*
"Merindukannya, setiap saat. Aku ingin di peluk erat oleh Mama, apa boleh kabulkan itu?"
*
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah karena badanku sedang panas, bahkan dari pagi saja aku muntah-muntah.
Bi Imas hendak membawaku ke rumah sakit, tapi aku tidak mau. Aku hanya merindukan pelukannya, Mamaku.
"Bi, kapan Mama pulang?" tanyaku dengan wajah pucat.
"Bibi sudah menelpon Mama Senja, tapi katanya sedang rapat. Kemungkinan nanti malam, Non." ujar Bi Imas.
Kembali kecewa, aku hanya bisa kemabali tidur dan memeluk Tty, boneka kesayanganku.
"Non, makan dulu."
"Tidak Bi, aku hanya ingin bertemu dengan Mama. Apakah Mama sudah memberi kabar baru?"
"Masih sama Non, tapi katanya bakalan pulang malam ini."
"Kalau Papa?"
"Beliau sedang ada di luar kota, kemarin malam beliau berangkat saat Non Senja tidur."
Aku mengangguk, sepertinya kedua orangtuaku memang sibuk. Lalu aku harus menunggu sampai kapan lagi?
"Bi, aku ingin makan pie, apa bisa?" tanyaku.
"Bibi akan buatkan, Non."
"Terimakasih Bi."
Pie memang kesukaanku, dari kecil aku sudah memakannya. Itu adalah obat yang lebih baik dari pada janji.
Keadaanku semakin memburuk, suhu tubuhku semakin memanas. Sedangkan aku bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit, karena aku tidak mau kalau di rawat di sana. Pasti tidak ada yang akan menjagaku, aku takut jika harus sendirian di sana.
"Bi, panggil Pak dokter saja." ujarku. Aku yakin kalau Pak dokter tidak akan menyuruhku ke rumah sakit.
Tidak lama Pak dokter sampai, dia langsung memeriksa tubuhku. Dan ternyata dugaanku salah, dia memintaku untuk pergi ke rumah sakit.
Aku masih mengelak bahwa sudah baik-baik saja, namun buktinya belum. Panas di tubuhku semakin tinggi saja, bahkan pusing di kepalaku sudah memberatkan aku untuk berjalan.
Akhirnya aku di bawa ke rumah sakit. Bi Imas memberitahu kabar ini kepada kedua orangtuaku, tapi rupanya mereka hanya memberikan uang kepada Bi Imas.
Kali ini aku sudah berada di sebuah ruangan, di sebuah brankar aku di tidurkan. Aku juga di periksa oleh seorang dokter dari rumah sakit itu. Sedangkan Pak dokter dan Bi Imas menunggu di luar.
Dokter ternyata menginginkan aku di rawat di rumah sakit saja untuk beberapa hari, jika aku pulih lebih cepat mungkin aku tidak akan lama di rumah sakit.
"Dokter, aku tidak ingin di rawat. Aku hanya ingin memeluk Mamaku." rengek ku.
Dokter itu tidak menggubrisku, dia hanya memeriksaku saja. Tidak lama, aku mulai mengantuk dan tertidur begitu saja.
Mataku mulai terbuka, aku melihat ke sekitar. Ruangan dengan nuansa berwarna putih di tambah dengan bau obat yang menyengat.
Benar saja apa yang aku bayangkan, tidak akan ada yang menemaniku di rumah sakit yang besar ini. Aku sendirian, bahkan Bi Imas saja tidak ada.
Ingin rasanya aku menangis saat ini, namun tidak mampu. Aku juga harus kuat sebagai seorang gadis kecil yang belum pernah mendapatkan pelukan.
"Non, sudah bangun?" tanya Bi Imas yang baru saja datang dengan tas besar yang dia bawa.
"Bibi dari mana?" tanyaku.
"Mengambil tas, untuk perlengkapan Non Senja selama di rumah sakit."
"Mama bagaimana, Bi?" tanyaku dengan penuh harapan. Mungkin saja mereka akan mengingatku jika aku sakit seperti ini.
"Non, istirahat dulu ya."
"Baik, Bi."
Sedih sekali, tapi mau bagaimana lagi. Aku harus mengurai rasa berharap pada seseorang. Karena berharap kepada seseorang akan sangat menyakitkan jika tidak sesuai.
Beberapa jam kemudian, aku sedang memakan bubur yang di sajikan oleh seorang suster.
Aku sedang di suapi oleh Bi Imas, sampai ada seseorang yang membuka pintu dari luar.
Sungguh bahagia, sampai aku hendak turun dari ranjangku ketika Mama datang menghampiriku meskipun dengan wajah letihnya.
"Mama!"
"MA!"
Bukannya berjalan kearahku, Mama hanya duduk di atas sofa dan berbicara pada Bi imas.
"Mama aku ingin memeluk mu!" ujarku dengan wajah sumbringah.
Bi Imas pun sama bahagia nya karena melihatku yang kembali tersenyum, tidak murung seperti tadi.
"Bi, gimana keadaan Senja?" tanya Mamaku-namanya Senia.
"Tadi waktu di rumah panas sekali Nyonya, sampai dokter yang datang pun meminta untuk Non Senja di bawa ke rumah sakit. Dan kata dokter di sini, Non Senja harus di opname Nyonya untuk beberapa hari, kalau sembuh lebih cepat kemungkinan keluar dari rumah sakit juga lebih cepat." ujar Bi Imas dengan rinci.
Aku tersenyum sambil merapikan rambutnya agar terlihat indah."Mama, Senja mau peluk Mama!"
Mama menoleh kearahku yang sudah meregangkan tanganku dengan lebar, namun Mama hanya menyuruhku diam.
"Kalau begitu Bi, titip Senja. Saya mau ke luar kota karena ada kerjaan."
"Tapi Non Senja kan butuh Nyonya."
"Kan ada Bi Imas, tolong ya Bi. Ini sangat penting sekali."
"Nyonya, setidaknya peluk dulu Non Senja yang sudah beregangkan tangannya itu." ujar Bi Imas.
"Bi, saya udah telat. Kalau gitu saya pergi dulu, tolong ya Bi."
Mama menghampiriku, dia memelukku sebentar tapi ketika aku hendak memeluk lebih erat Mama melepaskannya dan memintaku untuk baik-baik saja di rumah sakit.
Aku termenung, ternyata Mamaku lebih mementingkan pekerjaan nya dari pada aku anaknya.
"Kenapa Bi? Mama kenapa pergi? Aku bahkan belum memeluknya. Tidak ada ciuman di kening juga." ujarku dengan sedih.
Raut wajahku tergambar jelas bahwa ada rasa sedih dan kecewa. Bi Imas- lah yang memeluk ku. Ternyata pelukan erat itu sangatlah hangat.
"Bi, apakah Bibi adalah ibu kandungku?" tanyaku.
"Non, jangan bilang seperti itu. Ayo tidur lagi, kalau Non Senja sembuh nantikan bisa ketemu Mama lagi." ujar Bi Imas menenangkanku, mungkin agar aku tidak sedih karena hal itu.
Bi Imas mengelus puncak keningku, lembut sekali. Tapi aku berharap, orang yang mengelusku adalah Mama. Bukan, Bi Imas yang selalu melakukan nya secara terus -menerus.
"Bi, apakah Pak dokter sudah pulang?" tanyaku menongak kearah Bi Imas.
Bi Imas mengamgguk."Katanya anak Pak dokter juga sedang sakit, jadi dia ada di ruangan sebelah ."
"Boleh aku melihat?"
"Non.."
"Bi, ayolah."
Akhirnya Bi Imas mengizinkan ku untuk menemui anak Pak dokter itu. Aku ingin tahu bagaimana wajah anak seorang dokter tampan dan baik hati.
"Pak dokter!" teriak ku menghampiri Pak dokter yang tengah duduk di sebelah seorang anak lelaki yang terbaring di atas ranjang rawat.
"Senja?" ujar Pak dokter yang langsung menghampiriku.
"Pak dokter, ini anak Bapak?" tanyaku.
"Iya, ini anak Bapak. Dia juga sedang sakit seperti Senja. Tapi dia tidak seceria kamu gadis kecil, dia seorang pendiam." ujar Pak dokter.
Aku mengangguk."Boleh aku berkenalan dengan dia?"
"Silahkan, aku tahu kamu akan melakukan hal itu." ujar Pak dokter sambil tersenyum.
Langkah kakiku mendekat kearah seorang anak lelaki itu, dia membelakangiku.
"Hallo, aku Senja. Nama mu siapa?" tanyaku dengan senyum yang tulus.
Anak lelaki itu malah menutup wajahnya dengan bantal.