webnovel

Olimpiade Matematika

Luna menatap jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kirinya. dia dan Chan berdiri berdampingan di halte menunggu bus antar jemput sekolah lewat.

"Seharusnya bus sudah lewat kali ini. Kalau begini kita bisa terlambat ke sekolah. kakak tahu sendiri hari ini ada olimpiade matematika dan aku harus hadir."

"Iya. Untuk itu kita harus mencari alternatif lain ke sekolah. Oh! Aku ada ide. kamu tunggu aku di sini."

"Kakak mau ke mana?"

"Tunggu saja. Hanya 3 menit, aku pergi dan akan kembali 3 menit lagi."

Luna mulai memperhatikan jam tangan, dia memegang perkataan Chan menghitung waktu dengan batas 3 menit. Dia mulai tidak tenang ketika waktu 3 menit itu hampir habis, awalnya ada Chan tetapi ketika dia sendirian lebih membuat dia membingungkan.

"Ke mana Kak Chan. sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua...."

"Luna."

Luna tersenyum ketika melihat Chan datang dengan sepedanya. Dia duduk menyamping di depan dengan Chan yang mengayuh sepeda. sesekali Luna memperhatikan pemuda yang saat ini sedang berjuang dengan waktu menuju Ke sekolah. Dia melihat peluh pemuda itu yang berjuang demi dirinya.

"Semangat! Semangat!"

Luna memberikan semangat kepada Chan, pemuda itu semakin spirit mengayuh sepeda. Tidak membutuhkan waktu yang lama bahkan tidak disadari oleh Luna akhirnya mereka sudah sampai di sekolah tetapi dengan keadaan gerbang sudah ditutup. Meskipun banyak tamu undangan yang datang ke sekolah untuk menghadiri beberapa perlombaan tetapi kedisiplinan tetap diterapkan di sekolah tersebut.

"Kak, gerbangnya sudah dikunci."

"Jalan pintas belakang masih ada jadi jangan khawatir."

Chan menepikan sepeda, dia menitipkannya kepada pemilik sebuah warung yang berada tidak jauh dari sekolah. Dia bersama Luna berjalan menuju ke belakang, mereka akan masuk ke perkarangan sekolah dengan memanjat pagar belakang.

"Astaga. Pagarnya sudah diperbaiki, bagaimana kita sekarang masuk ke dalam."

"Pejamkan matamu."

"Memejamkan mata. Kakak jangan macam-macam."

Luna mengarahkan telunjuknya kepada Chan, pemuda itu dari Luna dan menurunkannya beralih menggenggam pergelangan tangan yang lalu membawa gadis itu ke sisi lain dari sudut sekolah.

"Berhasil. Aku salut dengan kakak, kelihatannya kakak tidak sepreman yang aku lihat tetapi ternyata kakak mengetahui semua seluk belut dari sekolah ini."

"Chan gitu loh. "

"Iya. Hem... nama panjang Kakak siapa?"

"Chandra. Itu saja."

"Oke. Hem... kedengarannya nama kakak seperti nama orang dulu-dulu. Chandrik gituh, Chano gitu seperti orang yang saat ini sangat membuat aku penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengannya karena setiap kata-kata bijak yang dia keluarkan sungguh menginspirasi sama seperti kakak."

"Suatu saat nanti kamu pasti akan bertemu dengannya. Sekarang kamu ke kelas karena kakak yakin guru sedang mencarimu untuk membawamu ke aula sebelum Olimpiade dimulai."

"Kakak harus menemaniku memberikan aku semangat agar aku bisa lebih cerdas lagi."

"Itu tidak ngaruh."

"Walaupun. Ayo!"

Luna menggandeng tangan Chan, beberapa orang menatapnya yang melewati mereka dengan tersenyum. Beberapa dari mereka meletakkan jari telunjuk mereka miring ke dahi melihat tingkah Luna.

"Lepaskan. Lihat mereka semua menyebutmu gila karena menggandeng tanganku."

Luna baru menyadari hal itu, dia tersenyum, tangan yang tadi memeluk tangan Chan dia lepaskan. Mereka berdua ke aula, di sana sudah banyak yang hadir dari berbagai sekolah sebagai perwakilan dan beberapa suporter dari mereka. Tidak banyak, tetapi dengan kehadiran beberapa suporter tersebut bisa memberikan semangat bagi teman-teman mereka. dari setiap sekolah yang terpilih hanya 10 orang untuk mengikuti Olimpiade tersebut. Di aula semua peserta sudah duduk dengan lembaran kertas mereka yang di mana di beberapa helai kertas tersebut sudah ada pertanyaan-pertanyaan dan lembaran jawaban yang akan mereka isi.

Luna kaget ketika melihat Chan duduk di bangku di belakangnya, awalnya dia berpikir bahwa Chan tidak ikut tetapi melihat kehadiran Chan di sana membuat dia bertambah semangat.

"Katanya tidak ikut, ini apa namanya. Sok cerdas."

"Aku hanya ingin memberikan kejutan untukmu. Sekarang Olimpiade akan di mulia, tetap fokus aja dengan tugasmu agar kamu bisa mendapatkan nilai yang tertinggi dan menjadi juara."

"Tidak mungkin."

Aba-aba bahwa Olimpiade akan dimulai terdengar dari salah seorang pria yang merupakan kepala sekolah. Semua siswa mengerjakan lembaran jawaban mereka dengan soal yang sudah tersedia dan waktu yang sudah ditetapkan. Bukannya ikut lomba tetapi Chan malah mencoba untuk menahan dan memperhatikan Liam yang ingin curang. Dia sudah mendapatkan jawabannya dari sebuah kertas yang dia foto, jawaban dari soal tersebut diberikan oleh Saka. Bergantian dia menatap Saka yang saat ini berdiri di pintu aula dengan Liam yang sedang melihat layar ponselnya.

Chan tersenyum, dia melipat lembaran jawaban yang masih kosong membuatnya menjadi pesawat kertas dan menunjukkan bahwa Liam dan beberapa teman-teman lainnya yang melakukan kecurangan. Dia memainkan pesawat kertas tersebut dan berhenti tepat dihadapan kepala sekolah, di hadapan beberapa pengawas Olimpiade tersebut.

"Bagi namanya yang Bapak katakan kalian keluar dari sini."

kalau beberapa kepala sekolah tersebut mengatakan semua nama-nama yang ada dan salah satunya adalah Liam. Bukan hanya dari satu sekolah tetapi beberapa murid dari sekolah lain juga ketahuan melakukan kecurangan hingga akhirnya tersisa sekitar 25 orang yang akan mengikuti Olimpiade tersebut.

Olimpiade kembali dimulai, dari kejauhan dia memperhatikan Luna yang sedang berusaha untuk menyelesaikan semua soal-soal yang sudah ada di lembaran soal.

Dua jam kemudian akhirnya waktu Olimpiade habis. Luna sudah keringat dingin tetapi dia cukup lega karena sedang menyelesaikan semua pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan metode pembelajaran yang diberikan oleh Chan.

Luna menoleh ke belakang, dia melihat kekosongan. Matanya mencari-cari sosok Chan yang sebelumnya dia lihat duduk di belakangnya. Matanya mulai menjelajah setiap sudut pandang tetapi dia tidak menemukan orang yang dia cari.

"Selamat. "

Saka menghampiri Luna, dia memberikan ucapan selamat dan memberikan semangat agar Gadis itu optimis dan percaya diri dengan apa yang sudah dia lakukan.

"Terima kasih, Pak."

Saka keluar dari aula tersebut bersama Luna berjalan beriringan, guru mata pelajaran olahraga tersebut mengajak Luna untuk makan di kantin.

Liam datang dan mencomot gorengan yang ada di hadapan mereka, kedua teman-temannya juga ikut mengganggu waktu mereka berdua padahal saat itu Saka ingin mencari waktu lebih dekat dengan Luna.

"Pak, tadi Bu Arini sedang mencari Bapak."

"Iya."

Saka berdiri, dia meninggalkan mereka meskipun sebenarnya dia tahu bahwa diam sengaja mengatakan itu untuk mengusirnya. Saka sangat geram dengan Liam tapi dia tidak bisa melawan karena Pemuda tersebut adalah sumber uang baginya.

"Lo. Jangan pikir lo bakal menang. Nanti pulang sekolah lu harus datang ke rumah gue untuk mengajari gue bahasa Jerman. Selain itu, lo harus ngurusin semua keperluan gue. Jangan lupa dengan janji lo."

"Bro, bukannya kita nanti ada lomba balap."

"Tunda. Kalian saja yang pergi dan bilang gue sakit."

Liam bangkit dari tempat duduknya, Vino mengikutinya dengan Dika yang masih duduk dan tersenyum kepada Luna.

"Berbicara dengan dia kamu tidak perlu main hati karena kamu tahu sendiri dia cowok yang tidak memiliki hati."

"Terima kasih, Kak."

Dika berdiri tetapi pundaknya langsung disambut oleh minuman teh panas yang dipegang oleh Yona.

"Auw...!"