webnovel

7. Hari Pertama

"Egrang, siapa yang mengira game pertama adalah permainan khas Indonesia. Kamu tahu, bahkan di negaranya permainan ini nyaris punah." Aris mengambil bambu panjang yang disiapkan panitia. Seperti tahu segala hal, dia melempar sepasang bambu untuk Sutris dan sepasang lain bagi Akiko.

"Boncel mana bisa pakai?" Akiko hendak memakai egrang, tapi Sutris merangkul pinggangnya untuk turun. "H-hei, apa yang kamu lakukan? Lepas! Dasar kentut mesum!"

"Lihat sekitar," ucap Sutris, mengamati keadaan. 

Para peserta melangkah menenteng bambu, pergi ke barat. Mereka memilih jalur hutan sebagai jalan menuju ke Irian Jaya. 

"Aturan empat jam tanpa egrang, lalu pakai egrang dua jam. Ingat?" Sutris melepas pelukan pada Akiko. "Entah apa yang terjadi jika kita pakai egrang sekarang."

Akiko meneguk liur kental. "Terima kasih, Tris."

Mereka bergerak menuju barat seperti serdadu militer dalam formasi sweep clean, semua jaga jarak, menenteng senjata. Banyak warga melihat aneh mereka, tapi mungkin mereka mengira ini hanya syuting film, mengingat banyak droid beterbangan di sekitar. 

Satu hari tiada yang boleh membunuh. Semua mengikuti aturan itu. Mereka sadar, setelah dua puluh empat jam berlalu, mereka hanya bisa percaya pada diri sendiri. Karena itu mereka memilih buru-buru masuk hutan.

Ketika mendekati jam pakai egrang, kalung beralarm kecil berbunyi di leher setiap peserta. Satu persatu peserta naik bambu, melangkah di jalan pilihan masing-masing. Sutris dan teman-teman juga ikut naik bambu.

Tiba-tiba suara ledakan terjadi. Sutris, Akiko, dan Aris terdiam di bambu masing-masing. Ledakan lain terjadi, lalu lagi. Terror terlukis di mata mereka melihat badan manusia lebur, hingga tercipta hujan air merah di sekitar ledakan.

"Ya Tuhan, empat orang tewas," gumam Aris, melihat ceceran darah di dekatnya. Jakunnya yang baru tumbuh naik turun.

"Apa yang terjadi?" Akiko memandang Aris dan Sutris bergantian, menunggu jawab mereka.

"Dia terlambat naik bambu," sahut Sutris. "Dua orang di sekitarnya terkena hempasan ledakan, mereka jatuh, mereka pun meledak. Orang terakhir kaget hingga jatuh dan meledak."

Droid terbang mengelilingi bangkai peserta. Sugris terdiam mengamati benda itu. Terbayang orang-orang kaya penikmat game live bertepuk tangan, atau bahkan terbahak menyaksikan replay kematian peserta.

Bayang itu membuat Sutris meremas bambu. "Permainan setan …."

"Aku berhenti aku berhenti!" teriak seorang pria, melambai ke arah droid. Lampu di kalung orang itu mati ketika dia turun dari bambu.

Lebih banyak orang melakukan hal yang sama. Sepertinya insiden tadi membuat nyali mereka ciut memilih mundur.

"Ayo, tiada guna berlama-lama di sini," sahut Akiko, mulai maju memakai egrang. 

Hening. Tiada obrolan dari Sutris dan teman-teman setelah melihat realita Game Billionaire.

Turun dan naik Egrang di bawah Matahari masih mudah, tapi ketika malam tiba semua berbeda. Terlebih sekarang mereka masuk hutan. Jalan lebih susah dengan adanya akar. Gelap pun merintangi.

Namun terlepas dari semua itu, hutan merupakan pihan yang tepat, karena hutan bisa melindungi peserta dari peserta lain, peserta iblis yang menginginkan nyawa.

Sutris beristirahat duduk di dahan pohon besar, menaruh bambu di bawah. Suara jangkrik mendominasi, serangga kecil berpesta di sekitarnya, sementara angin dingin menerkam kulit mereka. Semua gelap, hanya cahaya bulan penuh menyinari sebagian hutan lebat yang terbuka.

"Sepuluh menit lagi pergantian hari," ujar Akiko di dahan sebelah Sutris, duduk bersama Aris.

"Sebenarnya ada cara mengakali permainan ini." Cahaya layar laptop menerpa wajah Aris. Suara jari mengetik sesuatu terdengar seperti langkah caterpillar raksasa.

"Boncel sok tahu, eh, isi tasmu apa?" tanya Akiko menggeledah tas ransel Aris. "Bocah, bawa permen, jus apel, teh, air minum, mie? Mana senjatamu?"

Aris menunjuk pelipis. "Otak, dan laptop."

Laptop Aris modifikasi kelas berat. Terlihat dari lensa surya yang menjadi sumber tenaga. Benda itu menangkap tenaga matahari. 

"Jangan sentuh makananku!" sentak Aris, terasa ketika Akiko melahap kue keringnya. "Lihat ini." Dia merebut kue kering, mengoper laptop ke pangkuan Akiko. "Oper ke Sutris."

Akiko melempar laptop ke pohon tempat singgah Sutris, membiarkannya membaca layar.

Di layar laptop terdapat penjelasan. Gelang yang mereka pakai didesain khusus mendeteksi ketinggian dari pijakan bumi, juga sensor gerak. 

Aris berkata, "Ketika waktu naik egrang, asal kita berada di dekat egrang, aman."

Akiko ngemil jajan milik Aris. Krauk krauk suaranya menggema. "Masak sih? Boncel ngarang."

"Sudah kubilang jangan panggil boncel, jangan makan kue ku!" keluh Aris, jengkel merebut jajan di tangan Akiko.

"Lalu bagaimana membuktikan hal ini?" tanya Sutris, mengumpan laptop kembali ke Akiko.

"Test," sahut Aris, melepas kalungnya secara perlahan. Dia melompat turun, memakaikan kalung ke atas enggrang. "Yang penting jarak kalung, badan kita,  dan egrang tidak boleh jauh, atau nanti terdeteksi oleh sistem."

"Ris, bahaya kah?" Akiko khawatir melihat aksi Aris. "Boncel bisa mati. Hei boncel! Jangan main-main!"

Alarm kecil di kalung berbunyi. Sutris dan Akiko melompat turun, buru-buru naik egrang. Aris mendirikan satu kaki egrang, dengan kalung di bagian atas bambu.

"Aris! Jangan macam-macam!" teriak Akiko panik.

Sementara Sutris diam memilih percaya pada bocah hacker.

Tiba-tiba suara ledakan memecah keheningan malam. Angin kencang mendorong mereka, tapi gagal membuat bambu jatuh.

Aris berdiri dengan dada terengah, bermandi keringat. Sepertinya dia tidak terlalu yakin dengan ide gila tadi, tapi berhasil. Kalungnya aman. Bambu egrang pun aman. Test berhasil.

Dengkul Akiko lemas, dia terkekeh girang. "Boncel benar-benar hebat!"

Dengan bangga telunjuk Aris menggosok hidung. "Dengan begini kita bisa menghemat tenaga di sesi egrang, juga bisa lebih cepat sampai ke tujuan."

Sutris tersenyum menggeleng tak percaya. "Benar-benar jenius kamu, Ris."

"Siapa dulu, boncel--eh, Aris gitu lo--" Netra Aris membesar ketika badannya terdorong ke depan. Wajahnya ambruk mencium tanah. Beruntung egrang miliknya tertanam di tanah tetap menjulang tinggi. 

Belati tertanam di punggung Aris. Darah mengalir dari lukanya, membuat basah bagian belakang kemeja, seperti tinta yang tumpah. 

"Aris!" teriak Akiko histeris, hendak turun menolong Aris, tapi Sutris mencegah.

"Jangan turun! Kamu ingat aturannya? Setidaknya lepas kalung dulu, taruk ke atas egrang!" 

Akiko bergegas melepas kalung lalu turun menolong Aris. Matta Sutris menyapu keadaan gelap sekitar, hingga melihat seseorang mengamati mereka dari balik pohon. 

"Menyerang bocah tak bersenjata, hebat sekali kamu," ucap Sutris.

"Bocah cerdas seperti dia lebih baik dieliminasi." Suara gadis dari balik pohon. "Jika tidak, dia bakal menjadi duri dalam daging kelak."

"Aris! Bangun, boncel!" Akiko menggerak-gerakkan badan bocah itu. Dia mencoba menarik belati, tapi urung ketika mendapati belati berlumur cairan hijau kental. "Keparat kau! Berani memakai racun?"

Tawa gadis dalam gelap begitu khas, kekeh wanita yang lantang dengan intonasi tinggi. "Harusnya kalian berterima kasih padaku. Siapa tahu besok dia akan menyelakai kalian. Oh, bagaimana kalau kalian menemaninya ke neraka?"

Belati melesat menyerang Akiko, beruntung dia bisa menghindar. Badannya menyenggol egrang Aris hingga benda itu nyaris jatuh.

Sutris memakai satu bambu egrangnya menahan egrang Aris. "Akiko, jangan terlalu jauh dari egrang atau benda itu akan meledak."

Dua belati melesat menyerang Sutris. Beruntung dia mampu menghindar, menangkis satu belati memakai bambu. 

Sutris mengamati keadaan Aris yang masih simpang siur. Melihatnya celaka dengan cara seperti ini, dia tidak terima.