webnovel

Alfa dan Aram

Hari mulai memanas. Matahari tepat di atas kepala. Terik merona membasahi udara. Namun genggaman tangan berpautan. Seolah gerimis tak menghapus jejak-jejak kebersamaan. Anggrek dan Azalea berjajar di tepian trotoar. Menyibak beberapa hal. Sesaat aku bahkan tidak bisa membedakan keduanya. Terlalu mirip, sama-sama hobi membual. Apa terlalu kuno jika aku ingin menyukai seseorang selain kakak?

Ia menatap kedua mataku. Tersenyum menampakkan sederetan Gigi putihnya. Air mukanya ringan. Langkah kami beriringan, menapaki kerangka makna. Yang diantaranya berderet-deret Kemukus. Dan beberapa pohon Deptirokarpus. Kasturi dan Daffodil. Mengisyaratkan lesung pipinya. Kepalan tangannya hangat dan menyenangkan. Seolah melindungi apa yang ingin dilindungi. Sesekali aku bertanya apa yang akan ia lakukan lagi mengenai kencan tak masuk akal ini. Namun jawabannya hanya mengedikkan bahu.

"Sedari tadi yang kau lakukan hanya mengajakku berjalan." aku menggerutu. "Kau berkata ini kencan terbaik? Yang benar saja. Hanya ada polusi udara di sekitarku."

"Berjalan kaki itu, menyehatkan badan. Kalau kau merasa sesak napas, aku bisa memberimu napas buatan. Bagaimana? Apa kurang romantis?"

"Tapi ini siang bolong! Dan kau terus menggandeng tanganku. Membuatku tambah gerah saja. Tidak ada yang romantis yang romantis sejak tadi!" aku mendecakkan lidah.

"Tapi kau bahagia kan?"

"Eh?"

"Bahagia itu bukan sekadar mempunyai banyak harta, uang ataupun Limousine. Tapi juga 'membahagiakan' orang lain."

"Ya ya baiklah, Profesor."

Aku menjawab malas. Akulah yang kemarin meminta mobil mewah dengan tongkat permintaan padanya. Ingatannya memang luar biasa.

Tiba-tiba Aram makin mengeratkan genggaman tangannya yang basah akan keringat. Ditariknya pergelangan tanganku tanpa izin. Secepat kilat ia membawaku berlarian di trotoar. Melewati beberapa gang sempit. Melewati angin yang bergerak melambai-lambai di udara. Awalnya aku ingin marah. Namun langkahnya semakin lebar. Tubuhku hanya tertarik ringan, karena ia memegang sangat erat tanganku. Ia bahkan tak berhenti berlari sekalipun aku memanggil namanya berulang kali, hingga mengeluh kecapaian.

"Woi berhenti! Kenapa kita lari? Memangnya kita ini maling!" teriakku di sela-sela hembusan napas yang tersengal-sengal.

"Katanya kau kepanasan. Kalau lari begini kan, tubuhmu jadi sejuk." sahutnya masih dengan berlari.

"Tapi aku lelah."

Aku menarik paksa pergelangan tanganku darinya. Kemudian berhenti sejenak. Sekiranya menghirup oksigen. Aku memegang lutut ku seraya mengatur pasokan udara di dalam paru-paru. Begitu juga Aram. Ia memegangi dadanya yang naik turun. Namun bukannya mengeluh, ia malah tertawa. Seolah ada yang lucu.

Cuaca yang semakin ganas, menyengat kulit. Menyengat perasaanku yang kian membuncah entah mengapa. Aku berkacak pinggang. Seringaian muncul di sudut bibir. Tunggu saja pembalasanku. Kulihat Aram masih sibuk mengipas-ngipas kerah kemejanya. Peluh mengucur deras di pelipisnya. Ia menyeka keringat agar tidak jatuh. Sekilas aku tersenyum. Kupikir adegan semacam ini akan ada di drama Korea. Si wanita yang mengusap keringat si pria. Ah ya ampun. Apa aku maniak sekarang?

"Kenapa kau menatapku?" tanya Aram tiba-tiba.

"Eh t...tidak. Berhenti bersikap narsis." aku memalingkan wajah.

"Apa aku sangat keren seperti Jung Kook."

Aram membuat huruf V dengan jari-jari di matanya. Seraya mengedipkan sebelah mata. Ia tersenyum lebar. Wajahnya sumringah seperti baru saja mendapat jackpot. Aku shock melihatnya. Seolah aku akan segera terkena serangan jantung mendadak.

"Apa? Kalau begitu 'jongkok' saja sana sepuasmu!"

"Katanya kau suka Bangtan boys yang tampan-tampan itu. Bukankah aku sudah mirip salah satunya?"

"Kata-katamu itu mengingatkanku dengan seseorang. Eh tapi, dari mana kau tahu aku... "

Tanpa mendengarkan lebih lanjut, ia menarik pergelangan tanganku lagi. Dan mengajakku berlarian. Entah ini memang acara lomba lari atau kencan. Aku tak bisa membedakannya. Ah, lagi-lagi terpesona oleh poninya yang mengibas karena terpaan angin. Aku memandangi wajahnya dari sisi, terlihat sangat teduh dan bahagia. Kuputuskan untuk berlari dengannya. Menapaki jalanan lebih cepat. Tertawa meninggalkan dan beban.

Pancaran sinar dari bukit-bukit. Turun melewati lembah. Menyisakan beberapa helai daun yang rontok. Berwarna kusam, namun bukan sepia. Catatan memo yang dipenuhi darah, sayatan, goresan. Memudar seiring datangnya kenangan baru. Melalui beragam album. Menyambut Cemara, sepatah demi sepatah. Menanti pengalaman masa depan. Menghayal jauh ke angkasa. Membayang sosok kawan di masa depan. Seperti menyusuri padang. Yang bernas akan gerimis. Rintik berjatuhan di bawah payung. Beterbangan disebar oleh kala. Seketika itu aku memulai. Ini bukan akhir. Tetapi hanya sebuah awal bagiku, bagimu, dan bagi kita.

Aku masih berkutat dengan pelarian ini. napasku tersengal, namun bukan jenis sesak yang seperti dahulu. Ini degupan yang menyenangkan. Pria itu nampak bersemangat. Membawa entah kemana. Tanpa melepaskan telapak tangan. Dengan sebuah senyuman. Yang mengukir seni dalam hati. Begitu bernyali hingga aku berani. Mulai membuka mata. Dan menatapnya. Bukan dari sisi wajahnya lagi. Namun sepenuhnya. Aku ingin mulai meracau. Tapi tawa renyahnya membuatku terbangun dari ilusi alam paling indah. Aku terperangah. Segera setelah aku menyadari. Ia seseorang yang berbeda, yang kukira halusinasi sebelumnya. Menggenggam tanganku dan berlarian seolah melarikan sesuatu. Aku paham. Sekarang dirinya di hadapanku.

"Alfa," gumamku pelan.

"Kau memanggilku?" sahutnya sembari mengatur udara yang keluar masuk bebas ke rongga paru-parunya.

"Kenapa kau....di sini?" lidahku hampir mati rasa. Aku melepaskan genggaman tangannya.

"Kau tanya kenapa aku di sini?" Alfa keheranan. "Beberapa detik yang lalu. Kita baru saja berlarian di sepanjang trotoar. Menghabiskan waktu berdua. Kencan!"

"B...bagaimana bisa? Lalu dimana Ar..."

"Sssstt." Alfa membungkam bibirku dengan telunjuknya.

"Kau tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata. Akan kutunjukkan kencan terbaik yang tidak akan pernah kau lupakan," bisiknya pelan di telinga.

Gemuruh di dadaku tak bisa ku kontrol. Meskipun dengan ctrl+c atau ctrl+v. Apa ini semacam tidur panjang lagi? Entah dari mana datangnya. Mendadak keberadaan Aram menghilang. Seolah ditelan kabut. Dan Alfa, ia tersenyum. Seperti semuanya berjalan baik-baik saja. Hanya aku yang keheranan.

Sekelilingku masih sama. Suasana kota. Gedung-gedung pencakar langit. Pedagang asongan. Rumah makan. Kedai kopi. Pohon oak yang rindang. Tidak ada yang berbeda. Begitu pula pria itu. Kaus putih dan jaket hitam. Style yang sama persis dengan Aram. Aku menggeleng. Apa mereka kembar identik? Sejuta pertanyaan memenuhi otak. Tapi tak satupun berujung jawaban. Jalan buntu diantara aku dan mereka. Seperti mimpi, namun menemui tokoh yang sama setiap malamnya. Apakah ini delusi?

"Woi!"

Alfa melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajahku. Menyadarkan dari lamunan panjang.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan sih?" ketusnya.

"Aku..." Alfa masih menatap kedua mataku dengan teliti. "....haus"

"Ya ampun!" pria itu mengacak rambutnya frustasi. "Kau membuatku hampir terkena serangan jantung. Harusnya bilang padaku jika kau kehausan. Kita sedang tidak kencan di Gurun Gobi kan?"

Aku cengengesan melihat tingkahnya.

"Baiklah. Benar katamu. Ini kencan terburuk!