan savage dari Jung Hoseok. "Senang kau ya, meledek sahabatmu sendiri?"

Lagi-lagi Yoongi tertawa geli, "Aku bicara apa adanya, Jung!" Jeda, "Kalau ada kaca, coba perhatikan wajahmu baik-baik. Seperti manusia purba bukan?" kekehnya.

.

.

.

.

.

.

.

Pletakk!

"Yoon! Berhenti mengucap hal konyol seperti itu." Yoongi meringis tatkala Hoseok menjitak keras kepalanya. Lumayan. Sakit. Sampai Yoongi mengelus kepalanya yang sedikit membenjol.

Yoongi kemudian menyerahkan kotak nasi itu pada Hoseok. Dua-duanya. "Untukmu saja."

Hoseok mengerenyitkan dahi, "Yewon memberinya untukmu, Yoon. Kenapa memberi lagi padaku?"

"Aku sudah sarapan tadi di rumah."

Hoseok menggeser kotak nasi itu kembali ke hadapan Yoongi, "Terima saja. Cicipi masakannya. Dia sudah lelah memasaknya untukmu, loh---- yakin tidak ingin dimakan?"

"Kalau kau mau ambil saja." ujar Yoongi datar.

Menaruh ponselnya di meja, pria Jung itu segera menghadap Yoongi. "Yoon, jangan kelewatan cuek begini pada Yewon. Kau tahu kan, dia selama ini menyukaimu? Selalu memberi perhatian padamu? Tapi, apa kau tidak bisa sekali saja bersikap baik padanya? Dia juga punya hati, Yoon." Jeda, "Perasaan perempuan itu jauh lebih lembut dan mudah terluka. Yewon mungkin akan sakit hati jika diperlukan begini terus. Atau---- bisa jadi dia mulai bosan dan akhirnya lebih memilih berhenti mencintaimu." ujar Hoseok panjang lebar.

.

.

.

.

.

.

.

   Yoongi terdiam.

Sebetulnya, dia sedikit khawatir dengan perasaannya. Gadis itu selalu memberinya perhatian padanya. Yoongi takut. Takut hati yang membeku itu perlahan mencair. Takut jika sikapnya yang dingin itu tiba-tiba manis dan romantis hanya pada Yewon. Yoongi takut jatuh cinta dengan gadis itu.

"Kalau begitu, bagus."

Hoseok tersenyum miring, "Kau yakin dengan ucapanmu barusan? Ingat Yoon, penyesalan itu akan selalu datang di akhir. Lebih baik pertimbangkan lagi ke depannya. Jangan sampai kau juga harus kehilangan Yewon yang dari dulu menunggu kepastianmu."

     Lagi-lagi Yoongi bungkam.

Kepikiran dengan apa yang Hoseok katakan barusan. Sungguh, baru kali ini Yoongi dibuatnya bimbang. Khawatir dengan dua jalan yang bersimpangan. Dia ingin belajar mencintai Yewon, namun di satu sisi dia juga ragu dengan Yewon sendiri.

"Kau tahu kan, Namjoon juga menyukai Yewon?" Jeda, "Lihat, perlakuannya begitu manis pada Yewon. Dan---- sahabat-sahabatnya sangat senang jika mereka jadian."

Hoseok menunjuk ke arah Namjoon yang sedari tadi menghampiri tempat duduk Yewon dan teman-temannya.

Kemudian, ia kembali menatap Yoongi. "Tidak takut kehilangannya, eoh?

     Tidak ada jawaban dari Yoongi.

"Pikirkan baik-baik lagi, Yoon. Sebelum kau akhirnya menyesal dengan apa yang sudah terjadi."

.

.

.

.

.

.

.

~ to be continued ~