webnovel

Hukuman baru!

'Dia sudah tidur lagi! Lalu, aku harus bagaimana?' tanya Leonar dalam hati. Dari jarak lima meter ia melihat Hittler yang sudah tertidur di sofa. Sementara bener menit lalu Jonathan mengatakan bahwa ia tidak akan bisa tidur nyenyak hari ini jika ia belum meminta izin pada Hittler untuk pergi beristirahat. Jika saja ia tidak meminta izin, esok hari pasti akan ada seribu cara bagi Jonathan untuk mencari-cari kesalahannya.

Leonar benar-benar dilema. Di satu sisi ia tidak mungkin berjalan mendekat dan membangunkan Hittler untuk sekedar mengatakan tugasnya sudah selesai dan izin untuk tidur, namun di sisi lain ia juga tidak ingin menerima hukuman di pagi hari. Pilihan sederhana yang membuat Leonar akhirnya berhenti lama di dekat pintu.

Setelah menimbang-nimbang kedua pilihan tersebut, akhirnya Leonar memutuskan untuk mendekat saja. Membangunkan Hittler sekejab dan mengatakan tugas sudah selesai.

Tap... tap... tap....

"Tuan... Tuan Hittler."

"Tuan...."

'Dia tidak mau bangun!'

Leonar mengambil jarak lebih dekat lagi. Ragu-ragu tangannya menyentuh tangan Hittler. Ia tidak ingin melakukannya, namun bagaimanapun juga sekarang ia harus melakukannya supaya Hittler segera bangun.

Setelah beberapa lama Leonar mengulangi hal yang sama, Hittler tak kunjung bangun. Ia masih tidur nyenyak dengan sepatu yang masih terpasang di kakinya.

'Aku pergi saja.'

Saat Leonar hendak berbalik badan dan pergi, tiba-tiba Hittler bersuara. "Lalisa, kau benar-benar keterlaluan! Kau keterlaluan Lalisa!"

Sontak saja Leonar langsung menoleh. Ia menatap wajah Hittler yang baru saja mengigau. Nampaknya Hittler mimpi buruk.

"Lalisa!"

"Kau sungguh keterlaluan!!"

BUGH!!

"AGHH!!"

Tanpa sengaja tangannya memukul ke arah Leonar. Membuat wanita itu merasakan sakit yang luar biasa hingga menjerit kencang! Kram langsung terasa, sakit yang luar biasa menyerang perut Leonar. Teriakannya yang kencang membuat Hittler terbangun dari mimpinya. Dia yang mendapati Leonar di ruang kerjanya yang sedang merintih kesakitan sambil memegang perut.

"Hey, apa yang kau lakukan di sini!"

'Apa? Apa yang aku lakukan di sini? Kau sudah menghantam perutku dengan kencang, Tuan! Ini sangat sakit!'

"Tuan, anda sudah memukul perut saya."

"Jangan mengada-ada!"

"Tidak, Tuan... saya tidak mengada-ada. Tadi saya kemari hendak memberitahu Tuan bahwa pekerjaan saya sudah selesai dan meminta izin untuk segera istirahat. Namun saya justru mendapati Tuan yang sedang tidur di atas sofa sambil mengigau."

Hittler terdiam. Ia mengingat kembali apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu dalam bunga tidurnya. 'Aku memukul tembok, bukan memukul dia!'

"Jadi, kau menyalahkanku?"

'Apa? Kau bertanya bahwa aku menyalahkanmu? Tentu saja iya! Tentu saja kau yang salah, Tuan Hittler. Kau yang sudah memumul perutku!!' teriak Leonar dalam hati. Dongkol dengan sikap Hittler yang sewenang-wenang.

"Tidak, Tuan... maafkan saya. Sungguh, ini semua salah saya."

"Memang salahmu!" katanya sambil melenggang pergi. Hittler meninggalkan ruangan pribadinya, membiarkan Leonar berdiri mematung di samping sofa. Merasa ia sudah menjelaskan dan tuannya sendiri yang tidak memberikan jawaban, maka Leonar pikir segera pergi tidur tidak akan jadi masalah besar lagi.

'Toh, kan aku memang sudah menjelaskannya tadi.' Leonar segera pergi meninggalkan ruangan pribadi Hittler. Kakinya yang pegal membuat ia tidak bisa berjalan dengan cepat. Padahal tubuhnya sudah benar-benar lelah, meminta untuk segera tiba di kamar dan beristirahat.

Saat melewati lorong lantai dua, ia melihat jam sudah menunjukkan pukul 03.00. dini hari. Mata Leonar langsung melotot lebar! Keinginannya untuk tidur hilang seketika. Ia harus bangun sebelum jam lima pagi, dan sekarang sudah jam tiga pagi. Itu artinya jika Leonar memaksakan tidur, ia hanya punya kesempatan dua jam untuk tidur pagi. Sebab, paginya sebelum jam lima ia harus kembali menyelesaikan pekerjaan di rumah Hittler.

Leonar menggembuskan nafas panjang. Lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Ia yang tadinya hendak pergi ke kamar akhirnya putar balik. Kembali ke lantai tiga, mengambil semua belanjaan yang masih tertinggal di atas meja, di sebelah puzzle.

Ada donat kesukaannya yang belum ia makan sama sekali. Bagi Leonar makanan itu bisa mengganjal perut Leonar pagi ini. Sebab, sangat tidak mungkin baginya untuk mengambil apa pun yang da di meja makan.

Sedikit tergesa-gesa, Leonar menaiki tangga lantai tiga. Ia segera berlari ke ruangan tadi. Begitu membuka pintu, ia mendapati Hittler yang sedang duduk di kursi, dan Jonathan yang berdiri di samping kursi. Tidak hanya itu yang Leonar lihat!

Ia melihat donat miliknya sedang dibuat mainan oleh Hittler. Pria itu memotong donat menjadi beberapa bagian hingga berukuran sangat kecil. Leonar menelan ludah, tidak menyangka jika makanan kesukaannya akan dibuat mainan oleh pria tidak berperikemanusiaan.

Perasaannya sudah benar-benar dongkol. Hanya saja Leonar tetap memilih diam, dan menerima semua perlakuan Hittler.

"Masuk!"

Seketika Leonar panik. Sejak tadi ia berdiri di ambang pintu tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Juga tidak bergerak sedikitpun. Lalu sekarang tiba-tiba Hittler menyuruhnya masuk, seolah-olah ia tahu jika sejak tadi Leonar berada di sana.

Leonar mendekat, pandangannya masih tak beralih. Menatap donat kesukaannya yang sudah dicacah-cacah oleh Hittler. "Donat ini milikmu?"

Leonar mengangguk pelan. Sesaat kemudian Hittler menyuruh wanita itu untuk duduk di depannya. Hittler memberikan donat-donat yang sudah dicacah-cacah itu. Menyuruh Leonar untuk menghabis semua cacahan-cacahan donat tersebut.

"Baik, Tuan," jawabnya sambil tersenyum. Tangannya mengambil cacahan-cacahan donat tersebut dan segera memasukkannya ke dalam mulut. Hatinya langsung menghangat, sakit karena perlakuan Hittler yang sewenang-wenang. Meskipun begitu, ia tetap diam dan tidak melawan. Menghabiskan semua cacahan-cacahan donat itu hingga habis tak tersisa.

Hittler menatap Leonar tidak percaya. Wanita di depannya menghabiskan semua donat tanpa malu-malu. Ia tidak menjaga sikap sama sekali, tidak seperti wanita anggin pada umumnya.

Jonathan yang berdiri di samping tuannya juga menatap Leonar tidak percaya. Sedikit jijik dengan Leonar yang tidak tahu malu.

"Terimakasih...."

Leonar mengambil semua paper bag berisi belanjaannya yang ada di atas meja. Lagi-lagi Hittler berulah! Saat Leonar hendak membawa pergi semua belanjaannya, tangan Hittler langsung menarik tangan Leonar.

"Kau bisa tidur setelah memijat kakiku!"

'Apa? Memijat kakimu? Ya, Tuhan... aku lelah!!' Dalam hati Leonar teriak sekencang-kencangnya. Sayangnya lagi-lagi ia tak punya nyali untuk menyuarakannya. Alhasil, Leonar kembali duduk dan memijat kaki Hittler. Menuruti semua yang pria itu mau.

Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 04.00. Sudah tidak ada lagi waktu bagi Leonar untuk membaringkan tubuh, sekalipun bisa maka itu hanya sekejab!

Lelah semakin menjadi, membuat Leonar tidak fokus saat memijat kaki Hittler. Beberapa kali ia bahkan tertidur dalam posisi duduk. Lelah dengan semua pekerjaan yang membuatnya tertekan!

'Ayah benar-benar keterlaluan!'