webnovel

Sakit

"Mungkinkah kau dan Maya…" Tian ragu.

Oska menunggunya.

Drfft drftt

Ponsel Tian berdering, dari Dion lagi.

Oska memahami situasinya. Ia lalu mengangguk sopan dan meninggalkan Tian agar bisa mengangkat teleponnya. Setelah itu ia melenggang pergi dari sana.

Tian mengangkat teleponnya.

"Tian, cepatlah jemput aku, huhuuuu." Dion merengek.

"Sudahlah jangan cengeng. Kau bilang halte dekat apartemenku kan? Lima menit lagi aku sampai."

"Terima kasih kawan. Cepatlah datang dan selamatkan aku. Aku menunggumu."

"Dasar menyusahkan!" Tian menutup panggilannya. Lalu bergegas ke sana.

Sesampainya di halte. Ia mendapati Dion tengah duduk meringkuk di sudut bangku dengan menyedihkan. Tian mendekatinya sembari menghela napas.

"Dion," panggilnya.

"Tian?" Dion menoleh. "Akhirnya kau datang juga kawan."

Dion menghampirinya. Wajahnya kusut dan lesu. Bibirnya cemberut, keadaannya kucel. Dirinya tidak tahu lagi mau kemana, ya memang salah dia juga sih karena bermain di rumah Jimmy sampai larut malam.

"Maafkan aku, Yan," Dion mengengeh, setelah hampir menangis tadi.

"Yan yan siapa? Kau pikir namaku Yanto apa? Ck ck." Tian sebal. "Kenapa kau tidak menginap saja di rumah si Jimmy itu?"

"Kupikir tadi masih agak sore, tahu tahu sampai di jalan aku baru lihat jam tangan."

"Apa yang kau lakukan di rumah Jimmy? Main PS lagi? Atau membahas majalah laknat itu lagi?"

Dion melirik kanan kiri. Tian menganga melihat reaksinya, ia bisa menebak drai ekspresi menyebalkannya.

"Kau…" Tian membuat gesture seolah mengepalkan tangannya dan ingin melayangkannya ke arah Dion.

Dion menghindar.

"Aku tidak melakukan hal aneh aneh kok. Aku cuma membeli majalah terbaru bulan ini. Lagi pula kau tahu sendiri itu bukan majalah aneh atau por*o. Kata katamu itu membuatku seolah olah aku ini pria aneh tahu," protesnya.

"Dasar." Tian memasukkan tangannya ke saku celana. "Ayo balik."

"Ke mana?"

"Ke Amerika! Ya ke apartemenku lah!"

Dion mengangguk menurut. Ia tahu Tian tengah sebal dan marah. Dirinya sadar kalau merepotkan sahabatnya itu. Apalagi tadi dia bilang tengah mengerjakan tugas makalah. Dion merasa bersalah.

Mereka berdua berjalan menuju apartemen. Jarak halte dan apartemen Tian lumayan dekat.

"Kau tadi beneran sedang mengerjakan makalah?" tanya Dion.

"Hem."

"Ohoooiii." Dion menyipitkan matanya. Ia menendang bahu Tian.

"Ayo jujur saja. Apa yang kau tonton tadi?"

"Apa sih yang kau katakan?"

"Tian, aku sama sekali tidak akan memarahimu kalau kau menontonnya."

"Bukan urusanmu juga. Lagipula kau siapa berani memarahiku?!"

"Jadi kau benar menonton sesuatu tadi?" Dion tertawa. "Ketahuan kau, haha."

"Bisakah kau tutup mulutmu itu?"

"Iya iya deh. Maaf."

Namun Dion masih menatapnya dengan senyum senyum lagi. Tian menghela napas melihat ekspresinya yang sangat ingin ia tonjok itu.

Sementara itu Maya melangkah pelan di lorong apartemen. Ia memegang perutnya yang sakit, ia juga mual dan pusing.

"Apa aku masuk angin ya?" pikir Maya.

Drfftr drftt

Dering ponsel tiba tiba mengejutkannya. Ia merogoh tas-nya dan mengambil ponselnya lalu mengangkatnya.

"Woy Maya! Kapan kau akan membayar hutangku?" pekik seseorang di seberang telepon.

"Astaga kenapa orang ini tidak tahu timing yang tepat untuk mengirim pesan semacam ini sih?" batinnya.

"Pak, apa Bapak tidak lihat ini jam berapa? Bapak kan bisa menghubungiku besok."

"Salah sendiri kau mengabaikan teleponku tadi pagi. Itu membuatku kesal tahu!"

"Tadi pagi aku ada di kelas dan lupa mengaktifkan ponselku. Aku minta maaf."

"Besok aku akan mendatangimu."

"Apa?!" Maya sadar kalau berteriak. Ia segera memperbaiki cara bicaranya. "Bapak serius? Besok kan hari minggu? Bisakah bapak datang lain kali saja. Sungguh aku tidak mengelak."

"Apa katamu? Dasar gadis sialan!"

"Astaga, Pak. Jangan mengumpat pada gadis miskin sepertiku. Bateraiku lowbatt dan aku harus segera mengecasnya. Aku harus menutupnya."

"Tunggu dulu, Maya! Ma…"

Tuuutt

Maya menon-aktifkan ponselnya. Ia berbohong tentang baterainya yang lowbatt. Bisa bisa Bapak rentenir itu akan terus menagih hutangnya apalagi sampai datang besok pagi.

"Akhhh…"

Maya menekan perutnya yang sakit. Ia meringis menahan sakit. Ia bahkan berjalan dengan menyandar di dinding dan merayap seolah cicak. Ditambah gaunnya yang membuatnya kedinginan.

"Pusing sekali kepalaku…" Maya memejamkan matanya. Kamarnya tinggal beberapa langkah lagi.

Namun tiba tiba, ia berjongkok di depan pintu dan tidak kuat menarik gagang pintunya. Ia berjongkok dan menundukkan kepala hingga rambut panjangnya menutupi wajahnya. Ia merintih.

"Ahhh perutku…" Maya memejamkan matanya.

Oska yang baru keluar dari lift lalu berbelok dan heran melihat perempuan yang mengenakan baju yang sama dengan Maya tengah meringkuk dengan rambut yang menutupi wajahnya. Oska tahu ternyata itu memang Maya. Ia mendekatinya perlahan. Lalu sedikit berjongkok memeriksanya.

"Maya?" ia berusaha melihat wajahnya di balik rambutnya yang tergerai. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau baik baik sa…"

Maya sedikit mendongak, namun dengan wajah pucat dan mata terpejam menahan sakit. Pelipisnya berkeringat. Sembari menekan perutnya yang sakit dan kepalanya yang pening, ia berusaha menjawab seseorang yang memanggilnya.

"Aku…" Maya tidak punya sisa tenaga.

Oska terkejut melihat keadaannya yang memprihatinkan. Ia segera memegang pundak Maya dan membantunya tetap sadar.

"Maya? Sadar, May! Kau kenapa?" panik Oska.

"Perutku…akh."

Oska khawatir dan panik. Ia menurunkan tas ransel hitamnya dan menaruhnya di lantai lalu berjongkok di depan Maya. Mengaitkan lengan Maya di lehernya. Oska menggendongnya. Ia kemudian bergegas turun ke bawah lagi menggunakan lift.

Di dalam lift ia mengecek jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul 11 malam. Ia panik harus kemana. Jarak rumah sakit lumayan jauh dan tidak ada bus kecuali taksi pribadi yang harus dipesan online. Itu pun pasti datangnya lebih dari 10 menit.

"Aku harus membawanya ke mana?" batin Oska.

Ting!

Mereka sampai di lantai 1. pintu lift terbuka. Oska mendapati Tian dan temannya, Dion berdiri di sana. Tian menyipitkan mata terkejut sekaligus panik melihat Oska, si tetangga barunya menggendong Maya yang setengah tidak sadarkan diri.

"Kau?" Tian kaget. "Apa yang kau lakukan padanya?!" Ia mendecakkan lidah lalu mendekat.

"Tunggu dulu," Oska berusaha menjelaskan situasinya.

"Apa yang terjadi?" Dion tidak tahu apa apa tentang siapa pria di hadapannya apalagi perempuan yang digendongnya serta alasan kenapa temannya itu agak marah melihatnya.

"Apa yang kau lakukan padanya?!" teriak Tian.

"Dia pingsan," jawab Oska.

"Apa?!"