Kirana Meyriska, seorang jurnalis yang bekerja di Galaksi Media tidak sengaja bertemu dengan Reyhan, mantan kekasihnya. Kirana tidak menyangka bahwa Reyhan yang dahulu terkenal sebagai siswa nakal ketika sekolah ternyata berhasil membangun sebuah galeri lukisan terbesar di Jakarta. Semula, Reyhan bersikap seolah-olah tidak mengenali Kirana. Hal itu yang membuat Kirana menjadi semakin bingung dan berusaha mencari informasi tentang pelukis ternama itu. Ternyata Reyhan masih begitu mencintai Kirana. Kirana meyakini bahwa pertemuan itu telah terjadi dengan tak semestinya, karena pada saat itu Kirana telah menikah dengan Bisma, seorang desainer interior yang cukup sukses juga. Ketidakharmonisan rumah tangga antara Bisma dan Kirana, pada akhirnya memicu perselingkuhan antara Kirana dan Reyhan.
Kirana buru-buru mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Matanya terus saja mengawasi jarum jam yang terasa bergerak lebih cepat. Sementara ponselnya terus saja bergetar sedari tadi, mengantarkan panggilan masuk dari Husna, rekan kerjanya. Sambil memilih highheels dari rak sepatu, Kirana mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Ki? Lo udah on the way?" tanya Husna.
"Gue lagi siap-siap, Na. Ini juga udah buru-buru banget. Emang janji sama narasumbernya beneran jam delapan pagi ini, ya?" Kirana mengambil highheels hitam, pilihan yang paling tepat, warna paling netral untuk menyelamatkan setelan kemeja dan blazernya yang sebenarnya tidak matching. Kemejanya warna ungu muda, sementara blazernya warna coklat tua. Kirana merasa seperti badut. Tapi tidak ada pilihan pakaian lain di lemari, mungkin ada, hanya saja Kirana merasa tidak punya waktu untuk memilih dan memilahnya.
"Iya, Ki. Jam delapan pagi, wajib ontime. Narasumber satu ini terkenal disiplin banget. Telat satu detik aja, dia nggak mau diwawancara," terang Husna yang juga terdengar panik di ujung sana.
"Hah? Emang dia siapa, sih? Presiden aja nggak segitunya kali." Kirana mendengus, terlebih saat merasa highheelsnya kekecilan. "Lagian kenapa jadi gue yang ngewawancara dia sih, Na? Mbak Jihan kemana coba? Mana ngabarin gue subuh-subuh lagi. Kan ngejatohin gue namanya."
"Mbak Jihan nggak berani, Ki. Dia udah kemakan rumor-rumor di sosmed. Cuman elo yang paling bisa kita andelin."
"Hello, excuse me, Husna, leaderku tersayang. Dengan penuh kerendahan hati, gue harus bilang, lo udah menyalahgunakan kekuasaan. Ini kan bukan jobdesk gue. Tiga tahun di Galaksi, gue selalu ditugasin nyari berita politik. Lha, ini kenapa tiba-tiba gue harus ngeliput berita seni? Jauh banget tauk!" protes Kirana.
"Kirana Meyriska, sahabatku terpintar sepanjang masa. Ini demi kesejahteraan media kita ya, Sayang. Kelar tugas ini, lo bakal gue kasih libur satu bulan. Gue janji," bujuk Husna.
Kirana menghela napasnya. Husna adalah pimpinannya sekaligus sahabatnya, ia bisa memprotes setiap keputusan Husna tapi tidak akan tega menolak setiap permintaannya. "I'll do the best," ucap Kirana akhirnya. Lantas ia mengakhiri panggilan telepon itu dan menyambar tas yang sudah terletak di atas tempat tidur.
"Sayang, kolamnya udah aku….-" Bisma yang baru selesai membersihkan kolam berenang mendadak bengong melihat istrinya sudah berpakaian rapi. "Kamu mau kemana?" tanyanya.
"Mas, aku harus berangkat sekarang. Aku ada jadwal wawancara dengan narasumber penting," jawab Kirana.
"Lho, bukannya tadi malam kamu bilangnya mau berenang? Kolamnya udah aku bersihin lo."
"Duh, maaf banget ya, Mas. Husna mendadak ngabarin aku subuh tadi. Kita berenangnya entar sore aja, ya!" Kirana tampak merasa bersalah.
"Bener-bener ya, tuh, si Husna. Gangguin orang aja kerjaannya. Lagian kamu sih, udah aku suruh resign kenapa masih ngeyel banget kerja di sana sih," dumel Bisma.
"Duh, Mas, aku nggak punya waktu buat debat sama kamu. Aku buru-buru banget. Aku pergi, ya. Daaahh!" Kirana menepuk pelan bahu suaminya lantas berlari-lari kecil menuju pintu ke luar.
"Sayang … Nggak mau aku antar aja?" seru Bisma.
"Aku udah mesan ojek online, Mas!" balas Kirana sambil berseru juga. Beberapa detik berselang, ia sudah raib di balik pintu.
Sementara Bisma hanya bisa menghembuskan napas kecewa. Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap nanar ke kolam berenang yang terlihat dari jendela kamarnya. Ia sudah begitu antusias membersihkan kolam agar lebih nyaman berenang dengan sang istri, nyatanya ia justru ditinggal pergi. Bisma terdengar menghela napas berat. Selama tiga tahun usia pernikahannya dengan Kirana, sudah lebih dari sepuluh kali ia mengalami kejadian serupa. Tapi Bisma pun memahami, itulah resiko yang harus ia terima saat memilih Kirana sebagai istri. Kirana adalah perempuan yang aktif, seorang wanita karier, perempuan yang independen. Bisma juga tidak ingin memaksa Kirana untuk memilih antara keluarga atau pekerjaannya.
***
Kirana tiba di Amora Art, sebuah galeri lukisan yang baru dibuka sekitar tiga bulan tapi sudah digadang-gadangkan sebagai galeri lukisan terbesar di Jakarta. Kirana memerhatikan arsitektur bangunan itu yang benar-benar artistik, bernuansa Eropa klasik tapi tetap ada sentuhan modern-nya. Ketika memasuki Galeri itu, Kirana sudah disuguhi oleh berbagai lukisan dari pelukis-pelukis ternama seluruh Indonesia bahkan hingga mancanegara. Di depan ruang tunggu, tiba-tiba saja Kirana merasa gugup.
Tiba-tiba seorang karyawan di galeri itu menghampiri Kirana. "Selamat pagi, dengan Mbak Jihan dari Galaksi Media, ya?" sapanya hangat.
"Selamat pagi, Mbak. Saya Kirana, saya yang menggantikan Jihan untuk wawancara pagi ini. Kebetulan Mbak Jihan sedang ada urusan mendadak sehingga tidak bisa hadir," balas Kirana.
"Oh begitu. Baiklah. Silakan masuk, Mbak Kirana!" Perempuan muda itu membukakan pintu ruangan pemilik galeri itu, lantas mempersilakan Kirana masuk.
"Terima kasih!" Kirana pun memasuki ruangan itu. Tampaklah seorang pria mengenakan kemaja abu-abu polos sedang membelakanginya, pria itu sedang menelepon dengan seseorang.
Sambil menunggu si narasumber selesai menelepon, Kirana kembali memastikan kelengkapannya, voice recorder, notebook, dan pulpen. Kirana menghembuskan napas lega saat menyadari tidak ada perlengkapan yang tertinggal, kendati ia buru-buru pagi itu.
"Silakan duduk!" Suara bariton tiba-tiba menggema di ruangan kedap suara itu, membuat Kirana sedikit terperanjak.
Kirana menegakkan wajahnya yang sedari tertunduk karena mengecek isi tasnya. Tiba-tiba wajah Kirana menegang ketika matanya bertatapan dengan mata laki-laki di hadapannya itu. Seorang laki-laki dengan alis tebal, hidung mancung, dan rahang tegas yang ditumbuhi bulu berdiri di hadapannya. Kirana terpGue diam, ia menyadari suatu ledakan telah memporak-porandakan dimensi hidupnya. Sosok itu bukanlah sosok asing bagi Kirana.
"Silakan duduk!" Pria itu kembali mengulangi ucapannya karena melihat Kirana hanya diam mematung.
"Oh, iya, terima kasih." Kirana duduk di kursi yang telah disediakan, berhadap-hadapan dengan pria itu. Sejenak Kirana melirik papan nama bernuansa ukiran yang terletak di atas meja: Reyhan Malik Ardiansyah, Kirana mengeja nama itu dengan hati-hati. Kembali Kirana menggerakkan bola matanya untuk menatap wajah pria itu. Tidak salah lagi, Kirana tidak mungkin salah mengenali.
"Dua menit lagi dari jadwal yang sudah ditentukan. Mau bersiap-siap dulu atau langsung mulai saja?" ujar pria itu sambil menatap wajah Kirana, tatapannya datar, tak menyiratkan apa-apa.
Tatapan itu yang justru semakin mengunci mulut Kirana. Kenapa laki-laki itu bersikap seolah tidak mengenalinya? Apa ia bukanlah Reyhan yang sama? Tapi, bagaimana mungkin ada dua orang yang memiliki nama sama dengan wajah yang sama pula? Kirana terus bertanya-tanya dalam hati.
"Okay, sudah dua menit. Silakan dimulai," ucap pria itu lagi.
"Hmmm…" Kirana kesulitan menemukan kata. Selain merasa gugup, ia sebenarnya juga tidak punya pengetahuan yang banyak tentang narasumbernya. Kirana tidak sempat mencari informasi tentang narasumbernya itu, bahkan namanya saja Kirana tidak tahu. Tadi pagi Husna hanya meminta Kirana untuk mewawancarai seorang pemilik galeri lukisan terbesar di Jakarta. Hanya itu yang ada di kepalanya.
"Setahu saya Galaksi Media adalah media terbaik di Indonesia. Saya tidak menyangka Galaksi Media akan mengirimkan seorang jurnalis magang untuk mewawancarai saya," sindir Reyhan saat mendapati kegugupan Kirana.
Merasa tersindir, Kirana langsung menegakkan punggungnya. "Saya Kirana Meyriska, sudah tiga tahun bekerja sebagai reporter di Galaksi Media. Jujur saja, saya memang belum sempat mencari informasi tentang anda karena sebenarnya saya hanya menggantikan rekan kerja saya yang sedang ada keperluan mendadak. Tapi, bukan berarti wawancara ini tidak bisa berjalan dengan baik. Selama karier jurnalistik saya, saya belum pernah gagal mewawancarai seseorang," ucap Kirana yang terdengar begitu berani.
Reyhan menatap perempuan di hadapannya itu. "Oke, silakan buktikan," balasnya dingin.
Kirana menelan ludah. Dalam hatinya ia masih bertanya, benarkah laki-laki itu tidak mengenalinya? Atau hanya berpura-pura tidak mengenalinya?