webnovel

Hukuman

"Jadi kau harus menyelesaikan semua pekerjaanmu terlebih dahulu, baru kau bisa makan?"

"Sungguh, orang-orang di rumah itu benar-benar keterlaluan. Mereka semua, kan orang-orang kaya. Jangankan sepiring makanan, kehilangan semua makanan yang ada di dapurnya saja tidak akan membuatnya miskin!"

"Sudah, tidak apa. Lagian aku memang tidak terlalu suka dengan semua menu makanan di sana."

"Hmm, kurasa kau berbohong." Anna melirik ke wajah Leonar. Ia merasa jika temannya itu sedang berusaha menutupi semuanya dengan berdalil tidak menyukai menu masakan di rumah Hittler.

"Hey, kita sudah sampai di dekat rumah Tuan Hittler. Aku pulang dulu, kau hati-hati di jalan."

"Hmm, kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Nara. Kau khawatirkan saja dirimu. Jangan lupa habiskan donat yang sudah kau tenteng itu!"

"Ya, tentu saja aku akan menghabiskannya. Terimakasih Anna, sampai jumpa." Pertemuan mereka berdua berakhir di persimpangan jalan. Anna masuk ke dalam taksi, sementara Leonar bergegas pulang.

Hatinya berbunga-bunga setelah ia pergi bersama Anna malam ini. Makan makanan kesukaan mereka berdua di luar, membeli banyak makanan ringan, dan beberapa baju. Anna yang sudah membayar semuanya. Gajinya selama satu bulan habis dalam beberapa jam saja.

Tiba di depan gerbang, Leonar langsung memanggil-manggil pak satpam yang biasanya berjaga di dalam pos. Ia menekan tombol bel di dekat gerbang, namun setelah sepuluh menit ia berdiri di sana, seseorang tak kunjung datang untuk membukakkan gerbang. Leonar menghembuskan nafas panjang. Kakinya yang sudah ia gunakan untuk berjalan jauh membuat tulang-tulang kakinya lunglai. Alhasil, Leonar menyandarkan tubuhnya di balik pintu gerbang. Menunggu seseorang segera datang dan membuka gerbang yang menjulang tinggi.

"Aghh, lama sekali!"

Sekarang kakinya benar-benar sudah tidak mampu untuk berdiri. Leonar duduk di depan gerbang sambil menselonjorkan kakinya. Ia membuka box coklat berisikan donat. Satu donat dengan toping coklat kacang terlihat menggugah selera. Baru saja Leonar hendak mengambil donat tersebut, tiba-tiba seseorang datang dan langsung membuka pintu gerbang. Alhasil, Leonar mengurungkan niatnya untuk tidak memakan donat itu sekarang.

Buru-buru ia masuk ke dalam rumah. Belanjaan di tangannya cukup banyak, membuat Leonar sedikit kewalahan saat menaiki tangga. Tiba di lantai dua, ia melihat Hittler yang sedang duduk di kursi dekat goci. Jonathan berdiri di samping tuannya. Pandangan asisten itu lurus ke depan.

Dari kejauhan Leonar nampak ragu untuk berjalan melewati mereka. Sementara, tubuhnya sudah benar-benar lelah. Ingin segera membaringkan tubuh di atas kasur dan tidur lebih awal. Alhasil, dia memutuskan untuk kembali melangkah ke depan.

TING! TING! TING!

Tiba-tiba jam besar yang menggantung di dinding berbunyi saat langkah Leonar sampai di depan Hittler dan Jonathan.

"Tuan...."

Hittler tidak menjawab, juga tidak mendongak, menatap wanita yang baru saja menyapanya. Ia justru mengangkat tangan, melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jonathan yang paham dengan itu pun langsung angkat bicara. "Leonar, ini sudah jam sebelas malam. Kau tiba di rumah melebihi jam yang sudah ditentukan."

"Ma-maf... tapi, sebenarnya saya sudah tiba sejak tadi. Gerbang itu...."

"Gerbang itu tidak dikunci!"

"Ha? Sungguh?"

"Ta-tapi saya tidak tahu kalau ternyata gerbang itu tidak dikunci. Jika saya tahu pasti saya sudah masuk ke dalam sejak tadi," tutur Leonar.

Hittler beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati Leonar. Menatap semua barang-barang yang ditenteng wanita itu.

"Tadi kau bilang kau hanya ingin keluar sebentar untuk membeli beberapa barang penting." Jonathan memancing-mancing pembicaraan.

"Kau sudah berbohong!"

"Maafkan saya, Tuan. Sungguh, saya tidak berniat berbohong. Saya bertemu dengan teman saya di jalan, jadi, kami memutuskan untuk sekalian jalan-jalan di pusat kota."

"Pandai berbohong!" cerca Hittler. Setelah itu ia langsung enyah dari hadapan Leonar. Tatapannya terlihat penuh kebencian, dia juga terlihat jijik saat memandang wajah wanita itu.

Kini tinggal Jonathan dan Leonar. Beberapa saat keadaan hening. Bagi Leonar itu terasa sangat mencekam. Ia tidak berani menunjukkan wajahnya. Terus menatap lantai dengan perasaan yang tak tenang.

"Ikut aku!"

Leonar mengikuti Jonathan dari belakang. Ia tidak bertanya kemana dirinya akan dibawa pergi. Padahal kakinya sudah benar-benar pegal, namun pria di depannya masih saja melangkah.

"Kau bisa istirahat setelah puzzle itu terselesaikan dengan sempurna."

'APA!'

"Masuk!" Jonathan mendorong tubuh Leonar masuk ke dalam ruangan besar yang dipenuhi barang-barang.

Puzzle berukuran satu meter berantakan di atas meja. Seseorang mungkin gagal menyelesaikan susunan puzzle itu.

Hukuman yang tidak masuk akal!

Leonar merasa hukuman yang diberikan Jonathan itu sangat tidak masuk akal! Konyol dan mengada-ada!

Menyusun puzzle membutuhkan waktu yang sangat lama. Terlebih lagi puzzle itu berukuran sangat besar. Pasti butuh waktu yang sangat panjang untuk menyelesaikan susunan puzzel tersebut. Sementara sekarang sudah larut malam. Tubuh Leonar sudah lelah, dan matanya pun sudah terlihat mengantuk.

'Kau baru bisa istirahat setelah kau menyelesaikan susunan puzzle itu!' Kalimat itu terlintas begitu saja saat Leonar hendak memejamkan mata.

"Menyebalkan!"

Akhirnya, mau tidak mau Leonar menyusun puzzle berukuran besar di depannya. Lama kelamaan rasa kantuknya hilang begitu saja, sekarang ia terlihat sagat serius. Tangannya mampu bergerak cepat, menyusun setiap puzzle yang sangat rumit!

Ting! Ting! Ting!

Bunyi jam kembali berdenting. Menunjukkan jam dua belas malam sudah tiba. Leonar yang sudah fokus dengan puzzle-puzzle itu pun tidak lagi mempedulikan denting jam.

Tinggal tersisa dua bagian puzzle berukuran paling besar. Puzzle terakhir berbentuk bibir. Setelah semua benar-benar sudah selesai, Leonar baru ngeh jika ternyata puzzle yang sejak tadi ia susun adalah puzzle bergambar wajah Hittler.

Sesaat Leonar mengamati wajah tuan mudanya. Dari susunan puzzle itu ia sadar bahwa Hittler memang tidak pernah tersenyum. 'Wajahnya sudah terlalu kaku untuk membentuk sebuah senyuman!'

Ceklek....

Pintu tiba-tiba terbuka. Jonathan berdiri di balik pintu setinggi dua meter itu dengan mata yang masih terbelalak lebar. Padahal ini sudah pukul 02.00 dini hari. Ia mendekat, melihat susunan puzzle yang baru saja diselesaikan Leonar. Kurang dari tiga jam puzzle rumit itu diselesaikan oleh Leonar.

'Seharusnya tidak secepat ini! Semua puzzle ini seharusnya selesai lebih dari empat jam.'

"Sudah selesai, Tuan...."

Jonathan masih berdiri di samping kursi, menatap puzzle besar yang mampu diselesaikan oleh Leonar dalam waktu sekejab. Niatnya melakukan ini agar Leonar pusing dan tidak bisa tidur, namun kenyataannya Leonar justru menyelesaikan semua itu dalam waktu yang sangat singkat.

"Tuan, saya bisa pergi beristirahat?"

"Temui Tuan Hittler di ruangan lantai dua dekat kamarnya."

'Untuk apa? Kenapa aku musti ke sana terlebih dahulu? Aku hanya tidak mau bertemu dengan pria tidak berperikemanusiaan itu lagi!!'

"Temui Tuan Hittler di sana, jika kau tidak menemukannya, maka kau tidak bisa tidur nyenyak hari ini!"