webnovel

Part 05

     Yoongi dan ibunya sudah duduk manis di meja makan. Selesai mandi, pria itu segera siap-siap berangkat ke sekolah. Jika ibunya tidak menyuruh sarapan, mungkin Yoongi akan pergi begitu saja. Justru itu ibunya sangat bawel menyuruhnya makan. Orang seperti Yoongi, mana kepikiran dirinya sendiri?

     Ruang makan itu tidak terlalu luas. Hampir dan bahkan sederhana. Ah, mari kita beri gambaran seperti ini; Dalam rumah keluarga Min Yoongi, jauh dari mewah. Bangunan tradisional yang mendominasi dari kayu dan pintu masuknya terbuat dari kaca. Ya, seperti rumah tradisional Korea pada umumnya. Tidak terlalu besar, namun nyaman ditempati.

     Dalam ruangan itu terdapat tiga ruangan. Ruang tamu dan ruang keluarga menjadi satu, setelah ruang tamu ada ruang makan serta tiga kamar tidur sederhana di tengah, dan di belakang ada dapur juga kamar mandi. Tidak terlalu luas, bukan? Tapi jangan salah. Halaman rumah itu sangat rindang. Banyak pepohonan dan tanaman hias disana. Ibunya suka mengoleksi berbagai macam tanaman hias sedari muda.

     Dan ruang makannya, tidak ada kursi. Melainkan hanya duduk lesehan di lantai yang digelar karpet tipis.

.

.

.

.

.

.

"Bu, Jungkook kemana?" Yoongi memutuskan menurut pada ibunya memilih sarapan terlebih dulu.

Wanita paruh baya itu mengambil satu sanduk nasi serta lauk ke mangkuk milik Yoongi, "Dia berangkat duluan. Ada kelas tambahan lebih pagi, katanya." Jeda, "Ada apa, Yoon?"

"Oh, tidak. Aku cuma tanya." Yoongi segera menyuap nasi yang sudah disanduk oleh ibunya.

"Yoon?"

Seru ibunya, membuat Yoongi menghentikan aktifitasnya dan beralih menatap sang ibu. Dia tahu, kali ini ibunya bicara serius. "Hm?"

"Maaf, ibu cuma bisa masak ini. Persediaan makan tinggal sedikit. Ibu tidak punya simpanan lagi, Yoon." ujar ibunya lirih.

     Pria itu hanya menghela nafasnya kasar. Sulit sekali sebenarnya menerima kenyataan ini. Karena jujur, Min Yoongi sudah lelah menerima nasib. Tuhan bersikap tak adil padanya. Mengapa cobaan yang seberat ini hanya menimpanya? Sudah---- tidak baik menyalahkan takdir kan? Ibunya pernah bilang, semua akan berubah dan berakhir baik jika kita tidak mengeluh.

"Tidak apa, bu. Yoongi suka semua, asalkan itu masakan ibu." hibur pria Min itu.

     Ibunya gemas melihat tingkah sang anak. Putranya selalu berhasil membuatnya menjadi moodboster hanya dengan kata-kata sederhana itu. Wanita itu tersenyum seraya mengelus kepala Yoongi, "Yoon, lama-lama kamu bisa jadi pengganti ayahmu."

Yoongi mengerenyitkan dahi. "Kenapa, bu?"

Perlahan, genggaman itu membuat telapak tangan Yoongi menjadi hangat. Genggaman yang selalu membuatnya tenang. Apalagi selain genggaman tangan seorang ibu?

"Dulu, ayahmu selalu bersikap manis pada ibu. Seperti kamu." ujar ibunya seraya menatap putranya.

     Yoongi tersenyum miring. "Ck, kenapa tiba-tiba suasananya jadi menyedihkan seperti ini?" Jeda, "Bu, tanpa ibu bilang lagi, aku akan menjadi sosok pengganti ayah. Pria yang selalu melindungi dan menjaga ibu. Pria yang selalu ada di sisi ibu. Dan---- aku juga berjanji, membuat ibu selalu bahagia. Karena ibu adalah wanita istimewa bagi Yoongi, bu." ujar Yoongi panjang lebar.

"Tidak akan ku biarkan ibu terus menangis dengan apa yang sudah terjadi." Perlahan, Yoongi menarik tubuh ibunya ke dalam dekapan, "Yoongi akan membuat ibu selalu bahagia. Jangan sedih lagi, ne? Yoongi ada disini---- di samping ibu." tangan kekar itu mengusap lembut surai ibunya.

Menyibakkan rambut panjang ibunya ke belakang yang dibiarkan terurai begitu saja. "Jika ada apa-apa, ceritakan semua pada Yoongi. Kita bisa mencari solusinya sama-sama." ujar Yoongi seraya mengecup lembut kening ibunya.

.

.

.

.

.

.

.

     Ibunya menangis.

Luluh dengan ucapan putranya barusan. Kata-kata yang selalu membuat perasaannya mencair. Perasaan yang juga selalu membuatnya kembali tenang. Bangga memiliki anak lelaki seperti Yoongi ini. Anak lelaki yang sangat menyayanginya. Tidak membiarkannya menangis sendirian akibat beban hidup yang menimpa.

_____***_____

"Yoon, terimakasih."

Yoongi kembali mengerenyitkan dahinya, "Untuk?"

Wanita paruh baya itu menggeleng pelan. "Entah. Pokoknya ibu sangat bersyukur memiliki anak sepertimu." Jeda, "Selalu membuat ibu tenang dan nyaman dengan semua ucapanmu."

"Bu, apa yang ku lakukan sampai sekarang pun tidak sebanding dengan perjuangan ibu selama ini untuk ku." sahut Yoongi. Senyuman itu akhirnya berhasil lolos di bibir mungilnya.

Yoongi menatap seraya mengelus perlahan kedua pipi ibunya. "Yoon, mau sampai kapan begini? Tidak ingin makan?----- Lihat jam, nak."

Yoongi sontak melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. "Baiklah, Yoongi akan makan dan segera berangkat."

     Dilepasnya tautan itu.

Tautan yang sebenarnya masih ingin Yoongi lakukan pada ibunya. Dia merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk ibu dan adiknya. Yoongi juga merasa bahwa dirinya sudah menjadi lelaki yang gagal.

Segera, pria Min itu kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya.

_____***_____

"Yoon, tadi nyonya Jang datang lagi kesini." ujar ibunya, memecah keheningan seketika.

"Ingin menagih hutang lagi?"

Ibunya melirik ke arah Yoongi yang masih lahap menyantap makanannya tanpa menoleh sedikit pun. "Iya. Memangnya masalah apa lagi?"

     Pria itu menghela nafasnya kasar.

Sebetulnya dia sungguh bosan jika ibunya membicarakan soal hutang itu disaat-saat dirinya pusing begini. Namun, dia tidak mau terus memperlihatkan wajah menyedihkan itu pada ibunya. Alhasil, hanya merespon seperti biasanya. Datar, dan---- tanpa ekspresi.

"Yoongi akan ambil lembur lagi nanti. Supaya ahjuma-ahjuma tua menyebalkan itu berhenti menemui dan memaki ibu." jawabnya keterlaluan santai.

     Ibunya terdiam.

Sumpit yang digenggamnya pun akhirnya dilepas dan ditaruh kembali ke mangukuk. Berhenti menyuap makanannya.

"Yoon, sudah ibu bilang berkali-kali----- berhenti bekerja dan fokus lah belajar, nak." Jeda, "Kau juga harus jaga kesehatanmu, Yoon. Tidak mengerti ucapan ibu, eoh?"

Memejamkan matanya seraya memijat keningnya perlahan. Yoongi juga berhenti makan dan menaruh sumpitnya di meja, "Hanya untuk sementara saja, bu."

"Persediaan bahan untuk berjualan juga habis kan? Dan---- ibu bilang tadi simpanan uang kita habis? Apa ibu mau membiarkan kita mati kelaparan?" tegas pria Min itu.

     Ibunya bungkam.

Tidak bisa lagi bilang apa-apa jika Yoongi sudah berucap seperti itu. Semua ada benarnya. Dia tidak ingin Yoongi lelah bekerja dan memikirkan tanggung jawabnya. Namun, di satu sisi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak mungkin juga keluarga itu hidup tanpa makan. Anak bontot nya, Jungkook juga masih membutuhkan biaya.

"Yoon, tapi kau tidak apa? Tidak lelah membantu dan memikirkan ini semua? Ibu hanya khawatir padamu, Yoon. Padahal, semua itu tugas ibu. Tapi, maafkan ibu, nak. Ibumu ini masih tidak becus menjadi yang terbaik untuk kalian. Ibu tidak bisa membahagiakan kalian. Ibu----"

"Bu, cukup bu!"

     Suara Yoongi perlahan mengeras. Matanya memerah menahan amarah yang telah meluap-luap. Urat-uratnya menonjol terlihat sangat jelas. Melihat ibunya lirih dan banjir air mata seperti ini membuat pria itu lagi-lagi merasa tak berguna.

"Ibu tahu? Betapa menyedihkannya aku jika ibu mengatakan hal seperti itu padaku? Aku merasa gagal, bu! Aku merasa gagal membahagiakan ibu."

     Lagi-lagi air mata sialan itu mengalir di pipi Yoongi disaat waktu yang tidak tepat. Entah mengapa hatinya sangat sakit jika sang ibu menangis di hadapannya. Kemudian, Yoongi menarik tubuh ibunya kembali ke dalam pelukan. "Ah---- bu, maafkan aku." Jeda, "Mau mendengarkan aku tidak?" ujar Yoongi.

Ibunya mengangguk pelan. Masih nyaman di dalam dekapan putranya. Dirinya juga masih menangis. Ingin mencurahkan semua isi hati pada anak lelakinya. "Bu, selama ini ibu selalu memberikan yang terbaik untukku dan juga Jungkook. Ibu-----" ucapnya terhenti. Yoongi akhirnya menangis.

"Ibu selalu membuat kami bahagia. Dan ibu juga tidak pernah gagal mendidik kita. Hanya saja, justru sebaliknya. Kami yang tidak bisa membahagiakan ibu. Kami juga belum bisa membuat ibu bangga memiliki anak seperti kami." Yoongi lirih. Meringis menahan sesak dalam dadanya. Tapi dia harus bisa tetap berusaha baik-baik saja di hadapan ibunya.

     Tangan lembut yang telah keriput itu perlahan mengelus kepala Yoongi. Ibunya tersenyum kecut menatap sang anak. "Yoon, sudahlah---- kita tidak boleh melemah seperti ini." Jeda, "Ibu tahu, kau laki-laki yang kuat. Cepat atau lambat, ibu akan semakin tua. Dan kau---- akan memiliki gadis pendamping yang akan menemani sisa hidupmu, Yoon. Semua akan baik-baik saja. Masalah ini pasti berakhir bahagia. Percaya pada ibu, nak. Ibu yakin kau kuat." ujar ibunya panjang lebar.

.

.

.

.

.

.

.

     Yoongi terdiam.

Luluh dengan ucapan ibunya. Nasehat yang membuat dirinya kembali tenang. Suara yang selalu membuat hatinya perlahan mencair. Semua perasaan khawatir di dalam dadanya juga perlahan menghilang.

Pria Min itu tersenyum, seraya memenatap wajah sang ibu yang masih nyaman membelai pipinya. "Iya bu, Yoongi percaya pada ibu. Yoongi---- akan bertahan demi ibu." Gummy smile itu kembali ia perlihatkan kepada ibunya. Sengaja. Untuk meyakini pada ibunya, kalau Min Yoongi ini akan baik-baik saja.

Membalas senyuman putranya, "Baiklah. Kalau begitu, lanjutkan sarapanmu. Segeralah berangkat. Ini hampir terlambat, Yoon."

Melepas pelukan ibunya. Kemudian kembali melihat ke arah jam dinding. Dia lupa. Hampir lupa kalau harus ke sekolah. Karena sanking nyamannya berada di pelukan itu. "Baik bu, Yoongi akan segera berangkat."

.

.

.

~ to be continued ~