webnovel

#5 Terpuruk

Besoknya, pagi-pagi buta, bahkan saat aku masih hendak pergi ke sumur mengambil air wudhu, Mamak Mun sudah histeris di depan rumah kami. "Sugiarto demam tinggi, badannya panas sekali, dia terus muntah-muntah sejak semalam!"

Apalagi ini? Batinku dalam hati. Ibu dan Bapak segera berlarian keluar. Mereka bersama-sama segera menuju rumah Mamak Mun. Mamak Mun memang seorang janda, dan hanya tinggal berdua dengan Kang Sugi. Jadi, ketika ada apa-apa memang selalu ibuku yang jadi jujukan (tempat minta tolong).

Pak Dhe Taqim adalah suami Mamak Mun, meninggal di sawah, kata orang-orang karena angin duduk, mungkin itu serangan jantung. Dulu, saat aku masih awal-awal kuliah.

Kehidupan Mamak Mun dan Kang Sugi lebih terpuruk setelah peninggalan Pak Dhe Taqim. Karena Mamak Mun dan Kang Sugi tak banyak tahu tentang persawahan, jadi meskipun sawah mereka luas, hasil panen selalu tidak memuaskan, bahkan kadang juga mengalami gagal panen.

Saat harga cabe mahal, mereka panen mentimun yang harganya murah. Saat mereka menanam dan panen cabe, giliran cabe yang murah, yang mahal adalah sayur mayur seperti terong, kacang panjang, dan yang lain. Saat mereka menanam padi, diserang hama wereng. Begitu saja terus.

Setelah aku selesai sholat, baru saja salam. Kulihat ibu sudah menungguku. "Cepat telepon Pak Dhe Ramlan, suruh antar Sugi ke RSUD, dia kejang-kejang!" Kata ibu langsung saja begitu aku selesai sholat, belum sampai doa. Aku segera mengangguk dan berlarian mencari handphone yang sejak semalam ku charge.

Aku telepon berkali-kali Pak Dhe Ramlan namun tidak diangkat, ibuku terus mondar-mandir karena was-was. "Tidak diangkat, Bu." Kataku. "Coba lagi!" Sahut Ibu. Aku coba lagi, dan tetap tidak diangkat.

Akhirnya, ibu menyuruhku berangkat naik sepeda motor ke rumah Pak Dhe Ramlan, di subuh buta dan hari masih gelap. Apalagi di kampung kami yang sebelum matahari terbit, udara masih terus diselimuti kabut tebal dan dingin.

Rumah Pak Dhe Ramlan sebenarnya tidak jauh, hanya tujuh ratus meter dari rumah kami. Tapi jalanannya menanjak, cukup melelahkan juga kalau dijangkau dengan jalan kaki. Apalagi masih pagi begini, jalanan gelap tidak ada penerangan.

Rumah Pak Dhe Ramlan masih tutup, aku sudah menyangka kalau beliau sekeluarga masih tidur. Mereka adalah pekerja malam, seringkali tidur di atas jam dua belas malam, jadi maklum jika tidak bangun pagi.

Aku kira, jika mengetuk pintu ala-ala tamu yang datang ke rumah orang, tidak akan mempan membangunkan Pak Dhe Ramlan. Maka aku menggedor-gedor pintu mereka. Dan syukurlah, tak berselang lama, Budhe Tutik keluar, dengan muka bersungut-sungut karena terganggu. Aku tidak peduli lagi.

"Ada apa, Nduk? Ini masih pagi?" Kata istri Pak Dhe Ramlan itu.

"Kang Sugi badannya panas, sampai kejang-kejang. Mamak Mun memintaku memanggilkan Pak Dhe untuk membawa Kang Sugi ke RSUD."

Tanpa ba bi bu, Budheku itu segera masuk kembali ke rumahnya, mungkin membangunkan suaminya. Sejenak kemudian, mereka berdua keluar dan menyuruhku pulang, karena mereka akan menyusul dengan menggunakan mobil.

Aku langsung menuju rumah Mamak Mun untuk mengabarkan ini. Kang Sugi sudah tidak kejang lagi. Dia tergeletak di lantai, ada air berceceran dimana-mana. Mungkin digunakan mengguyur Kang Sugi saat kejang tadi. Itulah cara yang warga kampung ini yakini sebagai pertolongan pada orang yang kejang. Sudah sakit, diletakkan lantai dan diguyur air. Entah dapat darimana ilmu medis seperti itu. Tapi anehnya, biasanya, setelah diperlakukan seperti itu memang orang yang kejang itu langsung berhenti kejangnya.

Pak Dhe Ramlan tidak langsung datang. Melihat keadaan Kang Sugi yang belum sadar, badan panas tinggi, dan terus mengigau membuatku hampir disuruh berangkat lagi untuk menjemput Pak Dhe Ramlan. Untunglah lima menit kemudian, Pak Dhe Ramlan datang dengan menggunakan mobil.

Bapakku dan Pak Dhe menggotong Kang Sugi masuk ke mobil. Mereka sedikit kesusahan karena badan Kang Sugi yang tinggi besar. Mamak Mun sampai ikut membantu juga. Akhirnya, setelah cukup lama berkutat dengan cara menaikkan Kang Sugi ke dalam mobil. Pak Dhe Ramlan, ditemani Bapak ku dan Mamak Mun berangkat ke rumah sakit mengantar Kang Sugi.

"Ada-ada saja itu, Si Sugi, masak karena ditolak lamarannya kemarin dia jatuh sakit seperti itu. Laki-laki kok lemah sekali." Gerutu ibuku. Lalu berjalan berbalik ke rumah.

Sesampainya di rumah, ibu segera menyalakan kompor untuk menanak nasi. Meskipun punya magic com, ibuku adalah rata-rata ibu kampung ini yang meyakini bahwa nasi yang dimasak menggunakan rice cooker itu tidak enak dan mengandung racun. Jadilah, meskipun ibuku pergi mengajar, sebelum pasti memasak nasi dulu secara manual.

Di saat ibu menanak nasi menggunakan satu kompor, aku memasak sayur di kompor yang lain. Kali ini kami memasak sayur bayam kuah santan, tempe goreng dan sambal terasi. Menu yang menjadi andalanku karena cukup cepat.

Seusai aku dan ibu sarapan, saat kami sudah memakai seragam mengajar dan bersiap berangkat ke sekolah, bapak datang. Aku cepat-cepat menghampiri beliau karena sedari tadi, jujur saja aku kepikiran Kang Sugi, aku kasihan melihat Kakang itu tepat tak berdaya karena cinta.

"Bagaimana kata dokter, Pak?" Tanyaku pada Bapak yang baru saja masuk rumah.

"Nggak gimana-gimana." Jawab Bapak singkat.

"Hah? Kok bisa nggak gimana-gimana sampai tidak sadarkan diri?"

"Kata dokter nggak gimana-gimana, tensi, aman, denyut jantung aman, tapi tadi disuruh cek laboratorium dulu."

"Jadi sekarang Kang Sugi sudah siuman?"

"Sudah, tadi belum sampai rumah sakit juga sudah sadar dia. Kata Mamakmu itu, dari siang memang belum makan dan minum."

"Hah??"

Aku syok mendengar kata-kata Bapak, aku tidak menyangka kalau Kang Sugi yang gagah berani, selalu membelaku melawan anak-anak nakal, yang badannya tinggi besar, begitu terpuruk karena ditolak lamarannya. Berarti bukan main-main perasaan Kang Sugi pada Ayuk. Dia benar-benar cinta, bahkan bisa cinta mati ini namanya.

Kang Sugi sebenarnya tidak jelek, bahkan bisa dibilang dia cukup tampan, hanya saja dia memang tidak berpendidikan dan tidak kaya. Dan satu lagi, dia jatuh cinta pada gadis yang salah. Karena, standart suami bagi seorang Sri Rahayu yang hendak belajar kuliah hingga magister itu tentu tinggi.

Dulu waktu SMP, saat kami masih sekelas saja, anak-anak perempuan di kelas pernah bertanya padanya, seperti apa sosok laki-laki yang diimpikan Ayuk, dan dia menjawab seperti salah seorang artis Korea yang waktu itu tidak ada satu pun dari kami yang bisa membayangkan seperti apa.

"Masak kalian nggak tahu, sih? Itu pemain di film I Love You Baby." Kata Ayuk waktu itu menjelaskan, kami semua menggeleng. "Orang tinggi, putih, gagah, pemberani dan pintar. Pokoknya seperti itu."

Lagi-lagi kami hanya mangut-mangut. Bisa tahu dari mana kami artis Korea, lha wong artis Indonesia saja banyak yang tidak kenal. Waktu kami kecil satu RT, hanya satu rumah yang punya TV. Di lingkungan ku, hanya pak Dhe Ramlan yang punya, itupun selalu lihat TVRI pertunjukan wayang. Tidak pernah tahu drama Korea itu yang seperti apa, apalagi artis pemainnya.

Sampai sekarang, saat kami sudah punya TV di rumah, aku juga tidak menemukan drama Korea yang ada artis yang disebutkan Ayuk. Mungkin Chanel televisi yang beda.