webnovel

Kencan Sahabat

"Kau tahu? Aku bukan tokoh fiksi."

"Tapi, sikapmu ini juga sangat fiksi untukku."

"Aku menamainya Tongkat Harapan. Karena kau yang memegangnya, kau boleh minta satu permohonan padaku. Dan aku akan mengabulkannya untukmu. Apapun itu."

"Lucu sekali. Kalau aku minta Limousine, apa kau akan membelikannya untukku sekarang juga?" olokku.

Aram hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku akan menghitung sampai tiga. Kalau kau tidak segera meminta sesuatu yang normal, aku yang akan meminta darimu."

"Kenapa begitu? Jangan menarik kata-katamu sendiri."

"Satu..." hitungnya. Aku mendesis melihat kelakuan Aram.

"Apa-apaan ini!"

"Dua..."

"Ah ya sudah. Kalau begitu aku minta..."

"Waktu habis." Aram sumringah merebut tongkat itu dari tanganku.

"Kau curang!"

"Sekarang aku yang minta sesuatu darimu."

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku akan menciummu," tawa Aram pecah kala menatap mataku menyipit memandangnya sebal.

"Dasar Mesum!"

"Jangan mengataiku. Aku tidak minta yang aneh-aneh. Aku hanya menginginkan sesuatu yang sederhana"

"Dari awal kau sudah merencanakannya kan?" aku menghela napas berat. "Memang apa sih yang kau inginkan? Jangan menyuruhku kembali ke kelas. Karena aku tidak mau melakukan yang satu ini"

"Aku ingin..." Aram menatapku. Begitu juga aku yang tak memalingkan wajah darinya. "...ingin..."

"Apa!" aku meneriakinya.

"Ayo berkencan. Ayo jadi sepasang kekasih selama satu hari penuh."

Degh.

Flashback

Sebentar lagi aku akan meninggalkan usia lima belas belas tahunku. Aku ingin menikmati sweet seventeen seperti anak-anak yang lain. Aku ingin memiliki cita-cita dan memiliki orang-orang yang kusayangi. Setelah meregang nyawa di dalam ruangan putih. Seolah tanpa pasokan oksigen. Hari-hari yang berlalu hanyalah sebuah dentingan bandul jam yang bergerak searah. Dimana hanya ada raga dan obat-obatan. Dan wanita jalang itu, beserta ceceran darah di lantai kosong, di sudut-sudut dinding, juga di langit-langit. Kala itu, telapak tanganku mati rasa. Belati menghujam layaknya hujan deras yang tak bisa dihentikan. Takdir dan garis Tuhan. Mengiringi perasaanku di setiap hari.

Kakak mengunjungiku setiap waktu. Menatap pedih diriku dibalik jendela. Sorot matanya yang memerah. Kukira ia memang merindukanku. Sisanya hanya kenangan dan jejak kepiluan. Dahulu, aku selalu meracau bahwa kakak akan membunuhku dengan suntikan gila. Ternyata bukan. Ialah yang tak sanggup lagi membendung kegilaanku. Hingga aku berada di sini. Dalam waktu yang lama. Hingga terlupa. Siapa aku. Siapa yang melahirkanku. Atau dimana rumahku. Semuanya terasa ragu.

Tapi kakak tak pernah bosan. Kadang-kadang jubah putih panjangnya digantung di dalam almari. Hanya kemeja putih dan celana hitam yang ia kenakan. Kemudian memasuki ruanganku. Meski hanya membicarakan hal-hal yang tak ku mengerti. Karena penglihatanku mulai memburuk. Pendengaran yang salah tangkap. Dan otakku memutar, mencari jalan keluar. Tetap saja, tak aku mengerti. Karena aku mulai hilang kesadaran mengenai roh yang hidup dalam ragaku. Yang kutangkap hanyalah tangisan kakak yang pecah. Setiap menemuiku di ruangan putih ini. Dirinya bersimbah air mata. Sekelilingku hanya ada dinding pucat. Sepucat bibirku, yang kering dan mati rasa karena sedatif-sedatif atau apalah namanya, aku tak paham.

Ketika kakak memelukku. Rasa hangat itu menghilang. Ditelan rasa dingin di dalam tubuhku yang terlalu kaku. Seperti mayat. Baju hijau tosca yang melekat di tubuhku. Membaur begitu saja. Sepertinya aku memang benar-benar seorang pasien. Ah, kapan aku pulang ke rumah dan memakan omelette masakan kakak lagi? Entahlah. Seketika itu juga, aku ingin menyerah.

Pernah suatu hari. Kakak tak mengunjungiku, entah sibuk atau bosan melihat diriku yang makin lama makin tak berupa manusia. Aku jengah. Meraung-raung mengemis kasih sayang. Saat dokter membuka pintu akan memeriksaku, aku berlari ke arahnya dan berhasil melarikan diri keluar ruangan. Ku rebut pisau kecil di tangan seorang suster. Lalu kubuat sendiri sebuah luka di kedua telapak tanganku. Hingga teriris, meneteskan darah segar. Ingin mengakhiri hidupku yang berat dan dipenuhi derita. Namun mengapa aku tak mati juga?

"Kumohon demi kakak Viola."

Tangis, raungan, jeritan, pilu, pedih. Kakak berlutut di hadapanku. Meminta atas kehidupanku. Supaya aku tetap berada di dunia lebih lama bersamanya. Hingga perlahan kuingat kalimat itu. Dan memikirkan kakak. Kakak yang paling kusayangi. Kucintai. Yang selama ini bersamaku. Menghadapiku dengan sabar. Bahkan mempertaruhkan karirnya di masa muda. Terngiang akan pengorbanannya. Jika aku mati. Apakah aku semakin membaik? Atau kakak yang semakin memburuk?

Perlahan keadaanku menunjukkan reaksi positif. Sungguh memuakkan jika selamanya di rumah sakit. Ya. Aku akan segera pulih. Dan bertengkar dengan kakak setiap hari. Aku berjanji dan akhirnya sekarang aku menepati janji itu.

Flashback End

"Setelah pindah aku ingin membaik. Namun sepertinya kakak malah kesusahan denganku yang kini memiliki banyak emosi," batin Viola.

Ia duduk di bangku taman sekolah.

"Berikan ponselmu," Aram mengulurkan tangannya di hadapan wajahku.

"Untuk apa?" tanyaku heran.

"Tentu saja untuk mengambil foto makanan ini. Dan juga kencan kita." ia cengengesan sembari menaikkan kedua alisnya beberapa kali.

Mendadak aku kesulitan menelan ludah karena kelakuannya.

Aku menyunggingkan senyum. Bukan sepenuhnya benci. Hanya terlalu senang. Aku menatap Aram yang masih sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Layaknya gadis-gadis remaja yang gila makanan. Kurasa dia lupa, kalau dirinya itu laki-laki. Bahkan beberapa pengunjung di kafetaria itu memandangi kami aneh. Seperti pasangan yang tidak normal. Huh, lumayan malu juga. Namun aku terlanjur terhibur dengan tingkahnya.

"Sampai kapan kau akan berhenti memotretnya, Bodoh," celotehku dengan bibir merapat.

"Coba lihat kopinya. Ada bentuk hatinya. Wah imut sekali. Ini harus diabadikan," sibuknya memotret sana-sini seperti maniak.

"Tak seharusnya kau bersikap begini. Kau itu pria. Orang-orang menatapmu dengan aneh. Lagipula kapan kita akan mulai makannya? Ya ampun, ini benar-benar kencan yang buruk."

"Jangan begitu. Setelah ini baru kita ambil foto berdua. Buruk apanya? Ini adalah kencan terbaik."

Ia tertawa seraya menggeser kursi ke sampingku. Dan menjepret asal-asalan. Dirinya terlihat tampan, sedang ekspresiku tak karuan. Hufft, lagi-lagi ia membuatku sebal.

"Dengan adanya foto ini. Kau tidak akan melupakan wajahku," katanya.

"Dasar narsisme. Kau pikir wajahmu bisa setampan Leonardo Dicaprio atau Reza Rahadian? Jangan mimpi."

"Sekalipun ketampananku di atas mereka. Kau tidak bisa menghapus fotoku di ponselmu. Karena suatu hari nanti, kau akan menyadari sesuatu mengenai foto itu," ujarnya penuh rahasia.

"Sok misterius kau."

"Kau tahu? Hal yang tidak begitu indah di dunia ini adalah melihat diri sendiri. Karena di sana kau akan menemukan letak kelemahanmu."

"Apa kau cucu Mario Teguh? Bicaramu itu tidak nyambung sama sekali? Setelah kupikir lagi. Apa ini acara kencan? Atau motivasi?"

Aram mengedikkan bahu seraya menyesap kopinya. Aku geleng-geleng. Apa ia sadar apa yang baru saja dikatakannya? Ah aku ingin menghela napas panjang.