Luna menatap Chan yang ada di sampingnya, dia kebingungan sambil mengingat apa yang dia alami dan dia sadari bahwa dirinya ternyata hanya bermimpi. Namun, dia merasakan hal itu terasa nyata baginya.
"Kenapa aku ada di sini."
"Apa kamu tidak ingat. Kamu masuk rumah sakit dan sudah di sini selama dua hari koma tidak sadarkan diri."
"Mama dan Papa."
"Mereka di rumah. Setelah mendengar berita kamu masukrumah sakit."
"Memangnya kenapa aku masuk rumah sakit."
"Kamu digigit anjing tetangga yang saat itu mengejar kamu. Kamu lupa itu?"
Iya, Luna mengingat apa yang dikatakan oleh Chan. Namun, apa yang dia pikir hanya mimpi terasa nyata olehnya. Dia duduk bersandar ke kepala tempat tidur rumah sakit dengan bantuan Chan. Dia begitu merenungi apa yang dia mimpikan, matanya menatap ke arah vas bunga tanpa kedip ketika Chan membereskan tasnya.
"Kamu akan pulang sekarang. Sebenarnya kamu sudah tidak apa-apa. Hanya saja yang membuat kami bingung kenapa kamu belum sadarkan diri selama beberapa hari ini. Sekarang, ayo."
Chan membopong tubuh Luna, dia mmebawanya keluar dari kamar tersebut. Sebelumnya dia sudah membayar administrasi rumah sakit sekana seperti dia tahu saja bahwa saudara angkatnya itu akan sadar.
"Ke mana, Neng?"
Si sopir taksi bertanya kepada Luna setelah gadis itu masuk ke dalam taksi.
"Jalan saja dulu, Pak. Nanti saya akan mengatakan tujuan kami."
Si sopir taksi mendengarkan perkataan Chan. Dia menancap gas taksi menuju kediaman Luna.
Beberapa saat di perjalanan akhirnya mereka sampai di depan rumah, kedua orang tua Kuna sudah menunggu anak mereka di teras rumah setelah mendengar beritanya dari Chan.
"Sayang...."
Pelukan diberikan oleh Tiwi setelah Chan mendaratkan Luna di teras dari bopongannya. Mereka memyuruh Chan kembali memboyongnya dan membawa Luna ke kamarnya.
"Teirma kasih, Kak."
Kuna berterima kasih setelah Chan mebaringkannya ke atas kasur. Kalung mereka sama-sama tersangkut, terlebih dahulu Chan melepaskan kalung itu dengan kedua orang tua mereka yang memperhatikan. Arya merasakan keanehan, dia mengkhawatirkan sesuatu ketika melihat mereka bersama.
"Kamu istirahat saja."
Chan keluar dari kamar tersebut, Arya mengikuti dia ke kamarnya. Ketika Chan ingin menutup pintu kamarnya dia melihat Arya yang membuat dia memberhentikan aksi menutup pintu. Senyuman di layangkan, dia menyambut Arya dengan baik menyuruhnya masuk.
"Ada apa, Pa?"
"Bagaimana dengan pekerjaan paruh waktumu?"
Arya bertanya sambil duduk di tepi kasur, Chan meletakkan tas di atas meja dan ikut duduk di samping Ayah angkatnya itu.
"Baik."
Chan kembali berdiri, dia mengganti pakaian atasan di hadapan Arya.
"Kamu menyukai Agnes?"
Chan memberhentikan aksinya, dia menoleh ke belakang karena kaget dnegan perkataan Arya. Dia tersenyum menggeleng, dia membantah dnegan lembut apa yang dikatakan oleh Arya. Untuk saat ini Chan merasa bingung dengan perasaannya karena dia juga masih dalam masa pencarian seseorang yang pernah membuatnya jatuh cinta untuk pertama kakinya, yaitu gadis di perpustakaan yang sering memakai masker mulut dan kacamata.
"Aku hanya menyukainya sebagai adikku. Kenapa Papa bertanya begitu."
"Jangan sampai kamu menyukainya. Dia itu adikmu."
"Tidak mungkin, Pa. Aku hanya menganggapnya sepeti apa yang Papa katakan, aku tahu batasannya, Pa."
"Syukurlah jika begitu. Sekarang kamu mandi san beristirahat."
"Iya."
Arya keluar dari kamar Chan, pemuda itu duduk kasur memikirkan perkataan ayah angkatnya itu.
***
"Hai!"
Luna datang ke kamar Chan, dia berdiri di pintu yang sedikit terbuka menyapa Chan yang saat itu sedang duduk di meja belajar. Chan menoleh ke belakang, Luna mulai melamgkahkan kaki masuk ke dalam kamar tersebut.
"Stop. Jarak dua meter. Kamu jangan terlalu dekat denganku mulai sekarang karena... karena aku sudah memiliki pacaran dan dia mengatakan kalau aku tidak boleh dekat dengan cewek mana pun dengan jarak dua meter."
"Sensitif banget. Aku ini adik kakak."
"Walaupun. Jika kamu ingin berbicara di situ saja."
"Parah banget, sih. Siapa pacara kakak?"
"Kamu tidak perlu tahu. Yang terpenting dia cantik, dia itu sangat cantik seperti bidadari."
"Alah... lebay. Hem... kakak tahu, ketika aku koma di rumah sakitaku bermimpi dan mimpi itu terasa nyata. Aku tidak bisa mulai bercerita dari mana tetapi intinya mimpi itu menceritakan tentang kakak yang memiliki dua wajah, kakak bisa berubah."
"Apa? Kamu pikir aku power rangers yang bisa berubah. Mimpi yang aneh."
"Kenyataannya begitu. Mimpi memang seperti itu."
"Apa aku berubah menjadi orang yang tampan di sana."
"Ih... kepedean. Iya, sih. Kalau itu nyata mungkin aku akan jatuh cinta."
Chan mengdediokan kedua bola matanya beberapa kali dan membalikkan tubuhnya mengarah ke jendela membelakangi Luna. Dia salah tingkah dengan perkataan adiknya itu. Luna mulai mendekatinya, dia melilit leher Chan dengan kedua tangannya.
"Bukan dua meter lagi. Apa yang terjadi jika tidak ada jarak diantara kita. Siapa yang tahu, pacar kakak tidak akan tahu jika kakak dekat denganku di sini bahkan ketika aku mengajak kakak berpacaran. Ayo berpacaran."
Kuna beralih duduk di atas meja, dia mengambil benang wol yang ada di dalam pot pensil Chan. Dia melilutlannya di tangan Chan dan tangannya.
"Mulai sekarang kita berpacaran."
"Apaan, sih."
Chan melepaskan benang tersebut dari jari manisnya, dia meletakkannya ke atas meja. Dia berdiri, dia berjalan menuju ke kamar mandi meninggalkan Luna yang tersenyum.
"Bagaimana kalau aku melalukan hal ini kepada kak Liam. Aduh... jika aku bertingkah seperti ini kepada dia mungkin saja dia akan ilfil kepadaku."
Luna berlari keluar setelah turun dari meja. Chan keluar dari kamar mandi dan menghampiri meja belajarnya. Dia mengambil benang itu, dia menggeleng tersenyum melihat benang itu dan mengingat tingkah adiknya.
"Berpacaran. Ternyata gadis itu tidak seperti apa yang aku bayangkan."
Makan malam sudah dipersiapkan, mereka semua duduk di meja makan. Mata Chan melihat Kuna yang tersenyum memperhatikan benang yang ada di jarinya.
"Apa dia menyukaiku. "
Chan beranggapan bahwa Luna menyukainya karena selalu melihat benang yang melingkar di jari manisnya seperti cincin.
"Besok kita akan ke toko perhiasan untuk membeli cincin. Kamu tidak perlu memakai cincin benang itu, Luna."
Tiwi tersenyum setelah menyadari anaknya yang selalu memperhatikan jarinya.
"Kamu jatuh cinta, Luna. Dari tadi Papa melihat kamu selalu tersenyum."
"Tidak, Pa."
"Iya, Pa. Ada senior tampan di kelasku. Luna menyukainya, dia keren dan berada di kelas unggul."
"Ingat. Jangan ada diantara kalian yang berpacaran sebelum pendidikan kalian selesai. "
Tiwi kembali mengingatkan.
"Iya, Ma."
Luna dan Chan sama-sama menjawab dengan kompak. Meja makan disisi dengan tawa mereka melihat kekompakan Luna dan juga Chan.