Rumah wanita itu sangat kecil, meskipun begitu rumah ini cukup bersih dan nyaman. Setelah aku sedikit mendesak wanita itu untuk memberitahukan namanya, akhirnya aku pun mengetahui namanya. Wanita itu bernama Lily. Dia tinggal bersama suaminya yang bernama Josh dan putrinya yang bernama Renata. Jika melihat penampilan Renata, aku yakin dia seusia denganku. Dia gadis yang sangat cantik dan mempesona. Rambutnya panjang terurai dan kulitnya putih bersih. Aku yakin setiap pria akan jatuh cinta kepadanya jika melihatnya.
Lily, Josh dan Renata tampaknya bukan tipe orang yang senang berbincang-bincang. Sejak aku memasuki rumah mereka jarang sekali mereka berbicara. Padahal awalnya aku begitu ingin menanyakan alasan Lily mengatakan desa ini berbahaya tapi sepertinya harus kutunda menanyakan ini karena mereka juga tampak enggan banyak bicara denganku.
Malam semakin larut, dan aku pun mulai mengantuk. Di rumah ini hanya terdapat dua kamar. Aku tidur bersama dengan Renata di kamarnya sedangkan Zero ... Sebenarnya aku tidak perduli di mana pun dia tidur tapi tampaknya dia tidur di kursi di ruang tengah rumah ini.
Aku tidur di ranjang yang sama dengan Renata, dia tidak mengatakan apa pun padaku meskipun aku berada di sampingnya. Sempat aku berpikir mungkinkah dia tidak menyukai keberadaanku ini?
Untuk mencaritahu hal ini aku memutuskan untuk mengajaknya bicara, "Renata, maaf ya aku jadi ikut tidur bersamamu," ucapku tulus karena sebenarnya aku tak enak hati membuatnya harus berbagi ranjangnya denganku. Pasti ini membuatnya tidak nyaman.
Renata menggelengkan kepala, dia bahkan tidak menimpali ucapanku. Aku selalu merasa tidak nyaman setiap kali terjebak dalam situasi seperti ini. Aku terus mencoba mengajaknya berbicara, aku ingin sekali setidaknya bisa sedikit dekat dengan Renata.
"Oh, iya. Renata, berapa usiamu?"
"17 tahun," jawabnya.
"Waah, sudah kuduga usiamu sama denganku."
Mendengar jawabanku ini Renata tiba-tiba menatapku dengan tajam, dia bahkan menatapku tanpa berkedip. Tatapannya itu sungguh membuatku takut, kenapa tiba-tiba dia menatapku seperti itu?
"Ke-Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Seharusnya kau tidak pernah memasuki desa ini," katanya, perkataan yang sama seperti ibunya saat mengatakan itu pula padaku tadi.
"Memangnya kenapa?" tanyaku karena bagiku ini kesempatan untuk mencaritahu ada apa sebenarnya di desa ini sehingga ibu dan anak itu mengatakan hal serupa.
Renata terdiam, dia sama sekali tidak melanjutkan perkataannya.
"Tadi ibumu juga mengatakan itu padaku, aku heran memangnya ada apa di desa ini sehingga kau dan ibumu mengatakan itu?"
"Nanti kau akan mengetahuinya sendiri."
"Katakan saja, sebenarnya ada apa di desa ini? Aku benar-benar penasaran sekarang."
Namun alih-alih menjawab pertanyaanku, Renata justru mengatupkan bibir. Tak bersuara lagi. Suasana pun kembali hening, Renata kembali terdiam membisu. Kini aku merasa ragu untuk kembali mengajaknya berbicara karena sepertinya dia memang tak ingin membahas masalah ini lebih jauh.
"Giania," panggilnya, akhirnya kembali bersuara.
"I-Iya. Kenapa?"
"Apa kau bahagia dengan kehidupanmu?"
Aku amat terkejut dengan pertanyaan Renata yang tiba-tiba ini. Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal itu dan yang membuatku semakin bingung, entah jawaban seperti apa yang harus aku berikan padanya.
"Hm, aku rasa aku cukup bahagia. Kenapa kau menanyakan itu?"
"Apa kau sangat menyayangi orangtuamu?"
Seketika pertanyaannya sukses membuatku teringat kembali pada orangtuaku dan tentu saja aku merasa sedih sekarang. Aku memang selalu seperti ini, merasa sedih setiap kali mengingat orangtuaku. Tidak mungkin dapat aku lupakan perbuatanku yang telah membuat mereka begitu kecewa.
Sambil mengulas senyum, aku menjawab, "Tentu saja aku sangat menyayangi mereka."
"Apa kau akan melakukan apa pun demi mereka?"
Kepalaku terangguk dengan yakin, "Tentu saja."
"Oh, begitu ..."
Aku yakin ini bukan halusinasiku saja, aku melihat raut kesedihan di wajah Renata begitu mendengar jawabanku dan hal ini tentu saja membuatku semakin terheran-heran.
"Ada apa? Kau baik-baik saja, kan, Renata?"
"Aku sangat menyayangi orangtuaku, aku tidak ingin berpisah dengan mereka."
"Kau ini bicara apa tentu saja kau tidak akan berpisah dengan mereka."
Renata kembali menatapku dan kini aku dapat melihat dengan jelas air matanya yang mulai mengalir membasahi wajah cantiknya.
"Aku pasti akan berpisah dengan mereka. Mereka pasti akan sedih. Aku satu-satunya putri mereka."
"Kau ini bicara apa, tentu saja kau tidak akan berpisah dengan mereka. Memangnya kau akan pergi ke mana? Apa kau akan segera menikah?"
Kedua mata Renata detik itu juga terbelalak sempurna yang menandakan dia begitu terkejut mendengar perkataanku. Mungkinkah tebakanku tepat? Dia akan menikah?
"Apa kau benar-benar akan menikah?" tanyaku, memastikan.
Renata merespon dengan gelengan kepala, "Tidak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
"Karena wanita hanya akan pergi meninggalkan orangtuanya jika dia akan menikah. Karena setelah menikah wanita akan mengikuti suaminya. Benar, kan?"
Renata menyunggingkan seulas senyum setelah mendengar ucapanku. Sebuah senyuman yang terlihat begitu manis.
"Giania, kau bilang sedang berkelana, itu artinya kau pun meninggalkan orangtuamu. Apa kau dan pria itu sudah menikah?"
Entah perasaan apa yang kurasakan ini? Yang pasti aku tidak mengerti kenapa Renata bisa berpikiran seperti itu tentang aku dan Zero. Aku dan Zero menikah katanya? Entah kenapa aku menjadi gelagapan sekarang?
"Ti-Tidak, kami tidak menikah. Dia hanya teman perjalanan saja."
"Hm, lalu kenapa kau berkelana bersamanya? Kenapa kau tidak tinggal bersama orangtuamu?"
Sekali lagi aku tertegun dan sekali lagi pula aku kebingungan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Renata itu. "A-Aku ... Pergi meninggalkan rumah."
Renata menatapku serius, "Kenapa? Bukankah kau bilang kau menyayangi orangtuamu, kenapa kau meninggalkan mereka?"
"Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan mereka. Tapi aku sudah tidak tahan tinggal di rumahku. Aku juga ingin mempelajari sesuatu yang sudah pasti akan ditentang oleh orangtuaku. Dan ... Dan ..."
"Dan ... Kenapa Giania?"
Aku menghela napas panjang, hingga aku bertanya, "Menurutmu usia kita ini sudah pantas untuk menikah?"
"Haah? Menikah?"
Aku menganggukan kepala, Renata tertegun seolah sedang menimbang-nimbang jawaban yang akan dia lontarkan. "Hm, menurutku usia kita sudah cukup dewasa, sudah cukup matang untuk menikah."
"Oh, begitu ya? Tapi menurutku tidak. Aku belum siap untuk menikah."
"Jadi orangtuamu menyuruhmu untuk menikah?"
Aku memejamkan mata, kembali teringat pada alasan lain aku meninggalkan istana. "Begitulah. Hm, Renata ini sudah larut malam, lebih baik kita tidur." Aku sengaja mengatakan ini karena tak ingin bicara lebih lanjut lagi tentang pernikahan atau aku akan kembali merasa bersalah pada orangtuaku.
"Aku tidak ingin tidur, aku sangat takut."
Aku menoleh padanya dan kulihat dia tampak serius saat berkata demikian. "Apa yang kau takutkan? Ada aku di sampingmu, jadi kau tidak perlu takut pada apa pun, Renata."
Sekali lagi Renata menyunggingkan seulas senyum. Senyuman yang sungguh menenangkan hati orang yang melihatnya, sudah kuduga Renata memang memiliki pesona yang sulit untuk diabaikan. Kurasa pria yang akan menikah dengannya nanti sangat beruntung.
"Terima kasih, Giania. Tidurlah."
"Kau juga harus tidur," sahutku.
Anggukan kepala merupakan jawaban Renata atas ajakanku. Aku merasa lega karena akhirnya aku bisa sedikit lebih dekat dengannya. Setidaknya keheningan tadi bisa sedikit hilang.
"Giania, boleh aku meminta bantuanmu?"
Padahal aku hendak memejamkan mata namun harus kuurungkan dan kembali aku menoleh ke arahnya. "Hm, katakan saja. Kau ingin meminta bantuan apa?"
"Jika aku pergi, tolong katakan pada orangtuaku, aku sangat menyayangi mereka."
Meskipun aku merasa heran dengan ucapannya tapi aku hanya menganggukkan kepala untuk menanggapinya. Tak lama kemudian aku melihat Renata mulai memejamkan mata, begitu pun dengan aku. Rasa ngantuk ini sungguh tidak tertahankan lagi.