*
"Kita adalah dua orang di pertemukan, lalu terikat oleh kata persahabatan."
*
"Cian, dimana rumahmu?" tanyaku, ketika Cian tengah beristirahat di sampingku.
"Di sebelah sana, kamu mau main bersamaku?"
"Boleh!"
Namun, seketika aku teriangat bahwa aku tidak boleh pulang sampai lewat jam empat sore.
"Kenapa wajahmu jadi kusut begitu Senja?" tanya Cian.
Aku menggeleng, tidak enak jika harus mengatakan yang sebenarnya.
"Katakan saja."
"Cian, aku tidak bisa ke rumahmu. Aku harus pulang sekarang juga, waktuku untuk bermain akan segera habis di jam empat sore." ujarku dengan wajah lesu, bahkan cara berbicaraku terlihat lemah sekali.
Cian teesenyum."Pulang saja, lain kali kita bisa bermainkan?"
"Iya!"
"Cian, apakah kita berteman?" tanyaku memberanikan diri.
Cian menggeleng. Itu artinya Cian tidak mau berteman denganku karena dia menggelengkan kepalanya.
"Baiklah." ujarku dengan nada bicara sedih, bahkan menunduk.
Cian tertawa terbahak-bahak, dia memukul pundakku dan mengatakan "Kita bukan teman, tapi sahabat!"
Lengkung di bibirku tergambar jelas, tersenyum bahagia karena Cian dan aku bukan berteman tapi sahabat.
Apa tidak terlalu cepat? Mungkin tidak, karena hal baik tidak harus di tunda-tunda.
Aku bangkit, berpamitan untuk pulang pada Cian. Dan kami berjanji bahwa akan selalu bertemu di taman setiap sorenya, sehabis pulang sekolah.
"Dah! Cian, terimakasih untuk segelanya. Besok kita bertemu di tempat ini ya!"
"Iya!"
Indahnya persahabatan yang baru di jalin itu, dan semota bisa terus bertahan sampai kapan pun itu.
***
Jalanku semakin cepat ketika aku melihat awan sudah berubah warna menjadi abu-abu.
"Non!" teriak Bi Imas, dengan payung yang dia bawa.
"BI!"
Aku berlari menghampiri Bi Imas. Tidak lama hujan mulai turun, rintik nya mulai membesar dan membasahi jalan.
"Non, Bibi gendong ya?"
"Tidak Bi. Aku mau berjalan sendiri." ujarku.
"Tap-"
"Bi..."
"Yasudah."
Sesampainya di rumah, aku langsung pergi ke kamar. Berdiam diri, sambil melihat hujan dari luar jendela.
"Indah sekali, kapan aku bisa bermain hujan-hujan. Sepertinya sangat menyenangkan."
Aku terus melamun, hingga ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
"Iya? Masuk saja!"
Akhirnya Bi Imas masuk, dia meminta untuk turun ke bawah karena ada tamu yang mencariku.
Aku kebingungan, mana ada seorang anak kecil menerima tamu.
"Siapa Bi?" tanyaku.
Bi Imas hanya terdiam, sampai dia mengatakan bahwa tamu yang ingin bertemu denganku adalah.
"Pak, dokter?" tanyaku.
Aku menghampiri dokter yang tengah duduk di sofa. Ada apa dia mencariku? Pikirku dalam hati.
Karena aku takut dia menunggu lama, maka aku menemuinya dan menyapa tentang kabar nya.
"Bagaimana kabar Pak dokter?" tanyaku.
"Baik gadis cantik, lau bagaimana dengan kabarmu?"
"Baik juga."
Dokter menghampiri Bi Imas, dia mengatakan mau membawaku ke suatu tempat. Tentu aku menginginkan itu, aku bosan sekali kalau hanya di rumah saja.
"Boleh aku membawa gadis kecil ini keluar?" tanya dokter tersebut.
"Maaf pak dokter, aku tidak bisa memberimu izin. Lagian aku hanyalah seorang pembantu di sini."
"Iya, aku tahu Bi. Tapi ada yang harus aku periksakan tentang mental Senja."
"Memangnya Non Senja kenapa? Dia baik-baik saja."
"Dari luar memang baik, tapi kita tidak tau dari dalamnya."
"Benar juga Pak, tapi aku tidak punya hak apapun. Hanya Tuan dan Nyonya yang berhak, dan sekarang mereka sedang tidak ada di rumah." ujar Bi Imas.
"Kalau begitu tolong berikan nomor handphone mereka, boleh?"
Bi Imas menelan salivanya."Saya tidak berani Pak, nanti Tuan dan Nyonya bisa marah karena mereka itu orang yang sibuk."
"Kalau begitu pergi dengan Bibi saja, bagaimana? Bilang kalau kita hanya main saja. Nanti kalau ada masalah biar saya yang bilang sama kedua orangtua Senja."
"Baik, kalau begitu kami siap-siap dulu."
Bi Imas membawaku ke lantai atas, tepatnya ke kamarku untuk mengganti bajuku untuk keluar bersama.
"Nanti, Non Senja jangan bilang sama Mama dan Papa kalau kita keluar dengan Pak dokter. Soalnya nanti kita bisa di marahi Non." ujar Bi Imas.
Aku mengangguk, lalu menghela nafas."Bi, kapan kedua orangtuaku bertanya soal keadaanku. Mereka terlalu sibuk, aku mati pun mereka tidak akan peduli."
"Non, jangan bilang seperti itu. Ingat kalau mereka itu masih kedua orangtua Non Senja. Mereka kan mencari uang untuk keperluan Non Senja juga."
"Bibi tahukan bahwa seorang anak kecil tidak membutuhkan harta banyak, tapi kasih sayang juga perlu kan Bi?"
Bi Imas memelukku, tapi sayang aku hanya diam membisu. Entalah, aku tidak bisa menangis seperti orang lain jika merasa sedih.
"Bi, kenapa aku tidak bisa menangis? Namun hatiku menangis Bi." ujarku, dan Bi Imas hanya mengangguk.
Perlahan air mata Bi Imas menetes, lalu aku menyekanya."Jangan menangis Bi."
"Iya, Bibi tidak menangis. Hanya bahagia kalau Non Senja udah besar, Bibi kan tahu gimana Non Senja waktu bayi." ujar Bi Imas.
Benar apa yang di katakan oleh Bi Imas. Waktu masih bayi pun aku di urus oleh pembantu dan beberapa pelayan lain. Bukan oleh kedua orangtuaku, karena mereka hanya memikirkan bisnis dan perusahaan mereka.
"Bi, ayo berangkat. Pak dokter sudah menunggu di bawah, jangan menangisi aku Bi."
"Iya, Non."
Bi Imas dan aku pergi ke lantai bawah untuk menemui Pak dokter.
"Ayo kita berangkat." ujar Pak dokter meraih pergelangan tanganku.
Dengan senangnya aku di gandeng oleh Pak dokter menuju mobilnya yang terparkir di luar.
Kami naik mobil. Tidak sampai tiga puluh menit, mobil Pak dokter menepi di sebuah bangunan yang cukup besar, terlihat dari luarnya.
"Kita mau kemana, Pak dokter?"
"Kita mau bawa Senja buat mencurahkan isi hati Senja, mau?"
"Permainan?"
"Bisa di bilang seperti itu."
"Senja mau!"
Dokter membawaku ke dalam sebuah ruangan ketika kami baru saja sampai, sedangkan Bi Imas menunggu di luar.
"Perminan nya sudah di mulai?"
"Belum sayang, kita tunggu jurinya dulu."
Aku menunggu di atas sebuah sofa panjang di dalam ruangan itu. Ruangan dingin dan tempat yang nyaman sekali, rasanya aku merasa tenang.
"Kenapa Pak dokter?" tanyaku ketika Pak dokter memintamu untuk tidur di sebuah sofa yang terlihat empuk di hadapanku.
Aku tidur di atas sofa panjang yang tidak terlalu besar itu, tidak lama seorang dokter perempuan datang kearahku dengan senyum yang mengembang.
"Hai, siapa namamu gadis kecil?" tanya dokter perempuan itu.
"Senja."
"Wah nama yang indah!" puji dokter perempuan itu.
Aku hanya tersenyum."Terimakasih, tapi aku tidak seindah senja yang dokter lihat di langit."
Dokter perempuan itu terdiam, mungkin apa yang aku katakan terlalu kasar atau bagaimana. Tapi itu memang benar bukan?
"Senja tidak boleh seperti itu, karena Senja cantik sekali. Bukankah Senja seorang gadis?" ujar dokter tersebut.
Aku membenarkan kacamata yang melorot."Terimakasih untuk pujiannya, tapi aku tidak mau di puji. Itu terlalu menyakitkan."
Tiba-tiba dokter perempuan itu menoleh kearah Pak Dokter.