webnovel

8. Konfrontasi

Sebagai mantan Denjaka Sutris bisa melihat dalam malam, hanya butuh membiasakan mata sejenak.

Siluet gadis langsing, dada dan pinggang menantang berada dalam gelap. Dia berlari menjauh menenteng bambu. Mungkin merasa angker ketika Sutris berhasil menepis pisaunya. 

"Sutris! Bagaimana ini?" Akiko dan jiwa wanitanya meronta. Walau anggota JDF sekalipun dia yang paling terpukul melihat keadaan Aris. Dia duduk memeluk bocah itu seperti memeluk guling.

Sutris menaruh kalung ke atas bambu, lalu turun mencoba memeriksa Aris. Dia membuka pakaian bocah itu hingga kancing kemeja terlepas. "Vest?" Seringainya muncul, kasar dia mendorong kepala Aris. "Bangun bocah, jangan main-main lagi."

Akiko memandang keduanya bergantian, sepertinya bingung. "Apa maksudmu?"

Suara kekeh Aris terdengar memuakkan. Dia duduk melepas vast. "Untung pakai rompi, kamu tahu, semua ini sudah dirancang sedemikian rupa. Lihat." 

Rompi Aris unik. Warna hitam, tebal, bagian depan terisi coklat cair juga saos tomat, bagian belakang dia isi bungkus coklat dan permen kacang.

Wajah Akiko memerah padam. Dengan sadis dia mengetuk kepala Aris. "Boncel sialan! Kamu tahu kami khawatir?" Dia menggoyang badannya sampai Aris tak berkutik.

Melihat ini Sutris terkekeh sembari menggeleng kecil. "Jika kamu begitu, dia bisa benar-benar mati."

"Biar mati!" Gadis itu mendorong Aris sampai nyaris jatuh.

"Oh iya Ris, kenapa rompi ini kamu buat sedemikian rupa?" tanya Sutris, duduk bersila kaki di sebelahnya.

"Logistik," jawan Aris, melepas plastik berisi coklat yang bocor, membersihkan pakai tisu basah. "Tasku penuh, jadi aku menaruh di sekitar vest. Siapa sangka ada emak-emak teriak histeris." Maksudnya Akiko.

"Boncel sialan, kenapa malah diam saja tadi, hah!" Jitakan keras menghajar kepala Aris sekali lagi. 

"Sakit tahu!" Aris berdeham, hingga semua diam. "Gadis tadi duduk di pohon tak jauh dari kita. Mungkin dia terlebih dahulu mengetahui kelemahan egrang daripada kita. Itu pertanda dia jenius. Cepat atau lambat pasti dia akan mencoba mengeliminasi orang jenius lain, karena dia belajar dari persaingan Tesla dan Edison. Lebih baik mengeliminasi jenius lain sebelum kejeniusannya tersaingi. Makannya aku pura-pura mati saja."

Sutris kagum dengan cara berpikir Aris yang benar-benar jenius walau kepintarannya tertutup oleh tingkah anak-anak. Namun, apa alasan bocah seperti dia mengikuti perlombaan biadab seperti ini? Sutris yakin walau didesak pun Aris tak akan mengaku. Begitu pula dengan Akiko. 

Jika memang JDF mengirim serdadu kemari untuk mengungkap dalang di balik permainan ini, mereka pasti akan membentuk satu tim. Setidaknya bersama-sama mengikuti perlombaan, tapi Akiko malah menempel padanya.  

"Baiklah, ayo kita pergi. Atau kalian mau menetap di sini?" Sutris mengomandoi mereka untuk memperkecil ketinggalan dengan peserta lain. 

Hari berganti hari. Situasi semakin tegang dan mencekam. Suara tembak menembak, teriakan kematian, semua semakin sering terdengar. Entah berapa kali mereka melihat mayat bergelimpangan. Berpuluh kali Sutris dan teman-teman melihat flare memecah angkasa. 

Terlepas dari itu, yang mereka takuti adalah alam. Disentri, hewan buas, semua membuat mereka tak bisa leluasa bergerak.

Mereka memilih menghindar, hemat tenaga juga suplai. Mereka tak ingin terluka di babak pertama.

Beberapa hari berlalu. Malam ini mereka berteduh di goa alam. Api unggun yang mereka buat tersebar di muka goa, satu lagi di dalam. Cahaya api unggun di luar memberi mereka jangkauan lebih luas tentang keadaan sekitar.

Sutris mengusap kening setelah mengikat kaleng terakhir di sisi luar tempat mereka. Kaleng bisa memberitahu mereka jika ada yang mendekat, alarm yang bagus.

"Tris cukup, jangan terlalu kencang mengikatnya. Nanti seperti kemarin, susah dilepas." Akiko menepuk tangan.

"Tenang saja," sela Aris, duduk bersila kaki di atas batu besar dalam goa. "Para peserta tertinggal jauh di belakang. Sisanya menyebar, menghindari cahaya. Mereka cukup cerdas untuk menghindari konfrontasi."

"Boncel, kamu tuh sok tahu sekali." Akiko duduk bersandar batu yang diduduki Aris, membalik daging ular yang baru dibakar. Aromanya sungguh menggugah selerah.

Sutris tam beralih memandang Akiko. Tubuh mengkilap gadis itu membuat haus. Haus akan hangat tubuh wanita. Kotor, lengket, aroma keringat. Sutris dilanda birahi. Mungkin dia bisa melakukannya di sana? Dekat perapian memadu kasih. Sutris menggeleng, membuang jauh bisikan setan itu.

Dia duduk di sebelah Aris, memperhatikan layar laptop yang dipangku pemuda itu.

Di layar laptop terdapat map, lengkap dengan jejak pemindai panas. Terdapat tulisan US Navy di tepi map. Sesuatu yang tak mungkin bisa dibuka oleh sembarang orang. 

"Biar ku tebak, kamu meng-hack mereka?" Terka Sutris.

Aris menoleh pada Sutris sesaat, lalu kembali ke laptop. "Kamu tahu diriku kan?" 

"Hebat kamu Ris."

"Sekarang kita masuk daerah Indonesia," ucap Aris, jari telunjuknya mengusap layar laptop, seperti pointer. "Kamu lihat, merah besar ini adalah kita. Sementara api-api di sekitar adalah peserta lain. Seperti ini, mereka berada tidak jauh dari kita."

"Di sanakan?" Akiko ndlosor, berbantal tas, menunjuk asap tipis di angkasa yang berhasil menembus dedaunan lebat.

"Ya itu."

"Tenang saja," celetuk Aris. "Kita aman. Sepertinya mereka malas berkonfrontasi."

Waktu berjalan dengan cepat. Malam semakin larut.

Sutris menikmati suasana alam yang mencekam ini. Benar-benar mengingatkan pada kenangan masa lalu. Memori ketika menjalani penyisihan masuk Denjaka. 

"Loh, ini apa-apaan?" Suara Aris terdengar panik. "Lihat ini." Ujung telunjuknya menyentuh layar laptop.

Akiko hinggap ke sisi lain Aris, pipinya mendesak. "Perbesar, apa bisa dilihat langsung?"

"Susah," ucap Aris, jarinya seperti pianis bermain piano. "Kalau aku melakukannya, pihak US Navy bisa mengganti channel dan mengirim rudal tomahawk ke arah kita."

Mereka bertiga fokus pada banyaknya titik merah mendekati api unggun tim lain, di dekat kelompok Sutris. 

Suara tembakan terdengar memecah malam hingga membuat burung beterbangan.

"Ini dekat sekali!" keluh Akiko, menarik senapan sniper, mengeker arah datangnya suara. 

Sutris bersiap dengan pistol glock kesayangan, sembari fokus memperhatikan layar.

Titik-titik merah mengepung kelompok terdekat. Suara tembakan di kejauhan menandakan mereka melawan.

Perlahan titik merah di layar laptop itu padam, tanda jika siapapun itu telah wafat. Satu titik berlari kencang meninggalkan titik terakhir yang dikeroyok titik-titik lain. Titik yang kabur dikejar banyak titik. 

"Mereka kemari." Sutris menarik Aris untuk bersembunyi di balik batu besar lalu mengoper pisau militer padanya, sementara dia mengambil posisi bertumpu satu lutut siap menembak. "Akiko, kamu melihat sesuatu?"

Akiko tiarap, memakai infrared scope memeriksa keadaan. "Banyak gerakan."

"Mereka semakin mendekat," ucap Aris. "500, 450, 400, 350, 300, 250 …."

Kilatan cahaya semakin sering berkedip di kegelapan hutan. Suara rentetan senjata brondong semakin keras hingga memacu adrenalin Sutris.

"Tolong!" Suara teriak gadis yang memberi tahu jika dia berada di tengah kilatan. 

"Sutris," bisik Aris. "Itu, suara itu, bukankah suara itu wanita yang tempo hari bermain pisau?"

"Terus bagaimana? Mau dibunuh sekalian, Cel?" tanya Akiko tetap fokus pada senjatanya.

Suara klontengan kaleng terdengar. Pohon di kejauhan bergerak-gerak. Teriakan gadis semakin menggila.

Sutris melihat banyak kelibatan siluet di sana. "Aris, berapa titik?"

"Ahm, sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang. Siapa sebenarnya mereka?

Magazine glock Sutris terisi lima belas peluru, sementara kapasitas magazine Beretta Sniper Akiko sepuluh peluru, ditambah pistol Colt m1911 Akiko berkapasitas sepuluh peluru. Total peluru mereka tanpa perlu mengisi adalah 35 peluru. Sutris merasa semua itu bisa dipakai mempertahankan diri dan menolong yang lain.

"Akiko, target sebelah kanan dari arah api unggun tengah. Aku menarget sisi kiri," pinta Sutris. "Aku akan berusaha menolong gadis itu.

"Sutris, egrang kita, jangan lupa!" teriak Aris.

Sampai benda itu jatuh, maka akan meledak karena sebentar lagi akan memasuki masa memakai egrang. 

****