webnovel

Tetangga Sebelah

Tian memarkirkan mobilnya di parkiran. Hujan sudah mereda, ia masuk ke apartemen sembari memakai mantel hitamnya. Ia kembali mengingat Dion yang memaksa datang ke kamarnya dan membawa majalah aneh. Ia semakin berpikir tidak-tidak.

"Awas saja kalau dia benar-benar di kamarku, akan kugundul rambutnya," umpat Tian.

Sialnya ia melihat lantai lift sedang dalam perbaikan. Akhirnya ia melewati tangga dengan sedikit berlari, khawatir denagn Dion yang berulah di kamarnya. Lampu sekitar tangga padam, dan ia melihat siluet seseorang yang kecil mirip anak-anak berjalan cepat di tangga. Ia tak memikirkannya dan bergegas naik, saat tepat di berada di belakangnya tiba-tiba anak itu terpeleset dan jatuh mengenai tubuhnya terutama kepalanya yang terantuk. Tian terkejut namun reflek menangkapnya.

Hap!

Lampu menyala. Pemadaman telah selesai. Tian memegang kedua bahunya kemudian melihat wajahnya perlahan.

"Seorang gadis?" Batin Tian, ia salah sangka mengiranya anak-anak.

Maya menutup matanya karena takut seorang penculik benar-benar mengikutinya. Seluruh tubuhnya gemetar, ia bahkan tak menyadari pemadaman listrik telah berhenti.

"Kau...Maya, kan?"

Maya membuka salah satu matanya dengan hati-hati. Ia tiba-tiba membelalakkan kedua matanya dan reflek melepaskan diri lalu kembali berdiri tegak.

"Senior?!"

Jeritan Maya membuat Tian tersentak sambil memegang dadanya.

"Kenapa kau teriak?"

"Meskipun tadi aku tidak sopan padamu. Tetap saja tidak etis kalau kau mengikutiku sampai sini! Kukira kau orang jahat tau! Kau menakutiku!"

Setelah mengatakan itu, Maya mendahului langkah Tian. Mimik wajahnya berkerut, ia hampir menangis.

"Tidak etis? Siapa? Aku?" Tian menunjuk dirinya dengan heran. Ia menghela napas dan memasukkan kedua tangannya ke saku mantel.

Maya sampai di depan kamarnya dan bersiap memasukkan password. Namun ia masih mendapati Tian di belakangnya.

"Senior! Kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Apa? Apa salahku? Aku tinggal di sini. Puas!"

"A...apa?"

"Minggir! Kau menghalangi jalan. Eishhh... Lorong ini sempit sekali," Tian mendorong pelan tubuh Maya dan melangkah ke kamar sebelahnya.

1012

Maya melirik nomor kamar Tian.

Ia hendak meminta maaf tapi senior buru-buru masuk dan menutup pintunya dengan keras.

"Apa dia kesal? Dia pasti marah. Aduh bagaimana ini?"

"Gila! Gila! Gila! Gila!"

Maya berguling-guling di kasurnya dan sangat menyesali perbuatannya. Ia mengingat kejadian tadi, seharusnya dirinya berterima kasih karena kalau tidak sekarang dia pasti sudah di rumah sakit dengan keadaan pincang karena jatuh dari tangga. Cuma orang gila sepertinya yang di tolong tapi marah-marah. Maya berharap dia tadi di telan dinding saja. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut sembari meracau.

"Ha ha ha ha ha," tawa lebar Dion menggelegar di kamar Tian. Ia membaca komik sembari rebahan santai di kasur Tian. Dengan satu kaki naik ke atas lututnya. Tak lupa ia juga menikmati snack milik Tian di kulkas dapurnya.

Tian berdiri di depan kasur dengan ekspresi bersiap membunuh sahabatnya itu dengan brutal. Matanya memicing bak serigala lapar di tengah hutan. Ia mengambil alat panahannya di lemari khusus. Kakinya terbuka lebar dan mengambil ancang-ancang siap menembakkan busur panah.

Dion berjingkat hingga menumpahkan snack-nya ke kasur. Kamar mirip kandang pecah.

"Mentang-mentang kau mantan atlet, bukan berarti kau boleh seperti ini padaku. Kenapa kau melakukan ini?"

Rengekkan Dion membuat Tian mengingat Maya yang tadi meneriakinya. Bukannya mengendor, ia malah mengencangkan tarikan anak panahnya ke belakang.

"Sial. Semua orang memarahiku hari ini!" Batin Tian sembari mendecakkan lidah.

Akhirnya Dion yang membersihkan kamar Tian. Mengepel dan membersihkan selimut dan kasur. Tian yang perfeksionis mengenakan sarung tangan putih sembari mengambil remahan keripik di bawah kasur. Uh menjijikkan, pikirnya.

"Sudah kubilang aku akan membawakan majalah favoritmu kan," Dion duduk di kursi empuk tanpa lengan sembari menyilangkan kedua kaki dan membuka majalah yang dimaksudnya itu dengan perlahan.

"'Pedoman Memahami gadis pendek' oditulis oleh Richy Forenzo." Dion membacanya dengan keras dan penuh penghayatan. "Bagaimana? Judulnya saja keren bukan?" Ia cekikikan.

Dion menunjukkan sampulnya pada Tian.

"Lihat sampulnya baik-baik. Ini bukan majalah aneh! Gambarnya cewek imut yang memakai baju seragam mirip pelaut. Seperti gadis jepang."

"Gadis pendek?"

"Meskipun kau orang yang apatis, sangat tidak etis kalau kau tidak tertarik berpacaran, apalagi dengan gadis imut. Nanti orang ngira kau itu," kesalnya.

"Itu apa?!"

"Ya itu! Yang laki-laki tidak suka perempuan tapi suka sama… kenapa malah kita bahas ginian. Sudahlah."

"Kenapa hari ini orang-orang meyebutku tidak etis, sih," batin Tian, ia teringat Maya yang tadi marah-marah.

"Biar kubacakan khusus untukmu. Ekhemm!" Dion membuka majalah itu. "Gadis pendek adalah gadis remaja atau dewasa yang berperawakan kecil dan pendek. Semua bagian tubuhnya kecil-jangan berpikir secara sensual namun lihat fisik luarnya- namun jangan sekali-kali menyentuhnya dengan sembarangan. Pertama, meski dia bertubuh pendek, dia bersikeras untuk mengambil barang yang letaknya tinggi meskipun dirinya tidak sampai. Jika kau kebetulan melihat adegan ini. Hatimu akan berdebar untuk pertama kalinya. Kau mungkin berpikir sambil tak sengaja tersenyum 'Ada dengan gadis pendek ini? Sudah tahu tidak sampai masih saja berusaha mengambilnya?' dan itu sebenarnya adalah awal dari semua keimutannya. Kau akan jatuh dalam pesonanya."

"Ambilkan aku americano,"

"Aku saja tidak sampai. Bagaimana aku mengambilnya untukmu?"

Mendadak Tian ingat Maya yang tidak bisa mengambil kopi di depan mesin minuman.

"Apa yang aku pikirkan!" Tian tak percaya dia tiba-tiba memikirkan kejadian itu. Dia merasa tak nyaman namun berusaha cool di depan Dion.

"Gadis pendek itu benar-benar imut. Yah meskipun aku lebih suka cewek seksi sih, hehe," Dion senyum-senyum tidak jelas.

"Apa kau puas hanya dengan membaca itu? Lebih baik kau cari pacar saja sana!"

"Aku akan pura-pura tidak mendengarmu, Tian chan"

Tian menggeleng pasrah melihat kegilaan temannya.

"Kau tidak akan pernah tahu betapa kecil tangannya, terutama telapak tangannya. Meski kau merasa asing, kau merasa ingin mencoba menyentuh jari-jarinya yang kecil seperti lolipop mini," Dion kembali membaca bagian buku itu.

Tian mengingat lagi saat berusaha mengambil minuman, Maya berjinjit dan berusaha meraih tombol minuman paling atas. Tian sendiri awalnya juga kaget karena mesin minuman biasanya tak setinggi itu. Ia bisa melihat jari-jari kecil Maya bergerak-gerak mencapai tombol. Kecil, lucu, seperti membuat seorang pria ingin menolongnya.

"Berhenti!" Tian berdiri hingga membuat Dion terkejut.

"Kau membuatku hampir terjungkal. Apa! Apalagi?!"

"Kenapa kau mengambil majalah aneh itu. Itu sama saja pelecehan tau!"

"Kau tidak boleh asal menyimpulkannya seperti itu. Ini dijual di pasar umum kok. Atau jangan-jangan kau…." Dion tersenyum nakal.

Tian menghindar lalu mengambil tas dan mendorong Dion sampai ke depan pintu.

Malam itu Tian tertidur lelap tanpa tahu bahwa Dion telah menyelipkan majalah laknat itu diantara buku-bukunya di rak. Ia cekikikan membayangkan bagaimana reaksinya.

"Besok dia pasti akan berterima kasih padaku. Hihihi," tawa Dion bak penyihir seolah terdengar menakutkan.