"Telepon dari siapa, Sayang?"
Sayup-sayup Reyhan mendengar suara laki-laki di belakang Kirana sebelum akhirnya panggilan itu berakhir.
Tutt… Tuttt…
Reyhan mengurai senyum getir. Ia melempar ponselnya ke atas tempat tidur lantas meraih botol wine yang terletak di atas meja. Tapi suara laki-laki tadi lengkap dengan panggilan mesranya masih terngiang-ngiang di telinga Reyhan, terasa amat memekakkan.
Reyhan bangkit berdiri membawa botol wine itu ke balkon apartemennya. Angin malam meniup wajahnya, mengantarkan kenangan-kenangan lama tentang Kirana yang tak lekang jua oleh masa. Sayup-sayup Reyhan mendengar dering ponselnya dari dalam kamar. Ia kembali meraih benda pipih itu dan melihat ada panggilan masuk dari Jihan, kakak angkatnya.
"Ya, Halo, Mbak?"
"Kamu di mana, Rey?" tanya Jihan.
"Di apartemen," jawab Reyhan dengan nada lesu.
"Kamu sudah jadi menghubungi Kirana?" tanya Jihan lagi.
"Sudah."
"Trus?"
"Kenapa Mbak nggak cerita kalau dia udah punya suami?" balas Reyhan.
"Eeeengg …" Jihan tampak berusaha mencari-cari alasan. "Ya, Mbak pikir lebih baik kalau kamu tahu sendiri, Rey."
"Makasi ya, Mbak, udah bantuin aku supaya bisa ketemu sama Kirana," ucap Reyhan. "Ya … walaupun pada akhirnya…-"
"Rey, Mbak yakin Kirana masih cinta sama kamu. Mbak bisa lihat dari tatapannya setelah bertemu kamu tadi pagi. Gelagatnya langsung aneh, Rey."
"Udahlah, Mbak, nggak usah terus-terusan menumbuhkan ilusi di kepalaku. Gimana kabar Mikha, apa dia sudah tidur?" Reyhan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan anak Jihan yang masih balita.
"Ya, Mikha sudah tidur. Tadi Mikha nanyain uncle-nya, udah pulang ke Indonesia kenapa belum mampir juga," balas Jihan.
Reyhan tertawa lirih. "Ya, besok aku mampir ke sana, ya, Mbak."
***
Kirana mengenakan kembali piyamanya, sementara Bisma sudah tertidur. Kirana yakin suaminya itu akan terlelap sampai pagi. Kirana meraih ponselnya dan berjalan ke luar kamar dengan langkah yang berusaha disamarkan. Di dapur, Kirana tampak menimang-nimang benda pipih itu. Ia memandangi deretan nomor telepon yang menghubunginya tadi, yang ia yakini sebagai nomor ponsel Reyhan. Kirana tahu, menghubungi nomor itu akan sama saja dengan menciptakan lubang baru yang akan menenggelamkan dirinya sendiri. Tapi, ada suatu hasrat dalam jiwanya, Kirana tidak bisa menepis hasrat yang satu itu.
Perlahan, Kirana mulai menghubungi nomor tersebut. Terdengar nada sambung yang cukup lama, hingga tidak ada sahutan sama sekali. Kirana mencoba menghubungi Reyhan sekali lagi, masih sama, tidak ada sahutan. Pukul sebelas malam, apa mungkin Reyhan sudah tidur? Kirana menghela napas dan mengirimkan pesat singkat.
"Rey, aku rasa kita perlu ketemu buat ngomong…."
"Kamu ngapain, Sayang?"
Belum sempat Kirana menyelesaikan ketikannya, suara Bisma lebih dahulu mengagetkannya. Nyaris saja ponsel itu terlepas dari genggamannya, untung saja Kirana masih bisa mengendalikan diri. "Eh, ini, Mas, aku mau minum, haus." Kirana membuka kulkas yang berada tidak jauh darinya.
"Jangan minum air es terus dong, Sayang. Makin susah hamilnya entar," cegah Bisma.
"Lha, itu kan mitos, Mas," bantah Kirana.
"Udahlah nggak usah protes." Bisma mengambilkan air dari dispenser untuk istrinya itu. "Minum ini aja."
Kirana pun menerima dan meneguk minuman itu.
"Heran deh sama kamu, kayaknya cuman aku doang deh yang usaha buat punya anak. Sedangkan kamunya nggak ada usaha sama sekali," dumel Bisma.
Kirana menatap tajam pada suaminya itu. "Kamu sebenarnya nikahin aku karena emang sayang atau karena cuman pengen punya keturunan sih, Mas?" cetus Kirana.
"Karena aku sayang sama kamu makanya aku pengen punya keturunan dari kamu," jawab Bisma.
Kirana menggelengkan kepalanya. "Kamu cuman kepengen jadiin aku pabrik anak, supaya kamu bisa nunjukin ke orang-orang kalau kamu adalah laki-laki sejati." Ucapan Kirana semakin pedih.
"Kiran, ucapan kamu itu kelewatan, ya!"
"Kemauan Mas yang kelewatan!" tandas Kirana dengan suara tinggi.
"Apanya yang kelewatan, sih? Aku cuman kepengen kita punya anak, dan aku rasa itu keinginan semua pasangan yang sudah menikah. Aku nggak maksa atau nekan kamu, Kiran. Kita kan juga sudah periksa ke dokter, dan kita berdua sama-sama normal. Ini artinya kita cuman kurang usaha aja." Bisma turut membalas dengan suara tinggi.
Telinga Kirana semakin panas mendengarnya. "Tapi Mas pernah nggak nanya, apa aku udah siap untuk punya anak? Apa mas pernah nanya soal itu, hah? Nggak pernah, kan? Mas egois!"
"Alasan ketidaksiapan kamu itu apa, Kiran? Coba jelasin ke aku alasannya apa!"
Kirana menatap tajam matap suaminya. 'Alasannya adalah karena aku tidak mencintai kamu, Mas,' batinnya. Tapi kalimat itu hanya bisa ia telan sendiri. Kirana lari ke kamarnya. Ia menutup wajahnya dengan selimut dan menumpahkan tangisnya di dalam itu.
"Kiran! Aghhhh…!" Bisma membanting gelas untuk melampiaskan amarahnya.
***
Dengan kepala yang terasa berat karena masih dipengaruhi alkohol, Reyhan menatap layar ponselnya. Ia melihat ada panggilan tidak terjawab dari Kirana. Reyhan mengurai tawa getir, menertawakan dirinya sendiri. Barangkali ia sudah kecanduan halusinasi. Tidak mungkin Kirana menghubunginya kembali. Reyhan bangun dan memasuki kamar mandi. Usai membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Reyhan kembali mengecek ponselnya. Log panggilan masih menyimpan panggilan tidak terjawab dari Reyhan, sepertinya itu bukanlah ilusi Reyhan semata. Reyhan tercenung di pinggir tempat tidurnya. Ia ingin sekali untuk kembali menghubungi Kirana, tapi Reyhan tGuet mendengar suara suami Kirana lagi. Reyhan tidak ingin menyakiti dirinya sendiri.
Reyhan ke luar dari apartemennya dan menuju Amora Art. Pagi itu ia ada janji dengan Meagan, seorang kurator lukisan dalam rangka persiapan pameran perdana di galerinya pekan mendatang. Sambil menunggu Meagan, Reyhan memeriksa lukisan-lukisan di galerinya, sebagian besar adalah coretan tangannya sendiri, sisanya lukisan dari berbagai pelukis tersohor di seluruh pelosok negeri.
"Permisi, Pak, ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap salah seorang karyawan Reyhan yang datang menghampirinya.
"Kurator itu sudah datang?" tanya Reyhan.
"Belum, Pak. Yang ingin bertemu Bapak adalah Mbak Reporter dari Galaksi Media kemarin, Pak," jawab karyawan tersebut.
Reyhan terdiam sejenak. "Suruh masuk," ucapnya beberapa menit berselang.
Karyawan itu pun ke luar, digantikan oleh Kirana yang memasuki ruangan itu. Reyhan terdiam melihat wajah perempuan itu, wajah paling cantik menurut kacamata Reyhan.
"Maaf, aku datang tiba-tiba. Apa kamu sedang sibuk?" tanya Kirana dengan hati-hati.
"Iya," jawab Reyhan dingin.
"Ohh." Kirana meneguk ludahnya sendiri. "Kalau begitu, aku akan datang lain kali," ucap Kirana sambil bersiap berbalik badan.
"Kenapa datang?" Pertanyaan Reyhan berhasil menahan langkah Kirana. Perempuan itu pun maju beberapa langkah untuk mendekati Reyhan.
"Ada yang perlu aku omongin sama kamu," ucap Kirana lagi.
"Apakah penting?"
"Menurutku sangat penting," jawab Kirana.
Reyhan melirik arloji di pergelangan tangannya. "Sayangnya, ada yang jauh lebih penting pagi ini," ucap Reyhan sambil melangkah ke luar, meninggalkan Kirana begitu saja.
Kirana pun menyusul langkah Reyhan. Di lobi, Kirana melihat Reyhan menyalami seorang perempuan muda dan cantik. Kirana terdiam melihat pemandangan itu. Ia mengumpat dirinya sendiri yang terlalu nekat mendatangi galeri itu hanya untuk menyakiti diri sendiri.