webnovel

DAMAR The Breath of Gold and Silver

Suatu hari Damar, seorang pemburu berusia lima belas tahun menemukan seekor anak naga kecil berwarna perak menyala di Hutan Vardelle. Pertemuannya pada anak naga itu merubah hidupnya menuju takdir yang mengerikan. Ditemani oleh Alazar si penyihir misterius dan sahabatnya Will. Damar belajar berbagai hal mengenai Benuanya Farland dan sejarah masa-masa suram raja-raja manusia, peri dan Wildster. Alazar juga mengajari Damar ilmu pedang dan sihir karena ternyata Damar adalah seorang Savior, para penerus klan kuno peri sebagai penyeimbang Farland. Berbekal ilmu dari Alazar, Damar harus mengahadapi takdir gelap untuk menjadi satu-satunya kandidat yang setara dengan Raja Zenoth, si Savior penghianat.

Gian_Ganevan · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
21 Chs

15. PEMBANTAIAN

"Bangun Damar! Bangun!" Suara Will terdengar panik.

Berkali-kali ia mengguncang bahu Damar. Damar masih terlelap, dia mimpi sedang terbang. Sewaktu griffin itu hendak menukik turun. Hembusan angin terasa kencang dan menampar wajah. Pada saat itu Damar seketika terbangun dan hendak meloncat.

Will yang sigap mendekapnya dengan melongo. Damar lalu sadar mereka masih terbang di atas punggung griffin.

"Kita terbang cukup lama Tuan Jgurlan?" katanya dalam benak.

"Ya, sekarang hampir pagi, sudah waktunya kita mendarat. Persiapkan dirimu, pegangan yang erat," kata Jgurlan.

Damar memperingatkan Will, tapi tanpa perlu diberitahu Will sudah menggenggam erat bulu-bulu griffin, wajahnya terlihat tertegun tapi tegang.

"Katanya kita akan mendarat."

"Aku tahu sih," Will meringis. "Sekarang Griffin ini terbang turun seperti anak panah yang hendak menancap di tanah. Sepertinya kau mimpi indah?"

"Entahlah tapi tidurku sangat nyenyak, kau tidur?"

"Awalnya aku sulit tidur, tapi bulu-bulu ini tebal dan hangat, dia sangat bisa menjaga tubuh kita tidak jatuh lalu aku terlelap. Apa itu di sengaja?"

"Ya, mereka sengaja terbang lurus katanya. Kita berhutang pada mereka."

"Hutang itu sangat mahal kalau harus di tebus dengan kepala Zenoth," kata Will menggigil.

"Aku belum memikirkan sampai sana, tapi tidak ada salahnya kita mencoba, lagipula aku tidak sendiri dalam hal itu," Damar tersenyum.

Tidak lama, Griffin itu terbang semakin rendah. Gumpalan titik hijau menjadi semakin besar, menampakan tajuk pohon yang tumbuh berjauhan. Damar dapat melihat desa Acton dari ujung penglihatannya.

Setelah mereka menukik rendah, Jgurlan dan Merva mendaratkan cakarnya di atas alang-alang yang tipis.

Keduanya kembali saling memandang, lalu berkata pada Damar.

"Desa itu, terlihat menyedihkan," katanya parau.

"Maksudnya?"

"Aku kira mataku yang salah, tapi setelah kupastikan dengan Merva, desa itu hancur."

"Aku tidak terlalu menyadari, tapi memang ada kepulan-kepulan asap kecil. Itupun sangat tipis," kata Will.

Damar mengerutkan kening, dia melambai pada Alazar yang nampak serius, memeluk Silvar yang tenang di pangkuannya. Dari punggung Jgurlan dia berteriak pada Alazar menyampaikan apa yang Jgurlan dan Merva lihat.

"Apa yang terjadi ya, apakah kau bisa meyakinkan mereka untuk membawa kita lebih dekat dengan Acton?"

"Kucoba."

Damar lalu berbicara pada Jgurlan, mencoba memintanya untuk membawanya lebih dekat dengan Desa Acton. Awalnya Jgurlan ragu, mereka takut terlihat oleh manusia-manusa lain. Sama halnya Merva, Griffin betina itu takut dengan jebakan yang disiapkan penduduk Acton. Meskipun mereka mampu menghabisi seluruh desa itu dengan cakar-cakarnya. Tetapi menyerang bukan kesenangan para Griffin. Mereka menyerang hanya jika manusia, elf atau morgul menganggu teritorinya.

Alazar perlu waktu yang cukup lama untuk meyakinkan Griffin. Desa Acton bukanlah desa yang gemar berburu. mereka lebih senang memelihara ternak-ternak mereka yang gemuk daripada harus makan daging liar. Dia bicara dengan nada yang penuh hormat, menjaga pasangan griffin itu tidak tersinggung.

Pupil Jgurlan melebar. Mereka bersedia mengantarnya lebih dekat. Tapi dengan syarat, apabila ada satu anak panah yang melesat mengarah ke tubuh mereka saat terbang menuju ke sana. Jgurlan akan bermanuver dan menjatuhkan mereka dari punggungnya lalu meninggalkan mereka dan kembali ke Azgarad.

Nada bicara Jgurlan terdengar humoris dan ringan di benak Damar. Tapi Damar menyadari Jgurlan bicara serius. Damar merinding dan menyampaikannya pada Alazar.

"Apa kau yakin Alazar?" kata Will kuatir.

"Ya, sebenarnya Kalau mereka melihat dua griffin terbang di langit desanya. Mereka pasti panik. Tapi aku punya firasat buruk saat melihat desa itu dari atas sana."

Mereka bersiap kembali di atas punggung Jgurlan dan Merva. Mengepal erat bulu dan menunduk. Sang griffin kembali merentangkan sayap-sayapnya yang lebar. Bulu kecil berterbangan karena tekanan udara tinggi.

Sewaktu mereka hendak lepas landas, Will berbisik pada damar, "Kakek penyihir itu sudah gila."

Damar hendak setuju, tapi ia menikmati suasana langit saat mereka kembali terbang untuk kedua kalinya. Terbang saat matahari sudah mengintip di balik horizon terasa sangat berbeda ketika saat malam hari. Lahan di bawahnya berwarna kuning mengilap tapi dari kejauhan Damar melihat selusin rumah yang terbakar dan berasap. Ia dapat merasakan kesunyian pada desa di hadapannya.

"Kami hanya bisa mengantarkan kalian sampai sini," kata Jgurlan. "Tempat ini sungguh menyedihkan sekali."

Alazar diam sejenak dan melihat sekeliling rumah-rumah. Damar dan Will menyeringai ngeri, menahan perutnya yang terasa sangat mual.

"Tak bisakah kalian mengantar lebih jauh dari ini?" kata Damar memohon.

Pupil Jgurlan menajam, "Sayangnya kami tidak bisa enchanter muda. Semakin kami jauh dari teritori kami saat ini, Resiko kami bertahan hidup lebih kecil. Perjalanan ini adalah perjuangan awal kalian, apapun yang terjadi di depan mata kalian adalah segala kemungkinan dari kebusukan enchanter gila itu."

Damar sedih, lalu sebelum memutuskan untuk memasuki desa Acton yang sudah hancur. Jgurlan kembali berkata, "sebelum kita berpisah saat ini, aku akan memberimu mantra sejati pemanggil untuk ras kami."

"Apa itu mantra pemanggil sejati?" tanya Damar.

"Terlalu rumit untuk kujelaskan, tapi ketika kau merapalkan mantra itu, semua benak kami akan dipenuhi panggilan dari seorang enchanter yang menggunakannya. Mantra itu sangat menguras tenaga dan jangan salahkan aku jika kau pingsan."

Jgurlan sejenak ragu dan suasana hening, "dragars, itu mantar pemanggil kami. Panggilan kami disaat perang itu telah tiba. Kami akan datang mendukung kalian, kupercayakan mantra sejati kami padamu anak muda."

Damar meneguk ludah dan perutnya serasa melilit, "tidak masalah, terima kasih Jgurlan dan Merva."

"Satu hal lagi, jika kau bermain dengan mantra itu, kau memanggil kami hanya untuk menemanimu mencari makan, atau sebatas memohon kami menyebrangi kalian melewati sungai. Kupastikan kalian akan jadi makan malam kami saat itu," kata Merva menyeringai.

Sewaktu Alazar kembali, jgurlan dan Merva mengepakkan sayapnya dan hendak terbang. Alazar menunduk memberi hormat, di ikuti Damar dan Will. Dalam beberapa menit saja kedua griffin itu hanya terlihat seperti titik hitam yang bergerak di angkasa lalu menghilang.

"Apa yang terjadi dengan desa ini?" tanya Will memicingkan mata.

"Desa ini diserang." Kata Alazar. "Oleh segerombolan morgul."

"Kita membutuhkan kuda untuk melanjutkan perjalanan kita menuju kerajaan Horien, dan melihat situasinya saat ini, yaa.. jadi kita?" kata Will terputus.

"Kemungkinan akan berjalan kaki lagi," Alazar menjawab ringan.

Will menepuk dahi kecewa.

"Cobalah smentara ini cari apapun yang bisa kita gunakan di desa ini, makanan, minuman, pakaian dan semoga kita bisa menemukan sesuatu yang hidup."

Silvar mulai gusar, meminta dikeluarkan dari kandangnya. Will menatap Alazar, meminta pendapatnya, lalu Alazar mengedipkan matanya mempersilakan.

Begitu Silvar keluar dari kandangnya, ia nampak bosan dan kesal. Menggigit jari Will hingga berdarah lalu selanjutnya melompat dari kandangnya dan berlarian di tumpukan kayu-kayu yang hangus.

Silvar mengendus sekitaran puing yang hancur dan sisi rumah. Seperti seekor anjing yang kebingungan, tidak lama ia menghilang di balik gang rumah yang hancur.

"Biarkan saja Silvar, cepat segera bergerak, semoga tidak menemui morgul di sini."

Mereka berderap tanpa suara, mengitari desa dan mengamati dengan hati-hati. Rumah-rumah tampak sunyi dan gelap. Beberapa rumah jendelanya pecah dan asap keluar dari lubang. Sesekali ada tupai-tupai yang mengawasi dengan gugup. Lalu berlarian menjauh saat ketahuan. Begitu tiba di tengah desa, mereka sangat terkejut.

Sekumpulan mayat bergelimpangan di tanah terbuka. Mayat itu sudah kaku dan meringis. Para mayat pria kebanyakan mengalami luka yang sangat menyedihkan. Sebagian susah dikenali wajahnya dan bekas darah membanjiri rumput-rumput penopangnya. Pedang berkarat dan anak panah masih menancap di tubuhnya yang terbaring.

Air mata memenuhi kantung mata Damar dan ia menangis. Will mulai muntah hingga tiga kali. Alazar berjongkok dan meraba bekas luka salah satu mayat.

"Ternyata benar, mereka dibantai Morgul. Bekas lukanya dipenuhi bekas karat. Hanya morgul yang memiliki senjata berkarat. Semakin tumpul senjatanya semakin menderita korbannya," kata Alazar meringis.

"Zenoth dan para morgulnya sangat busuk! Kenapa mereka melakukan ini? Dimana para gallardian?" kata Damar sambil mengusap air matanya.

"Mungkin ini invasi pertama mereka, mencoba memberi peringatan Gallardian," kata Alazar lalu berpindah mayat dan mengamati mayat lainnya, mencari kemungkinan ada yang hidup. "Sepertinya Gallardian lepas dari pengawasan serangan ini."

Segerombolan gagak mulai bertengger di dahan pohon sekeliling para mayat. Mengamati dengan rakus dan berkoak. Will berusaha mengusir, tapi mereka hanya terbang berpindah ke pohon lainnya.

"Itu tidak akan berhasil," kata Damar sedih.

Sewaktu Will mencoba menjauh, melewati dua tumpuk mayat anak-anak dia kembali muntah. Alazar mendekatinya dan menepuk bahunya.

"Sejauh ini tidak ada yang selamat."

Dari kejauhan silvar datang mendekati Damar. Ia menguik kencang, berlarian memutari Damar yang berdiri kaku. Melecutkan ekornya dan menggigit sandalnya.

"Kenapa dia?" kata Damar, heran.

"Dia tau petunjuk. Coba lagi sambungkan benakmu."

Damar mencoba berkonsentrasi, tapi gagal, seolah benaknya dan benak silvar adalah dua alam yang berbeda. Damar lalu menggeleng putus asa.

Silvar terus mengganggunya, kali ini dia menggigit jempol kakinya membuat Damar berteriak hingga gagak berterbangan.

"Kenapa sih?" katanya.

Dalam beberapa detik silvar mengepakkan sayap kecilnya dan meninggalkannya, bersembungi di balik puing kayu lalu mengendus lagi, hingga berakhir di depan rumah tua yang sudah setengah hancur dengan pintu berayun-ayun.

"Dia menemukan sesuatu," kata Alazar.

Benar saja, Silvar mulai gelisah, dia kembali mendekati damar dan menggigit sandal Damar kedua kali. Menunduk dan menyeret kakinya ke arah rumah gelap yang sama sunyinya.

Setelah itu, mereka bertiga mendekat waspada, membuka pintu rumah di depannya yang teranyun dan menginjak rumput dengan hati-hati. Sewaktu pintu itu di ayun, pintu itu ambruk berbunyi keras. Will kaget sambil memaki.

"Siapa itu.." kata suara yang rapuh di balik kegelapan di dalam rumah suram itu.

"Masih ada yang hidup!" kata Damar memeriksa.

Will dan Damar menyingkirkan puing apapun yang menimpa orang itu, hingga tangan Will berdarah karena tersayat pecahan gelas.

Kondisi orang itu sangat menyedihkan, mulutnya basah karena darah. Matanya lebam dan jarinya membiru. Will memaki menahan tangis.

"Kami harus memindahkanmu," kata Damar, sambil memindahkan lemari yang terjatuh miring.

"Tidak.. perlu.. aku akan mati," kata orang setengah tua itu.

Alazar tiba dan mengucap mantra dalam bisikan. Matanya terpejam mencoba berkonsentrasi, tapi setelah lima menit tidak ada perubahan. Ia putus asa.

Orang itu dengan susah parah mengucap kata dengan berat, tenaganya hampir habis dan ia kembali berkata.

"Kantung bajuku.. ambil dan serahkan.." katanya meringis lalu terbatuk darah.

Dengan sigap Damar meraih kantung bajunya. Ia mendapati sepucuk kertas yang terlipat sederhana dengan bercak darah yang lembab.

Laki-laki itu kembali muntah darah, tatapannya mulai kosong.

"Berikan.. Rayner.. Bardford," katanya sangat lemah seperti bisikan.

Damar nyaris memaksa untuk bertanya. Tapi pria itu terbatuk lebih keras dan memuntahkan banyak darah hingga menyiprati kaki Damar. Tidak lama ruangan itu sunyi dan orang itu telah mati.

"Sial! Para morgul itu, mereka bajingan, kupastikan akan memenggal setiap jenisnya!" kata Will mengepal tangan.

"Ya, apabila kalian sudah lihai memainkan pedang," kata Alazar tajam

sewaktu mereka meninggalkan orang itu mereka berunding. Alazar menyarankan untuk membakar semua mayat di kota itu. Damar dan Will tidak setuju, tindakan itu sangat menyedihkan dan memutuskan untuk mengubur semua mayat. Satu jam berlalu dan Damar mengakui sulitnya mangubur semua mayat yang berjumlah puluhan, terlebih ia merasa mual tiap kali harus menyeret dan memasukannya ke dalam tanah.

Para gagak yang semakin kelaparan mulai mematuki daging-daging seperti setumpuk padi. Waktu mereka akan habis dan mereka berdua menyerah. Damar dan Will menemui Alazar yang duduk bersila menghadap tumpukan mayat yang sudah ia tumpuk, meskipun tidak semua, tapi cukup banyak hingga melebihi tingginya sendiri.

Mereka sepakat untuk membakar semua mayat, Damar mengumpulkan sisa-sisa puing kayu dan ranting kering di sekitar desa. Will dan Alazar menggotong dan menyeret semua mayat yang terbaring, menumpuknya di pusat desa.

"Sulut ranting dengan sihirmu," kata Will di hadapan tumpukan mayat, perutnya kembali mual.

"Tidak, aku tidak akan menggunakan sihir untuk membakar para penduduk ini. Sihirku digunakan untuk bertahan dan menyerang dari sesuatu yang menyakiti. Semua proses kita lakukan seperti biasa, untuk menghormati para penduduk yang tidak bersalah ini," kata Alazar mengepalkan kedua tangan di dada, matanya tampak bercahaya dan air mata memenuhi kelopaknya.

Damar tiba dengan setumpuk ranting dan kayu-kayuan yang banyak. Menebarkan di sisi-sisi tumpukan. Setelah selesai mereka semua menunduk memberi penghormatan dan membakarnya.

Hati Damar berguncang, perasaannya seakan tercabik. Emosi memenuhi semua benaknya seperti gemuruh badai. Ia menggigit bibir. Sialan kau Zenoth..