webnovel

Orang Kaya

Aku terbangun setelah benerapa saat tertidur. Aku bahkan tidak mengingat apa yang terjadi padaku terakhir kali sebelum akhirnya aku bisa tiba di tempat ini.

Hansel tiba-tiba datang setelah melihatku sudah siuman, ia segera berlari dan menghampiriku yang masih terbelit dengan selang infus. Hansel menangis dan memelukku dalam diam, ia tidak berbicara apapun namun hanya menangis dalam dekapannya.

Yang aku ketahui sekarang adalah: Hansel sangat takut.

Ia menatap iris mataku lekat sembari menangkup wajahku hangat. Melihatnya seperti ini aku jadi ingat sesuatu.

Dua orang itu.

Entah apa yang terjadi tapi tiba - tiba jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya dan nafasku sedikit tersenggal membuat Hansel sedikit panik.

"Apa kau tidak apa - apa?" Tanya pria di depanku ini, aku melihat sorot matanya begitu takut dan kemudian ia berlari meninggalkanku dan mencari tim medis. Aku semakin kesulitan bernafas karena detak jantungku yang tidak beraturan.

Dokter dan perawat segera datang menghampiriku, memberikan aku tabung oksigen agar aku bisa bernafas. Dahiku mulai berkeringat dan Hansel masih melihatku dengan tatapan cemasnya. Sebisa mungkin aku tersenyum agar tidak membuat Hansel semakin panik, jujur saja, aku juga merasa sedikit tertekan jika melihatnya khawatir padaku.

Karena aku hanya punya Hansel. Aku hanya punya Hansel sebagai alasan untuk aku hidup.

~~~

Setelah beberapa hari cuti sekolah, akhirnya aku diijinkan Hansel untuk bisa masuk sekolah lagi. Chloe, aku ingin bertemu dengan dia. Baru saja aku pikirkan, suara teriakannya menggema di seluruh lorong sekolah, awalnya aku terkejut namun sekarang aku mulai terbiasa dengan ini. Aku tersenyum dan sontak merentangkan tanganku dan ia lari memelukku sangat erat.

"Kau sakit apa? Aku mengkhawatirkanmu."

Aku juga merindukanmu. Hanya saja aku sulit untuk mengatakannya, yang bisa aku lakukan hanya membalas pelukannya di tengah - tengah lorong sekolah ini, tanpa memperdulikan tatapan aneh yang kami dapat dari orang - orang yang lewat dari sini.

"Tidak ada, hanya sakit panas biasa." Aku berdusta, aku berusaha menenangkannya hingga ia melepaskan pelukannya terhadapku.

Kami berdua berjalan beriringan masuk ke dalam kelas yang sudah kelihatan ramai dengan teman - teman kelasku. Aku duduk di tempat biasa tapi ada yang kurang, Oliver tidak ada di bangkunya.

"Mungkin dia belum datang." Gumamku.

"Apa?"

"Oh tidak, lupakan. Malvin ada dimana?" Tanyaku penasaran.

"Mencari aku?"

Kami berdua membalikkan badan kami dan menoleh ke arah suara. Malvin sudah ada di belakang kami dengan masih membawa tas di punggungnya, aku bisa tebak kalau dia baru saja datang.

"Iya. Aku mencarimu, hanya penasaran saja." Jawabku acuh tak acuh. Ia berjalan melewati kami berdua dan duduk di tempat duduknya tepat saat guru masuk ke dalam kelas kami.

"Oh, new face sudah kembali?" Tanya Pak Chandra, dia adalah wali kelasku dan bisa di bilang kalau dia adalah guru termuda dan tertampan di sini. Well, setidaknya masih ada yang bisa di lihat di sini.

"Kau tau, saat kau tidak masuk, aku harus berkelompok dengan Malvin. Sangat menjengkelkan." Chloe berbisik padaku saat pak Chandra sibuk mengoceh sana sini tentang pelajaran hari ini.

Aku menoleh. "Kenapa? Harusnya kau senang karena dia salah satu pria tampan di sekolah."

Wajah Chloe mendadak masam dan ia menggelengkan wajahnya sebelum akhirnya ia membenarkan posisi duduknya sekarang.

Aku mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu lalu kemudian menyodorkannya pada Chloe.

'Aku ingin bermain ke rumahmu lagi. Tapi aku yakin kakakku tidak akan mengijinkanku.' - Elainne

'Kau baru saja sembuh, tidak usah macam-macam. Aku saja yang ke rumahmu.' - Chloe

'Itu ide yang buruk. Rumahku berantakan seperti kapal pecah.' - Elainne

'Aku bantu bersihkan rumahmu. Aku berbakat dalam hal membersihkan rumah' - Chloe

'Hell no.' - Elainne

'Aku tidak menerima penolakan, nanti pulang sekolah aku akan langsung ke rumahmu, kau bisa pulang denganku.' - Chloe.

Aku menghela nafas dan membuang kertas itu. Aku tidak ingin Chloe ke rumahku bukan karena aku tidak mengijinkannya, atau Hansel melarangnya, tapi aku takut Chloe tidak mau menjadi temanku lagi karena merasa tidak pantas.

Semoga itu tidak terjadi.

****

Langit sudah sore, dan ini saatnya untuk pulang. Kini aku tengah berdiri di depan gerbang sebuah rumah megah dengan pagar yang menjulang tinggi. Aku sempat tercengang melihat bangunan rumah megah ini.

"Ini rumahmu?" Tanyaku reflek saat Elainne tengah berusaha membuka gerbang pagar yang kemudian di bantu oleh satpam rumahnya.

"Ayo masuk." Ajaknya. Aku segera memasukkan motor dan memarkirkannya di tempat parkir. Aku mengikuti Elainne dari belakang dan masih tercengang dengan bangunan rumah sebesar ini.

Elainne membuka pintu dan menyuruhku untuk masuk ke dalam. Perabotan rumahnya bisa di katakana sederhana tapi tetap kelihatan mewah.

Kira – kira berapa harga rumah sebesar ini?

"Kau baru saja pulang?" Aku bisa mendengar suara bariton dari arah depan dan aku melihat ada seorang pria dengan kaos putih polos dengan celana pendek di atas lutut tengah berdiri di depan kami.

"Iya, perkenalkan ini Chloe teman sekelasku sekaligus teman sebangkuku. Dan Chloe, ini Hansel, dia adalah kakakku." Elainne memperkenalkan kami berdua, aku hanya bisa tersenyum dan sekilas menundukkan kepala.

"Hai, aku Hansel." Sapa pria itu. Hansel tampan, no, kata tampan tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana rupa Hansel. Wajahnya yang bulat dan agak sedikit kecil sangat sempurna dengan tubuhnya yang tinggi. Aku yakin siapapun yang menikah dengan Hansel nanti akan bisa menghasilkan keturunan terbaik.

"Aku sudah menyuruh orang untuk membersihkan kamarmu, jadi kalian bisa bermain disana." Hansel kini berbicara pada Elainne dan gadis itu hanya mengangguk sebelum akhirnya membawaku masuk lebih dalam di rumah ini.

"Naik lift????" Tanyaku tak percaya. Elainne mengangguk dan melihatku dengan wajah polosnya.

"Kau mau menaiki tangga sampai lantai tiga?" Tanyanya balik.

Orang kaya memanglah berbeda.

Tapi sejujurnya, aku tidak menyangka kalau Elainne adalah orang kaya. Di sekolah dia terlihat biasa saja. Bahkan ponselnya juga bukan ponsel bermerk atau pakaian bermerk. Gadis ini terlihat sederhana dan terlalu sederhana untuk menunjukkan kekayaannya.

Pintu lift terbuka dan kami sudah berada di lantai tiga dan aku melihat beberapa ruangan dilantai ini.

"Kalau itu ruang musikku." Elainne menjelaskan padaku sembari menunjuk sebuah pintu dari kaca. "Itu ruang olahraga." Lanjutnya dengan menunjuk sebuah ruangan berpintu kayu. Aku menelan ludah.

"Kau sangat kaya rupanya." Aku bergumam.

"Tidak, ini bukan uangku. Ini uang Hansel jadi bukan aku yang kaya." Jawab Elainne.

Tapi yang aku anehkan, aku tidak menjumpai sama sekali foto keluarga di rumah ini. Bahkan di ruang tamu tadi aku juga hanya melihat beberapa lukisan saja, bukan foto keluarga.

Aneh.