webnovel

Normal

Di kampus, Nico menyapa Maya. Ia bertanya dengan penasaran kenapa Maya berbohong dan menyembunyikan kakaknya. Cuma Nico yang tahu Maya punya kakak.

"Ah itu. Aku cuma khawatir saja. Orang-orang yang kita temui di taman bermain adalah orang asing."

"Hanya itu?"

Maya menoleh dan melihatnya. Nico paham maksudnya.

"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin menceritakannya, May."

"Aku dengar kau mau sidang." Maya mengalihkan topik.

"Eh? Dengar dari mana?" Nico ingat-ingat lagi. Ia menepuk jidatnya. "Pasti dari Kak Andra."

"Dari Kak Nina."

"Ha? Sejak kapan kalian akrab?"

"Ada deh."

Maya akhirnya kembali menghadiri kelas. Ella terkejut sekaligus senang melihatnya. Ia menghampiri Maya dan memeluknya. Dia takut Maya tidak pernah kembali lagi karena masalah Jeffry, mereka dengan cepat akur kembali.

"Maya, kukira kau keluar karena aku," Ella merasa bersalah.

"Kenapa karena kau?"

"Aku minta maaf, May. Aku tidak tahu Jeffry ternyata pria yang seperti itu."

"Dia punya banyak pacar, El. Kau jangan sampai jatuh dalam perangkap pria brengsek sepertinya."

Ella mengangguk. Ia makin menempel pada Maya.

"Kau masih mau berteman denganku kan?"

"Tentu saja."

Ella memeluknya senang. Mereka berdua duduk bersebelahan saat kelas dimulai.

"Sebenarnya Kak Tian menyuruhku sejak lama untuk meminta maaf padamu. Tapi aku ragu, saat kau tidak masuk kelas dan tidak datang latihan, aku sadar kalau aku terlambat. Aku memblokir nomornya Jeffry. Aku menangis semalaman."

"Astaga." Maya mengelus kepala Ella. Maya memikirkan Tian.

"Kak Tian marah pada semua orang saat kasus Jeffry. Dia bahkan cekcok dengan Kak Rimba."

"Apa? Benarkah?"

"Sepertinya dia menyukaimu, May."

"Ah mana mungkin." Maya tidak mau merasa narsis. "Kau sendiri bagaimana?"

"Aku sudah lama mau curhat ini. Tapi tidak ada satupun yang menyukaiku di kampus."

"Kau bisa curhat padaku sekarang. Aku tidak akan kemana-mana."

"Aku menyukai Kak Bagas." Ella mendadak malu.

"Kukira kau suka Kak Rimba. Bagas itu yang mana?"

"Dia pakai kacamata dan jarang bicara. Kau tidak pernah melihatnya. Dia jarang datang di klub."

"Aku jadi penasaran orangnya."

"Nanti sore kita ke club bareng."

Maya mengangguk. Keduanya tersenyum ceria.

Sorenya, Maya datang latihan klub dengan pakaian olahraganya yang imut seperti biasanya bersama Ella.

"Maya!" Tian yang tadinya duduk memperhatikan permainan junior, berdiri dan berlari menghampirinya.

Olla sudah tahu, karena Maya menghubunginya lebih dulu. Tian sangat senang dan kembali bersemangat. Rimba takjub melihat perubahan Tian, ia tidak berani macam-macam lagi dengan Maya sekarang. Pawangnya seperti serigala soalnya.

"Dasar anak itu. Apakah dia sadar kalau sedang naksir seorang gadis?" Rimba geleng-geleng melihat Tian.

Sore harinya, Maya berpisah pulang dengan Ella. Ia harus pergi ke kafe dan mulai bekerja lagi. Nando dan Gita menyambutnya ramah. Semua personil kafe lengkap lagi. Oska yang tengah mengelap gelas di meja barista, menatap Maya yang tertawa lebar. Hatinya lagi-lagi berdebar.

"Syukurlah, gadis itu sudah kembali ceria. Aku harus melindungi kehidupan normalnya," batinnya.

Beberapa hari kemudian, Kara datang mengunjungi kafe kakaknya. Namun ia terkejut melihat Maya, Nico dan Tian di meja tengah menikmati makan siang.

"Pantas saja aku merasa tidak asing, ternyata kau pegawai Kak Nando," Kara tiba-tiba mendekat.

"Oh? Kau kan?" Maya berdiri. Mereka saling tegur sapa.

"Apa aku boleh bergabung?" tanya Kara.

"Silakan?" Maya senang hati memberikan ruang.

"Kalian saling kenal?" tanya Nando.

Kara mengedikkan bahunya. Nando lalu menyiapkan makan siang untuk adiknya.

"Ya kalian berdua cocok si, Maya juga terlihat seumuran anak sekolah," Nando tertawa kecil.

"Kau kan anak SMA di taman bermain!" Nico kaget melihat Kara, begitu juga Tian.

"Kenapa? Tidak boleh aku duduk di sini?" Kara melipatkan dua lengannya depan dada.

"Aku dengar kalian bertengkar di lapangan," kata Maya tiba-tiba pada Tian dan Nico yang duduk di depannya. "Padahal di taman bermain kalian kompak memarahiku. Apa kalian pacaran huh?" tanya Maya sebal.

Tian dan Nico sontak tersedak minuman bersamaan.

"Para cowok memang tidak berguna," Kara menyedot minumannya tanpa rasa bersalah. "Gara-gara kalian semua kita tidak jadi main wahana gratis. Cih."

"Kami semua menyelamatkanmu supaya kau tidak terbang dibawa angin."

"Kenapa kau di sini? Apa kau bolos?" tanya Tian.

"Terserah aku lah ini kan kafe kakakku!"

"Astaga..." Tian menggeleng tidak habis pikir anak sekolah zaman sekarang.

Mereka berempat menikmati makan siang di kafe Nando.

"Kemana dua pacarmu?"

"Mereka bukan pacarku!"

"Kalau begitu salah satunya."

"Bukan!"

"Jadi kau jomblo."

"Kau sendiri juga jomblo."

"Nando, adikmu ini menyebalkan sekali sih."

"Kakak, kenapa kau berteman dengan orang tidak berguna ini, sih."

"Tidak berguna? Hah?!"

"Apa! Wlek!"

Nico mengangkat dua jarinya seolah mau mencolok mata anak SMA itu.

Mereka masih saling olok. Tian sibuk makan, dia bahkan tidak peduli pada sekitar. Sedang Maya hanya menggeleng.

Tian mengingat tentang penulis majalah yang Dion berikan padanya. Setiap mau tanya tentang Richy Forenzo si penulis majalah loli laknat itu, Tian selalu ragu. Ia tidak mau mengusik kehidupan Maya yang tak diberitahukan pada orang lain, tapi di sisi lain ia ingin mengenal gadis itu lebih dekat.

***

Beberapa minggu setelah semuanya berjalan normal.

"Ke kampus?" tanya Tian.

Maya mengangguk. "Aku naik bis."

"Kalau begitu aku juga."

"Benarkah? Kau bisa naik bis?" Maya menyipitkan matanya.

"Kenapa tidak bisa?" Tian melempar senyum berbangga diri. "Maya, kau cantik hari ini."

"Hah? Yang benar, haha." Maya tertawa mendengarnya seolah lelucon.

Ia memakai gaun selutut berwarna merah muda dan anting cantik dengan sepatu putih yang cocok.

Mereka berdua lalu turun dengan lift dan berjalan melewati taman sembari mengobrol santai. Dari atas, Oska menatap keduanya sembari minum kopi. Ia terus menatap Maya yang tersenyum lebar dan kadang-kadang tertawa pada Tian. Ia membisu menatapnya.

Maya belajar di perpustakaan dengan Ella. Mereka mencari meja yang kosong untuk belajar. Lalu ke kantin dan makan banyak camilan. Ella mengajaknya menonton acara basket di lapangan outdoor. Maya sangat ceria, ia banyak tertawa, ia tersenyum pada teman-temannya. Menghabiskan waktu yang menyenangkan seolah-olah semuanya terbayarkan. Kadang-kadang ia berpapasan dengan Tian, mereka saling melempar senyum malu.

Hingga suatu sore, setelah dari latihan klub, Maya berjalan menuju gerbang dengan Ella. Dari jauh Tian dan Dion juga pulang jalan bersama. Dar arah yang berlawanan dari Tian, Nico juga tengah berjalan dengan beberapa gadis sekelasnya.

Seorang ibu-ibu yang memakai pakaian mewah, high heels merah serta gaun bermotif salur, serta kacamata hitam yang mencolok. Ia berdiri di depan sisi pintu gerbang. Seorang satpam bertanya dia mencari siapa. Namun dengan angkuh menjawab kasar sedang mencari putrinya.

Maya dan Ella yang tengah santai menuju gerbang depan, sampai di luar mereka dihadang ibu-ibu tadi yang berkacamata.

"Dasar anak tidak tahu diri!" umpatnya.

Ella dan Maya kaget.

"Tan..tante siapa?" tanya Ella. Ia menatap Maya. Namun Maya malah mematung, wajahnya tegang dan nampak sangat shock, seperti terkejut setengah mati.

"Maya..." Ella khawatir.

"El, kau pulang saja dulu."

"Kau mengenalnya?"

"Em, aku mengenalnya."

Maya lalu menghampiri ibu-ibu itu. Ella hendak mengikuti Maya, namun Tian datang dan mencegah lengannya.

"Kak Tian?"

"Sepertinya ibu-ibu itu..."

Maya berdiri di hadapannya.

"Ada apa lagi Mama datang ke sini?"