webnovel

Kalut

"Apa yang kau lakukan padanya?!" teriak Tian.

"Dia pingsan," jawab Oska.

"Apa?!"

Oska lalu keluar dari lift. Tian dan Dion mengikutinya. Tian membuka pintu depan utama apartemen.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Maya kenapa?" Tian panik.

"Kau tahu klinik terdekat dari sini?" Oska tanya balik.

"Aku tahu. Dekat sini ada klinik yang biasanya masih buka."

Mereka berlarian ke klinik yang letaknya tepat di samping gedung apartemen. Oska menggendong Maya yang tidak sadarkan diri, Tian khawatir da terus menatap Maya dari samping.

Dion menatap jam di pergelangan tangannya. "Apa masih ada klinik buka jam segini?"

"Ada," sahut Tian. "Klinik di sini ada yang buka 24 jam."

Mereka sampai di sebuah klinik bercat putih, di sampingnya ada apotek yang masih buka. Mereka segera masuk ke bagian klinik. Tempat itu kosong, tidak ada dokter di sana, kecuali sunyi dan kosong.

"Permisi!" Tian memanggil dokter.

Seorang dokter wanita yang berusia paruh baya muncul dari balik tirai. Ia terkejut melihat pemandangan seorang 3 laki laki tinggi yang tengah panik dan juga seorang gadis yang digendong dalam keadaan pingsan.

"Astaga," Dokter itu sendiri juga terkejut.

Dokter kemudian menyingkap tirai, ada sebuah ranjang pasien di sana. Ia meminta Oska untuk membaringkannya di sana.

"Apa kalian bertiga temannya?" tanya Dokter sembari memeriksa Maya yang setengah tidak sadarkan diri.

Maya meringis menahan sakit di perutnya. Dokter memegang bagian perutnya yang sakit, ia menoleh ke tiga teman pria tadi dengan tatapan yang tidak mereka pahami.

Ketiganya pun hanya menatap balik dokter perempuan itu.

"Apa kalian akan terus di sini?" Dokter memiringkan kepalanya.

Seketika Oska, Tian dan Dion gelagapan dan salah tingkah. Mereka kemudian balik badan dan meninggalkan ruangan itu. Dokter kemudian menarik tirainya. Ketiganya berada di depan dan menunggu dokter keluar. Dion duduk di kursi tunggu sedang, Tian dan Oska tengah berdebat di hadapannya.

"Apa yang terjadi dengannya?" suara Tian meninggi.

"Aku juga tidak tahu."

"Kau yang pulang bersamanya kan tadi? Kenapa bisa tidak tahu?"

"Aku hanya berpapasan saat pulang."

"Cih. Jawab saja, sialan. Kau apakan dia?!" Tian meraih kerah Oska.

Dion berdiri dan menghentikannya. Baru pertama kali ini ia melihat Tian marah seperti itu. Kali ini ia tidak main main, dia benar benar marah pada pria yang tidak dikenalnya itu, bahkan hampir memukulnya.

"Hentikan, Yan! Dia bilang tidak tahu kan?" Dion menariknya. "Tian, lepaskan!"

Akhirnya Tian melepaskan cengkeramannya. Oska menatapnya dengan tatapan dingin.

"Terus kenapa kau pulang bersamanya tadi? Aku melihat kau bicara dengannya."

"Apa kau harus tahu semuanya?"

"Apa?"

"Maksudku, apa kau pacarnya?"

Tian membeku. Mereka berdua saling bertatapan tajam.

"Aku mengenalnya. Dia temanku di kampus. Jadi wajar jika aku melihatnya pingsan bersama pria lain kan?"

"Aku sudah bilang kalau aku tadi hanya berpapasan dengannya di jalan. Kami rekan di tempat kerja. Aku bukan pria aneh yang tiba tiba bersama Maya. Kau bahkan tidak tahu apa yang sudah dialaminya tadi."

"Apa maksudmu? Bicara yang jelas."

Namun Oska membisu, tidak berniat menjawabnya dan hanya menatapnya dengan tatapan tajam.

"Memang apa yang sudah dialaminya? Woi! Kenapa kau tidak menjawabku?" Tian memaksa.

"Jika kau memang benar benar dekat dengannya, dia pasti akan memberitahumu sendiri," kata Oska. "Kau bahkan bukan pacarnya." gumamnya pelan namun masih bisa terdengar Tian.

Tian menyadari itu. Ia sendiri tidak tahu kenapa bersikap berlebihan. Entah kenapa dia sangat marah tadi ketika melihat Oska membawanya. Di dalam hati terbesit kenapa bukan dirinya saja yang menyelamatkannya?

Tian duduk, wajahnya lesu dan mendadak murung.

"Sebenarnya kau kenapa?" tanya Dion khawatir. Ia duduk di samping Tian dan menepuk bahunya. "Kenapa kau semarah ini?"

Tian mencondongkan badan sembari memegang kepalanya.

"Aku…juga tidak tahu kenapa."

***

"Kakak!" teriak Kara.

ia menggedor gedor rumah dan tidak mendapati kakaknya menyahut panggilannya. Kara memanggilnya lagi dan lagi.

"Kak Nando!" Kara mendecih. "Ke mana sih itu orang."

Kara akhirnya meninggalkan rumah, karena kakaknya yang membawa kunci jadi tidak ada yang bisa ia lakukan di sana. Ia naik bus dan menuju ke kafe kakaknya.

"Sudah lama aku tidak naik bus," kata Kara yang duduk di bangku halte.

Hari hampir menjelang senja. Kakaknya tidak tahu kalau dia pulang dari asrama. Ia naik bus dan menikmati semilir angin sore. Rasanya nyaman sekali setelah sekian lama. Kara termenung, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu yang membuatnya agak stres. Ditambah beasiswanya yang hampir hilang gara gara cowok manja itu.

Kara menghela napas panjang.

Sesampainya di kafe. Kara masuk ke dalam ia melihat ada Gita sedang membersihkan meja. Ada juga Oska di dalam sana. Kara menghampiri Oska yang tengah mengelap gelas.

"Permisi, Kak."

"Iya, Dek. Cari apa ya."

"Cari kakakku."

"Apa?" Oska tertegun. Begitu juga Gita yang mendengarnya sontak menoleh. Ia mendekati mereka.

"Siapa tadi? Kakakmu?" Gita memperhatikan Oska. "Apa dia adikmu?"

"Tidak kok," elak Oska. "Kakakmu siapa?"

Kara yang memang lagi dalam keadaan good mood. Ia dengan malas menjawab.

"Kak Nando. Aku mencari Kak Nando."

"APA?" Gita shock.

Oska termenung kaget.

"Kara?" Nando tiba tiba muncul dari pintu depan. Ia habis membeli roti bakar untuk dibagikan ke karyawan.

Kara melihatnya, lalu menghampirinya.

"Kakak," panggilnya dengan lesu dan cemberut.

Nando paham, sepertinya ada yang tidak beres dengan adiknya. Ia terlihat sedih dan murung. Ia lalu mengajaknya masuk ke ruangannya.

"Oh ya ini aku beli beberapa jajanan," Nando mengeluarkan sekotak besar roti bakar. Ia memberikannya pada Gita. "Buat kalian berdua."

"Wah, Bos. Kau baik sekali sih," Gita tersenyum lebar menerimanya.

Oska melihatnya lalu menatap Kara. Nando paham dari tatapan mata Oska yang bertanya tanya siapa gadis manis itu, apalagi masih mengenakan seragam sekolah.

"Dia ini adikku, Kara," kata Nando.

"Oh pantas saja. Kalian terlihat mirip," sahut Gita.

"Kami masuk dulu," kata Nando mengajak Kara ke ruangannya.

Di luar Oska kembali melanjutkan aktivitasnya. Sesekali ikut mencicipi jajan roti bakar dengan Gita. Rekan perempuannya itu terus berbicara tidak percaya bahwa atasan mereka memiliki adik perempuan yang masih sekolah.

"Pantas saja, Bos sikapnya lembut sekali dengan perempuan. Ternyata ia memiliki adik," kata Gita.

Oska manggut manggut mendengarnya.

Di ruangan Nando. Ia mengambil susu dari kulkas dan memberikannya ke adiknya. Ia melihatnya termenung menatap susu itu.

"Kenapa? Apa ada hal serius terjadi?"

"Kak, aku minta maaf." Kara tidak berani menatap kakaknya.

"Ada apa?"

"Janji jangan marah. Baru aku ceritakan."

"Iya iya. Janji."

"Lagipula kakak memang tidak pernah marah dan selalu saja bersikap baik sama semua orang. Kenapa tadi kau membelikan jajan buat karyawanmu. Ck ck." Kara tidak habis pikir. "Kau kan yang menggaji karyawanmu. Kenapa membelikan mereka makanan? Mereka kan tidak memintanya. Kalau kakak baik terus sama semua orang, orang orang akan memanfaatkanmu kan."

Nando tertawa.

"Kenapa kakak tertawa?" Kara jengkel.

"Apa ada masalah serius kali ini? Kau sampai memperhatikanku, tidak seperti biasanya."

"Janji ya jangan marah."

"Iya, iya." Nando mengelus puncak kepalanya.

"Sebenarnya…."