webnovel

Orang Asing

Maya tengah berjalan keluar area apartemen dan berjalan di trotoar dekat apartemen. Ditatapnya baju yang ia pakai dan bergumam. Kenapa juga dia harus jaga image di depan senior galak itu.

"Apa dia selalu bersikap kaku ke semua orang di kampus?" Maya heran sendiri. "Tapi dia terlihat menyenangkan waktu di klub olahraga. Kira-kira dia ikut divisi apa, ya? Aku sudah terlanjur mengikuti divisi bulu tangkis. Kuharap dia tidak ikut divisi itu."

Maya menghela napas mengingat senior Tian yang marah-marah tadi padanya. Meski begitu dia juga tahu dirinya salah. Ia yang tadinya berpikir untuk membelikannya sesuatu, sekarang jadi malas.

"Tadinya memang aku yang salah, tapi aku kan sudah minta maaf dan senior sendiri. Jadi aku tidak perlu membelikannya sesuatu, kan."

Tiba-tiba dari kejauhan Maya melihat minimarket yang masih menyala terang. Cukup menonjol karena lampu di bangunan sekelilingnya telah padam beberapa jam yang lalu. Tak terasa waktu menunjukkan sudah cukup malam. Ia menyesal memakai baju seperti itu di malam hari. Maya berjalan lurus di trotoar yang samping kirinya dipenuhi pepohonan dan semak-semak. Namun sebelum sampai di pintu minimarket, sesuatu bergerak-gerak dibalik semak. Awalnya hanya gerakan kecil, tapi lama-lama semak hijau itu semakin bergerak ke kanan kiridengan cepat dan menyeramkan

"Apa ada kucing di sana?" Maya penasaran. Entah apa atau siapa yang ada di semak-semak itu. Anehnya muncul suatu sinar tak biasa yang perlahan membesar. Makin lama makin terang seperti lampu pijar. Ia pikir ada seseorang yang tengah memburu kodok.

"Kenapa semak-semak disana bersinar seperti lampu minimarket?" herannya. "Apa ada orang yang sedang cari kodok?" pikir Maya.

Semak-semak itu terus bergerak dengan cepat dan cahaya yang muncul semakin terang. Maya berjalan mengendap-endap. Matanya terus tertuju pada sesuatu yang bersinar itu. Semak-semak itu terletak sekitar 20 meter-an dari tempat berdirnya. Ia mulai berimajinasi, mungkin saja ada harta karun yang bisa ia dapatkan, seperti batu permata berkilau. Bisa jadi batu itu bisa mewujudkan tiga keinginannya seperti di film-film.

Maya melangkah di keheningan malam. Mendekat dan mengendap-endap perlahan. Ia yang tadinya ingin ke minimarket, berbelok dan keluar dari jalan setapak. Pelan-pelan ia menyibak semak yang menghalangi cahaya yang tak habis-habisnya itu. Tak sabar akan apa yang ia lihat. Namun betapa terkejutnya Maya setelah mendekat dan melihat sesuatu yang tidak masuk akal.

Seorang pria yang duduk di sudut semak. Ia memeluk lututnya dengan lemah. Seluruh tubuhnya bersinar terang sekaligus lebam dan memar seperti habis dipukuli. Bajunya lusuh, rambutnya berantakan seperti gelandangan. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tidak ada cukup lampu di tempat itu. Maya tertegun, ia mengucek matanya apa ia salah lihat. Bagaimana ada seorang manusia mengeluarkan cahaya seperti itu dari tubuhnya?

Pria itu menatap Maya sekilas kemudian membenamkan wajahnya lagi dikedua lututnya, seolah tak peduli. Ia bersuara seperti mendesis menahan kesakitan yang amat sangat. Hingga beberapa saat kemudian, cahaya itu tiba-tiba perlahan memudar, tapi Maya tak bisa berhenti menganga. Ada perasaan iba sekaligus takjub. Naluri kemanusiaannya mendorong untuk mendekat. Ia ingin membantunya dan menolongnya.

"Kau baik-baik saja?"

Maya mendekat dan berjongkok menyamakan tubuhnya dengan pria itu. Pikirannya berkecamuk. Haruskah ia menelepon rumah sakit? Atau menghubungi polisi? Pertama ia harus memastikan bagaimana keadaannya terlebih dahulu.

Maya memegang lengan pria itu, terasa dingin, kulitnya juga pucat. Maya mengguncang-guncangkan lengannya, sembari menanyakan keadaannya berkali-kali. Orang asing itu masih tak bereaksi. Namun tiba-tiba tak disangka. Pria itu mendongak dan menatap kedua bola Maya dengan tajam.

Tatapan mata yang mengerikan. Sorot mata yang tidak biasa. Irisnya tajam bagai pisau. Maya membisu seperti terkunci dalam keheningan. Waktu seolah berhenti. Begitu juga dengan nafasnya yang tertekan kembali ke kerongkongan. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Pria itu menatapnya dengan tatapan sangar seperti penuh kebencian. Maya hanya diam tak mengucapkan sepatah katapun. Seolah pria itu berteriak 'menjauhlah dariku jika kau tak ingin terluka'. Maya masih diam tak bergerak. Ia ketakutan.

Greb

Seseorang menarik lengan Maya dari belakang, hingga tas selempang kecilnya terjatuh di tanah. Ia terkejut dan menoleh. Seseorang yang tinggi dan lumayan gagah menyelamatkannya. Namun wajahnya tidak terlihat jelas karena gelap. Hingga sinar bulan menyinari siluet sisi wajahnya.

"Senior!" teriak Maya. Dia adalah senior Tian.

Maya menatapnya dengan seribu tanya. Senior memegang lengannya yang kecil lalu membawanya keluar dari semak-semak dan kembali ke jalan setapak di trotoar. Senior merasakan tangan keckil itu sedikit bergetar. Wajah Maya masih menunduk tidak percaya dengan kejadian yang sedikit menakutkan tadi.

"Maya! Maya!" Tian memanggilnya berkali-kali karena Maya tidak menyahut. Ia sedikit khawatir melihatnya bengong.

"S…Senior? Kenapa kau di sini?"

"Kau sudah gila, huh?!" teriak Tian tiba-tiba. Maya terkejut. "Kenapa kau asal mendekati orang aneh seperti itu? Kau sudah bosan hidup? Bagaimana kalau dia berbahaya? Harusnya kau lebih berhati-hati pergi sendirian di malam hari!"

"Aku…" Maya menunduk takut. "Kenapa semua laki-laki yang aku temui hari menyeramkan semua?" sesaat kemudian ia sadar dari lamunan dan mendecih mendengar Tian yang lagi-lagi marah.

"Kau bilang apa?"

"Tidak apa-apa," Maya membuang muka. "Lepaskan tanganku!" Ia balas melempar lengan kuat Tian yang sedari tadi menggenggamnya.

Tian kikuk.

"Lagipula kenapa kau bisa ada sini, Senior?"

"Itu…aku…" Tian garuk-garuk kepala. Memiringkan kepala mencari-cari alasan.

Mendadak Maya teringat pria asing tadi. Ia tersadar dan menyalahkan Tian yang tidak tahu situasinya tapi asal menariknya keluar dari semak.

"Kau tidak lihat tadi? Dia itu orang yang butuh pertolongan," Maya hendak ke sana lagi namun lagi-lagi Tian menahan lengannya.

"Mau apa ke sana? Kau tidak punya takut, ya. Harusnya kau lapor polisi."

"Dia kan tidak berbuat apa-apa padaku. Bukan polisi, kita harus menghubungi rumah sakit. Orang itu sepertinya sakit." Maya sedikit ingat lebam-lebam di kaki, lengan dan wajah orang asing itu. Ia akhirnya melepaskan genggaman Tian dan berlari ke arah semak itu lagi. Namun pria asing itu sudah tidak ada di sana.

"Kemana dia pergi? Padahal kan tubuhnya lebam-lebam. Dia pasti menahan sakit."

"Loh? Sudah tidak ada di sini?" Tian menyusul dari belakang.

Setelah keluar dari semak-semak, mereka berdua memutuskan duduk di depan minimarket. Maya masih melamun. Dia tidak menyadari Tian yang keluar dari minimarket dengan dua mi cup dan dua minuman soda kaleng di tangannya. Ia meletakkannya di meja bundar.

"Bagaimana bisa dia mengeluarkan cahaya seperti lampu tabung seperti itu dari tubuhnya?" batin Maya masih penasaran, sembari mengingat-ingat kembali peristiwa aneh tadi. "Apa dia menaruh senter di dalam kausnya? Atau dia menyembunyikan banyak senter di belakang tubuhnya?" tebaknya.

"Oi!" panggil Tian hingga Maya tersentak. "Kenapa kau melamun terus dari tadi?"

Maya melihat ada mi cup dan minuman di depannya. "Berapa? Aku akan menggantinya?" mendadak ia ingat tas selempangnya yang hilang "Eh? Tasku?"

Tian meletakkan tas Maya di atas meja. Maya tidak sadar kalau Tian tadi mengambilnya. Maya berterima kasih dengan canggung.

"Tidak usah menggantinya. Aku yang traktir."

"Eh? Tidak usah." Maya merogoh tasnya hendak mengambil dompet.

"Aku yang traktir. Paham?" Tian memegang tangan Maya untuk mencegahnya mengambil dompet di tas. Mereka saling berpandangan, namun tak disangka tiba-tiba Maya tertawa. Tian tersenyum keheranan.

"Apanya yang lucu?"

"Kau merasa bersalah padaku, kan, Senior? Karena tadi marah-marah?" goda Maya.

Tian garuk-garuk alis. "Harusnya tadi kau pergi kencan saja," ujarnya pelan namun masih terdengar oleh Maya.

"Sudah kubilang aku ini tidak punya pacar! Kau mengejekku atau bagaimana, sih Senior?"

"Ya ya aku minta maaf. Aku juga minta maaf karena marah-marah dan membentakmu tadi."

"Pokoknya aku mau menggantinya. Aku tidak mau hutang apapun pada seniorku di kampus."

"Ya sudah ya sudah. Kalau begitu bayar sini," kesalnya sembari mengulurkan tangan.

Pada akhirnya mereka berdua menikmati mi cup dan sekaleng soda di depan minimarket. Keduanya kembali ke apartemen hampir tengah malam.