webnovel

3 Saudara

"Nico!" seru seseorang dari belakang.

Nico menoleh dan mendapati seorang pria melambai ke arahnya. Ia duduk di depannya. Mereka berada di hall sebuah mall milik Abraham, ayah mereka.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Nico.

"Baik baik saja."

"Ibu?"

Pria itu terdiam menatapnya. Nico tentu tahu apa arti tatapan mata pria itu.

"Andra," panggil Nico. "Bagaimana keadaan ibu di rumah?"

Ya pria itu adalah kakaknya. Mereka terpaut lima tahun. Andra menjalankan bisnisnya di Kanada. Ia sengaja pindah jauh dari ayahnya. Dan baru baru ini ia pulang ke rumah.

Flashback

"Andra!" teriak Abraham, ayahnya.

Ayah menghampirinya dengan wajah tertekuk dan marah. Ia melangkah mendekati putra semata wayangnya yang menatapnya datar dan angkuh. Ayah mengangkat tangan kanannya, tanpa aba-aba digamparnya dengan kekuatan penuh pipi Andra.

PLAK!

Farah, isteri Abraham, ibu dari Andra, menutup mulutnya lalu berlari mendekati putranya. Ia bediri di depannya dan menghadang suaminya untuk memukulnya lebih jauh lagi.

"Hentikan!" pekik ibunya.

"Tidak ada gunanya melindungi anak tidak berguna sepertinya!" ayah semakin marah. Ia mendorong ibu hingga jatuh ke lantai dan melanjutkan aktivitasnya memukuli Andra.

Plak! Buagh! Plak!

Memukulnya, menamparnya, meninjunya hingga wajahnya babak belur. Ibu berdiri dan mencegah lengan besar suaminya, namun tidak ada yang berubah. Kekuatan ayah sangat besar, tenaganya berkali-kali lipat. Ia adalah seorang mantan anggota militer, namun memutuskan untuk fokus di perusahaan keluarga. Dan Andra adalah pewaris sah. Namun itu semua buyar dan hancur, karena Andra melakukan satu kesalahan besar.

"Bagaimana bisa…" ayah memegang dadanya yang nyeri sembari meringis menahan sakit. Tubuhnya hampir oleng.

"Bagaimana bisa kau meninggalkan adikmu di sana! Bagaimana bisa kau melakukannya! Kau…kau bukan putraku! Kau bukan putraku!"

Ayah terjatuh di lantai sembari memegang dadanya. Ibu panik dan menghampirinya. Andra hanyalah anak berusia dua belas tahun yang dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan. Andra kembali berdiri dengan tubuh dan wajah babak belur. Tangannya mengepal sembari melihat ayahnya yang terjatuh kesakitan. Dirinya sama sekali tak berniat membantu karena diliputi amarah dalam tubuhnya.

"Suamiku! Suamiku!" ibu berteriak memanggil manggil ayah dengan panik. "Panggil bibi, Nak! Panggil sekarang!"

Ibu berteriak namun teriakan itu tak sampai di telinga Andra. Seluruh suara di tengah rumah itu kini seolah kabur ditelan keadaan, kepalanya berputar putar akibat pukulan ayahnya, pipi dan bibirnya nyut nyutan karena darah yang mengalir. Penglihatan Andra makin buram. Ia melihat sosok ibunya yang masih berteriak minta tolong karena ayahnya yang pingsan, namun ia tak bisa membantu. Andra oleng dan terjatuh di lantai, ia pingsan.

Andra dan Andi adalah kakak adik, keduanya terpaut 2 tahun. Sayangnya, Andi adalah anak yang lumpuh. Ia menghabiskan hidupnya dengan duduk di kursi roda. Suatu hari keduanya pergi ke taman bermain bersama suster yang sudah merawat mereka sejak kecil karena orang tua mereka tak memiliki waktu mengurus mereka. Siang itu, Andi masih bersama mereka, Andra mendorong kursi rodanya dan berhenti di stan kedai es krim dan mengantre di belakang. Keduanya tertawa lebar menikmati waktu luang di hari libur.

"Kakak," panggil Andi, ia mendongak melihat kakaknya.

"Ada apa? Kau sudah tidak sabar mau makan es krim?"

"Bukan itu?"

"Kenapa?"

"Ayah akan marah karena kita bolos les." Andi menunduk sedih.

Andra sadar adiknya khawatir karena kabur diam-diam di jam les, beruntung suster yang merawat mereka mau bekerja sama dan merahasiakannya. Dia adalah Suster Rima, ia lebih muda beberapa tahun dari ibu, sekaligus pengganti ibu.

"Andai kita bisa liburan bersama ayah dan ibu."

"Sudahlah jangan bersedih. Sebentar lagi kita akan dapat es krim kesukaanmu."

Andra berusaha ceria dan memberi energi positif. Dua anak kecil yang masih SD itu membeli es krim dan menikmatinya sembari duduk di taman, juga bersama Suster Rima. Ia baru kembali dari toilet.

"Apa kalian sudah membeli es krim anak-anak?" tanyanya dengan riang. Ia mengelus puncak kepala Andra dan Andi bergantian.

"Suster Rima," panggil Andi. "Kalau kau dimarahi ayah nanti, kami minta maaf ya, ah tidak, aku yang salah, kakak dan suster tidak, jadi bilang saja kalau aku yang memintanya." kata Andi dengan sungguh-sungguh.

Suster dan Andra saling melihat satu sama lain, kemudian tertawa lebar. Andi bingung dan kaget setengah mati.

"Berapa usiamu, dek Andi?" tanya suster, ia tertawa. "Kau masih kelas 5, tapi bicaramu seperti orang dewasa."

"Tenang, ada kakak di sini," Andra membanggakan diri sembari menepuk dadanya sok kuat. "Aku akan melindungimu jika dimarahi ayah, hehe. Ayah tidak mungkin memarahi suster, aku akan memarahi ayah lebih dulu jika melakukannya."

Suster yang mendengar itu pun tertawa.

"Kau juga masih kecil, Andra." Suster mencubit pipinya yang mungil.

"Sebentar lagi aku lulus SD, aku akan jadi pria yang keren dan melindungi orang-orang."

"Ternyata dek Andra sudah besar, ya." suster menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang bak seorang ibu. "Kalian makanlah es krimnya, nanti meleleh."

Ketiganya tertawa bebas tanpa kekangan.

Sudah lama sejak Andra dan Andi memiliki waktu bermain, keduanya masih anak-anak namun ayah mereka selalu menekankan bahwa nilai adalah segalanya, tidak diizinkan bermain dengan anak seumuran, jam les yang sangat menyiksa.ibu juga jarang mengasuh mereka karena sibuk dengan pekerjaan di salon. Mereka berdua sejatinya dibesarkan oleh Suster Rima.

Hingga di siang hari pada minggu, Suster tiba-tiba menemukan Andra tengah berdiri di depan taman yang tak jauh dari permainan kuda-kuda, wajahnya datar dan pucat. Tatapannya mengarah pada samping bangku yang tadi mereka bertiga duduki. Sayangnya, kursi roda Andi sudah jatuh di sampingnya, tanpa ada Andi di sana. Suster yang melihatnya dari kejauhan sadar bahwa Andra tengah menatap kursi roda yang jatuh terguling itu. Ia berlari mendekati kursi roda dengan panik dan ketakutan.

"Andi! Andi!" teriaknya sembari melihat ke sana kemari. "Andi! Kemana kamu, Nak! Andi!"

Suster mulai menangis, ia mendekati Andra yang diam mematung tanpa bicara dan menunjukkan ekspresi apapun kecuali wajah yang datar.

"Andra! Dimana Andi?! Dimana adikmu?!" suster menggoyang-goyangkan bahu Andra dengan kasar. Namun Andra masih tak bergerak.

"Andra! Sadar, Nak! Dimana adikmu?!!" teriaknya lagi, kini lebih keras dan kasar.

Andra tertegun dan menatap kedua matanya. Namun mata itu kosong dan nanar.

"Aku…tidak tahu."

"Apa?"

"Aku…tidak tahu…"

Suster merasa ada yang aneh dengan diri Andra. Anak itu berbicara tanpa emosi dan pikiran jernih, seolah kepalanya terbentur dan amnesia. Ia masih menatap ke depan, memandangi udara dengan nanar. Suster akhirnya melepaskan bahu Andra dengan lemas, lengannya jatuh. Ia terduduk di bawah sembari menatap emosi Andra yang telah lenyap. Anak itu terlihat tidak baik-baik saja.

Flashback End

Setelah Andi hilang saat ia berusia 10 tahun, Andra yang baru berusia 12 tahun saat itu sendirian di rumah. Ayah yang memang dasarnya bertemperamen buruk, sekarang jadi lebih buruk. Meskipun beliau seorang dekan di universitas tempat Nico menempuh pendidikan.

Kejadian itu terjadi 15 tahun yang lalu. Hingga sekarang adik Andra, yang merupakan kakak dari Nico, masih belum ditemukan. Selang lima tahun setelah Andi hilang, Nico lahir. Mereka berdua terpaut 5 tahun.

"Ibu baik baik saja di rumah. Ayah sering melakukan perjalanan bisnis. Lagipula dia jarang di rumah dan lebih sering ada di kampus, aku tidak melihatnya beberapa hari ini."

Andra mengatakannya dengan senyum lembut yang terukir di wajahnya. Nico yang melihatnya agak sebal. Karena kakaknya tipe yang selalu sok baik baik saja.

"Dasar menyebalkan," Nico menyeruput jusnya.

"Oh ya, kudengar kau pergi kencan buta kemarin. Bagaimana?"

"Uhuk!" Nico tersedak.

"Kenapa kenapa kenapa!" Andra kepo. "Kenapa reaksimu berlebihan begini?" ia tertawa.

"Jangan bahas itu," juteknya.

"Apa kalian berhasil?"

"Kau pikir saja sendiri!" Nico cemberut. "Siapa yang sudi menikah semuda ini."

"Oi jangan gitu. Sekarang banyak kok pasangan muda."

"Jadi maksudmu aku harus menikahi siapa saja wanita pilihan ayah?"

"Jadi apa rencanamu? Kau akan terus ngaret kuliah? Mau kau apakan otak cerdasmu? Pengangguran?"

"Kenapa dari tadi pertanyaanmu memojokkanku sih?" Nico berdecak sebal. "Lagipula aku ini mahasiswa yang terlalu aktif, bukannya ngaret. Banyak organisasi yang masih membutuhkanku tahu!"

(Ngaret: kayak karet, molor kuliah)

"Aku tanya serius. Bagaimana kencan butamu kemarin?"

"Aku berakhir disiram jus."

"Apa?!"