webnovel

DAMAR The Breath of Gold and Silver

Suatu hari Damar, seorang pemburu berusia lima belas tahun menemukan seekor anak naga kecil berwarna perak menyala di Hutan Vardelle. Pertemuannya pada anak naga itu merubah hidupnya menuju takdir yang mengerikan. Ditemani oleh Alazar si penyihir misterius dan sahabatnya Will. Damar belajar berbagai hal mengenai Benuanya Farland dan sejarah masa-masa suram raja-raja manusia, peri dan Wildster. Alazar juga mengajari Damar ilmu pedang dan sihir karena ternyata Damar adalah seorang Savior, para penerus klan kuno peri sebagai penyeimbang Farland. Berbekal ilmu dari Alazar, Damar harus mengahadapi takdir gelap untuk menjadi satu-satunya kandidat yang setara dengan Raja Zenoth, si Savior penghianat.

Gian_Ganevan · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

14. GRIFFIN

Mereka menempuh perjalanan selama berjam-jam mengitari pegunungan Azgarad. Gunung itu berukuran tidak sebesar Pegunungan Helmaer di Hutan Vardelle. Tetapi sisi pegunungannya membentuk corak-corak kecoklatan dan abu-abu yang kokoh. Damar terperangah menatap guratan alami pegunungan itu seperti urat batu.

Mnurut penglihatannya gunung itu didominasi oleh batuan granit yang berkualitas tinggi. Rumput yang tumbuh di sela bebatuan cadasnya memberi kesan eksotis dan megah. Sejenak mereka jalan melintasi lereng, berliku-liku melewati bukit yang mencuat di sisi-sisi puncak Azgarad. Dalam kondisi tertentu, tidak jarang juga mereka harus mendaki tebing yang terjal dan bernaung di bawah pepohonan mahoni untuk istirahat.

Damar terbelalak. Di hadapannya terbentang daratan yang luas hingga di garis batas horizon, ia melihat sekumpulan Pegunungan Helmaer berdiri bagai gundukan-gundukan hijau di kejauahan. Daratan itu berwarna coklat muda membentang dan mulai menghijau mendekati Vardelle. Fenomena khas itu membuat Damar terperangah dan kagum.

Di balik rasa kekaguman Damar, ia menyadari perlunya kuda dalam perjalanan ini. Betapa pentingnya hewan itu membawa mereka menuju tujuan mereka yang masih jauh di depannya. Jika kami terlalu bersantai menuju Acton, kaki ini tidak akan mampu melangkah lagi melewati jalur sulit seperti ini, gumamnya.

Silvar melompat berputar-putar mengitari bebatuan yang bercelah banyak. Pandangannya waspada dan ekornya melecut-lecut. Mengintip sesuatu di baliknya. Sejenak dia terdiam menunggu, hingga dalam kecepatan yang tinggi, kepalanya menyambar kadal batu di dalamnya.

"Nampaknya kita tidak perlu memikirkan makanan untuknya," katanya sambil bersandar di pohon mahoni.

"Naga tidak akan pernah kelaparan selama alam menyediakan sumberdaya yang seibang untuknya." Kata Alazar membakar cerutu. "Yang perlu kita usahakan saat ini adalah orang lain tidak melihatnya saat dia mengunyah ayam ternak milik mereka."

Will dan Damar tertawa.

"Seberapa lama lagi kita melewati Azgarad?" tanya Will.

"Dua hari waktu yang cukup. Mungkin jalur ini sangat melelahkan, tapi dari atas Azgarad kita mendapat keuntungan melebihi jalur darat."

"Keuntungan?"

"Jika kau memandang ke bawah sana, kau dapat mengetahui status pengejaran kita. Maksudku sejauh mana morgul itu mengejar kita," Alazar berhenti sejenak dan menghembuskan cerutunya lagi. "Tapi sejak tadi, aku tidak melihat tanda-tanda pergerakan. Mungkin kita aman dari mereka saat ini."

"Saat ini?" tanya Damar heran.

"Kau lupa bahwa di alam bebas seperti ini, musuh kita bukan hanya morgul dan prajurit gallardian. Wildster, bandit, dan hewan liar punya potensi yang sama berbahayanya. Meskipun aku tahu kemampuan kalian sebagai pemburu tidaklah buruk, tapi keahlian kalian dalam pertempuran masih sangat buruk."

"Kau benar," kata Damar murung.

"Satu hal lagi, tempat ini dapat mengujimu Damar," kata Alazar menatap Damar tajam.

Damar bimbang sebelum menjawab, tapi perasaan curiga muncul dalam dirinya. "Maksudmu?"

"Aku tidak akan memberitahunya sekarang."

Damar mulai kesal, entah mengapa Alazar semakin menyebalkan saat mereka mulai meninggalkan Vardelle. Dia menyadari terdapat perbedaan sikap yang lebih keras dari diri Alazar kepada mereka berdua saat ini.

Dia menyadari sikap itu mungkin diperlukan untuk menempa pribadi mereka menjadi lebih tangguh. Tapi satu sisi dirinya merasa hal itu tidak selalu diperlukan saat-saat perjalanan panjang seperti ini.

Rasa penasaran adalah perasaan yang kurang nyaman untuknya. Ia akan selalu memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Apa ujian yang akan dirinya hadapi di pegunungan cadas seperti ini? Apakah ujian fisik karena dia mengakui kesulitan jalur setapak yang mereka lalui. Bisa saja malam ini Alazar akan menyuruhnya untuk bergantian berburu sebagai bentuk latihan adaptasi di lingkungan gunung selain Helmaer.

Saat ini, kakinya terasa sangat pegal, napasnya juga terasa beras karena jalur pendakian yang curam memaksanya mengambil langkah yang besar. Damar dan Will ingin beristirahat lebih lama di bawah pohon Mahoni yang sejuk. Tetapi harapan itu sirna ketika Alazar menyuruhnya untuk bersiap-siap lagi melangkah.

Mereka meninggalkan pohon mahoni dan kembali menaiki batu-batuan cadas yang dikelilingi semak kekuningan. Pepohonan mulai tumbuh jarang seiring ketinggian mereka dan awan panjang yang tipis melayang di atas kepala, dibentuk angin kencang.

***

Langit berwarna jingga sewaktu mereka berhasil melalui dua bukit Azgarad. Alazar berdiri di sanggurdi melihat sekeliling dan memutuskan tempat datar untuk berkemah. Tempat itu berada di tengah ketinggian bukit ketiga Azgarad. Disana angin tidak bertiup terlalu kencang dan kemah mereka tidak berada pada daratan yang mudah terawasi.

Setelah memastikan tempat mereka aman dari binatang buas seperti ular dan serangga berbisa lainnya. Mereka kembali menggelar tenda, mengumpulkan kayu-kayu kering dan mempersiapkan makan malam.gerak-gerik Alazar terlihat mencurigakan, beberapa kali dia melirik ke arah Damar dengan tatapan gelisah.

"Ada apa?" kata Damar tidak nyaman.

"Apakah semua baik-baik saja?" kata Alazar.

"Apa maksudmu baik-baik saja? Tentu aku baik-baik saja," kata Damar merasa aneh.

Alazar bimbang, ia menggaruk janggutnya, lalu duduk sejenak merenung.

"Kau mencurigakan, cepat katakan apa yang terjadi," kata Will.

"Tidak ada apa-apa, mungkin aku salah," kata Alazar menyeringai. "Aku akan memburu sedikit daging di sekitar sini, kalian persiapkan api. Ingat, untuk membakarny tidak terlalu besar karena akan menarik perhatian."

Awalnya Will masih curiga, tetapi karena mereka kelelahan akhirnya Will dan Damar mengangguk dan mempersiapkan api unggun.

Tidak lama setelah Alazar pergi berburu, kekosongan dalam benak Damar terisi sedikit demi sedikit. Seperti suatu arus yang pelan dan bergemericik. Awalnya ia mengira dirinya terlalu lelah dan ia memejamkan mata. Tetapi gelombang itu semakin besar dan merasuk ke dalam pikirannya menjadi sebuah suara yang samar.

Damar terpelonjam dan menengok ke segala arah.

"Hey apa yang terjadi?" kata Will kaget.

Manusia.. mereka manusia..

"Ada suara!"

"Suara? Buruan maksudmu?" Will nampak panik.

"Bukan suara ini masuk di kepalaku," kata Damar meremas kepalanya, "Ada wildster berbicara!"

Lalu..? sudah bertahun-tahun tidak ada manusia yang mendaki gunung ini, apa mereka ingin memburu sarang kita?

Jujur saja aku benci manusia.. tapi daging mereka lumayan enak..

Kalau tahu manusia datang kesini aku tidak makan sore ini!

Kita bisa menyimpannya untuk besok..

Seharusnya kita tidak meninggalkan sarang kita untuk berburu kerbau tadi.. semua gara-gara kau..

Diamlah kau bodoh.. apa kita perlu memberi mereka peringatan?

Aku kenyang dan malas terbang, kalau mau makan mereka kau saja yang membunuh mereka..

Kau betina yang payah! Aku akan melihat situasinya..

Terserah..

Setelah kata itu, tidak ada suara lagi yang terdengar dalam benak Damar. Seketika Damar terlonjak.

"Ada wildster di dekat sini, sedang menuju ke kesini!" katanya panik berputar-putar.

"Sial! Bisakah kau berbicara dengannya? Maksudku cobalah untuk mengusirnya dengan kata-kata apapun!"

"Aku tidak tahu caranya!" kata Damar semakin gusar, ia bersembunyi di balik batu yang besar dan mengintip sekeliling. "Kita harus mencari Alazar dan memberitahunya!"

"Kakek tua itu benar-benar mengerjai kita. Aku yakin dia tahu kalau di Azgarad terdapat sarang wildster!"

Tidak lama waktu berselang, suara deru angin terdengar hebat dari arah barat. Suara angin itu berhembus seperti kibasan yang berat. Sesosok bayangan hitam terbang mendekati mereka seperti siluet yang membesar. Sewaktu jaraknya semakin dekat, wujud mahluk itu semakin jelas.

Wildster itu sebesar banteng dan berparuh lengkung seperti rajawali. Sayapnya membentang sepanjang dua kali tubuh manusia dengan bulu-bulu coklat yang tebal. Cakarnya menggantung seperti kait dan kelihatannya mampu mengoyak perut dalam satu kibasan. Suara kibasan sayapnya terdengar seperti gemuruh topan yang parau.

"Dua ekor manusia," kata wildster itu gembira.

Dalam kejutan singkat, wildster itu meluncur seperti sebatang lembing yang di lempar. Kecepatannya tidak begitu cepat tapi sangat mengintimidasi. Damar dan Will mengindari dengan melompat dari satu batu ke batu lainnya. Serangan gegabah itu membuat wildster itu tertabrak batu, menghancurkan permukaan luarnya. Seketika hasil benturan itu membuat Kerikil kecil terlempar seperti butiran gandum yang terjatuh.

"Hei cobalah untuk berbicara dengannya atau kita akan mati!" kata Will sambil melepaskan anak panah.

Damar berkonsentrasi, memenuhi benaknya dengan energi penuh kepanikan. Dalam pikirannya ia mencoba merasuki pikiran wildster itu, menyambungkan koneksi seperti jaringan benang.

"Berhenti, berhenti!" kata Damar.

Sejenak suara itu seolah mengambang. Damar tetap bersembunyi sambil mengamati lalu mengulanginya lagi. Wildster itu mencoba untuk terbang lagi, tapi dia nampak kebingungan lalu berkata.

"Siapa? Siapa itu?" kata Wildster itu bergema.

"Aku yang berbicara denganmu, seorang manusia!"

"Kau? Bisa berbicara denganku? Kau elf?"

Percakapan itu tidak berlangsung baik, anak panah Will terus berterbangan ke arah Wilster itu. Meskipun wildster itu mampu menghindarinya dengan mudah. Wildster itu mengeram dan mencabik-cabik tebing tempat Will bersembunyi seperti seekor unggas yang mengais tanah untuk menggapai cacing.

"Tidak ada elf di tanah ini! Ini adalah tipu daya!"

Setelah itu Damar mencoba berunding lagi dan lagi, tapi benaknya menjadi kacau balau. Satu sisi dia tertegun dengan wildster itu di hadapannya, tapi sisi lainnya dia takut dan terintimidasi oleh dirinya. Terlebih dia tetap harus melindungi Will dari kebuasannya. Damar akhirnya putus asa dan melepas benaknya dari wildster itu.

"Tetap pertahankan benakmu!" kata Alazar yang muncul di belakang wildster itu.

"Kau selalu datang terlambat seolah ingin menjadi pahlawan," kata Will meringis. "kita harus mengalahkan dia!"

"Dikalahkan tidak berarti kita harus membunuhnya!" Alazar melompat dan mengarahkan tongkatnya ke arah Wildster yang terbang seimbang di atas mereka bertiga.

"Katakan kau seorang enchanter!" kata Alazar.

"Apa aku ingin melatihnya di saat seperti ini?" kata Will tidak setuju.

"Justru itu tujuanku. Damar harus bisa mengendalikan kemampuannya! kekuatan dan kemahirannya terasah bersamaan dengan frekuensi dirinya berkomunikasi dengan wildster."

"Lalu aku harus menjinakkannya?" kata Damar gelisah.

"Bukan! Keberadaan enchanter di Westeria untuk penyeimbang, dan pengendali. Kendalikan emosinya sebagaimana manusia mengendalikan aliran sungai untuk kincir-kincir mereka!"

"Sial, penyihir tua itu," katanya bergumam.

Damar kembali berkonsentrasi. Kali ini dirinya mencoba lebih tenang dari sebelumnya. meraih benak wildster itu seperti melemparkan tali kekang ke arah kuda liar. Pertahanan benak wildster itu lebih kuat dari sebelumnya. dindingnya terasa bergelombang dan bimbang.

"Hentikan, aku adalah enchanter!" katanya dengan setengah yakin.

Kata-kata itu seolah menjadi hampa dalam beberapa saat, wildster itu nampak bimbang dan ragu. Kepakan sayapnya melambat, ia terlihat mengurangi intensitas serangannya.

Will mengintip di balik celah tebing.

"Apa kau bilang?" kata wildster itu tidak yakin.

"Aku.. adalah enchanter tuan wildster, percayalah aku ingin sekali berbicara denganmu, bukan sekedar perbincangan omong kosong," Damar mencoba tenang. "Aku yakin sudah lama sejak kau tidak berbicara dengan manusia sepertiku."

"Bah, para enchanter itu sinting, kau pun akan sama seperti kaum ras elf gila itu!"

Suara itu menggaung dalam benak Damar.

"Elf sinting itu maksudmu Zenoth?"

"Berhentilah menyebut nama elf terkutuk itu!" katanya meninggi.

"Apa yang griffin itu katakan?" kata Alazar. Sampaikan kata-katanya dengan bahasa kita.

Ah, jadi wildster ini bernama griffin, kata Damar dalam hati.

Damar mengerutkan kening. Lalu menyampaikan apa yang sudah griffin itu katakan sesingkat mungkin sebelum dia kembali mengamuk.

Alazar terlihat menegang, dia berkata, "Zenoth adalah musuh kami sama seperti dia menjadi musuh bagi rasmu, jika kau mengampuni kami dan menenangkan dirimu untuk sekedar berbincang, maka kami akan membalaskan dendammu pada raja kegelapan itu."

Damar lalu mengulangi perkataan Alazar melalui benaknya menuju ke benak griffin.

"Elf itu, telah mencuri keturunan kami, meracuninya dengan sihir-sihir gila dan memanfaatkan ketajaman cakar-cakar kami untuk kepentingan perlindungan dirinya! Terlebih dia sudah bersekutu dengan morgul menjijikan itu, ras perusak yang selalu melubangi tebing-tebing rumah kami untuk bersarang!"

Damar meringis ia mengulanginya perkataan griffin itu secepat yang dia bisa, tetapi sangat kaku. Griffin itu melanjutkan, "Rumah kami di pegunungan gordoroth telah hancur, sarang-sarang kami hangus, Zenoth merenggut semuanya, kami berada dalam pilihan mengabdi atau menjadi budak. Ini tidak sesuai dengan janji-janji leluhur elf yang akan hidup berselaras dengan ras kami, sang penguasa tebing."

"Dan Zenoth juga menghancurkan tanah-tanah kami dan menghianati ras kami, kita punya musuh yang sama tuan griffin, walaupun aku yakin dirimu tidak mudah untuk segera mempercayainya. Berilah kami kesempatan untuk membuktikan bahwa pedang kami akan kami lumuri darah raja kegelapan," Kata Alazar.

"Kata-katamu sangat menarik untuk kupertimbangkan, tapi mengapa aku harus melakukan itu? Jika aku bisa dengan mudah mengoyak tubuh kalian dan mengunyah daging-daging kalian seperti sebuah camilan?"

Damar bergidik ngeri.

"Karena aku adalah mantan dari lima prajurit bayangan terkutuk Zenoth, sang penyihir hitam, aku bisa dengan mudah mengeluarkan sihir kelemahanmu, sihir yang ras kalian benci. Tapi itu bukan sesuatu yang aku inginkan tuan griffin, aku bukanlah bagian Zenoth lagi, aku adalah bentuk perlawanan, dan anak muda itu yang sekarang berbicara dengan mu antara aku dan dirimu adalah harapan negeri kita untuk terbebas dari kekuasaan Zenoth."

Damar hampir terlonjak jatuh mendengar pengakuan Alazar, ia terlihat marah. Sama seperti Will yang terlihat mendengus kesal. Tetapi semua menahan untaian pertanyaan itu, ada griffin yang perlu mereka waspadai.

Sewaktu damar selesai mengulangi perkataan Alazar, griffin itu memekik nyaring. Suaranya sumbang dan parau. Ia mengulanginya berkali-kali sampai kelelawar berterbangan tidak karuan. Setelah itu dia berhenti terbang dan bertengger di lereng bebatuan yang tajam.

Mereka berkuda-kuda waspada, tapi griffin itu nampak tidak ingin menyerang. Karena suasana sempat hening Alazar melanjutkan, "Dia memiliki bakat yang setara dengan raja kegelapan, tapi dia masih rapuh dan lemah. Dia butuh sekutu tetapi bukan sekutu yang diracuni oleh dokrin sihir yang Zenoth berikan pada benak kalian."

"Prajurit bayangan Zenoth, apakah kau tau semua bangsa kami membenci kalian seperti kami membenci raja elf terkutuk itu. Aku ragu harus mengatakannya, tapi sekali lagi mengapa aku harus mempercayai bocah manusia itu? Dia memang memiliki kemampuan yang sama dengan Zenoth, tapi tidak ada jaminan bahwa anak itu anak setara dengan sang raja."

Alazar bergerak perlahan, dia kemudian berjalan menuju ke sesuatu yang tersembunyi di balik bebatuan. Ia lalu memutar-mutarkan tongkat eknya seperti dia gerakan pusaran dan bergumam dalam bahasa elf.

"Nuin", katanya perlahan.

Pendar transparan mulai terbentuk dasi sosok di balik bebatuan cadas. Seakan gelombang air terbentuk menyerupai sesosok mahluk kecil. Setiap detiknya bentuk transparan itu mulai menunjukan warna yang mencolok. Tidak lama silvar terlihat dan ia sedang tertidur pulas.

"Naga ini kuncinya," katanya singkat dan mengarahkan lagi tongkatnya ke tubuh silvar dan membisikkan, "perona!"

Silvar terbangun dan terlonjak. Melompat dan mengepakkan sayapnya yang tipis, sesaat silvar menatap sosok griffin yang bertengger dengan kukunya menembus tebing bebatuan. Nampaknya ia tidak tertarik. Silvar lalu mencoba melompat untuk terbang, mengibas kecil sayapnya seperti daun yang tembus pandang tersepoi angin, sayangnya dia hanya mampu bertaha di udara selama tiga detik.

Griffin merasa tertegun, "Demi kebijaksaan leluhurku, kehormatan bagiku untuk bisa melihat seekor dragona di pegunungan ini."

Alazar membungkuk, "Saat ini, naga ini masih kecil, tapi dia sudah menunjukan kesetiaannya pada Damar. Tujuan kami melintasi Azgarad bukan hanya sekedar mampir dan mengganggu wilayahmu sang penguasa tebing. Saat ini, kami membutuhkan sekutu, sekutu yang kuat dan liar. Sekutu yang sangat memahami Kekejian Zenoth terhadap negeri yang telah diperbudak raja sinting. Mata kalian lebih tajam dari seekor burung hantu di malam hari, paruh kalian lebih runcing dari seekor rajawali. Izinkan kami menggunakan mantra pemanggil untuk memanggil kalian. Mendukung kami di saat perang telah tiba. Berperang bersama kami untuk menundukkan kekuasaan tirani dari Zenoth. Membebaskan pengaruh kekuatan enchanter dari zenoth untuk para aina yang telah menjadi budaknya. Aku bisa memastikan harapan cerah untuk kemerdekaan yang pantas bagi sisa ras kalian di Westeria."

Griffin melebarkan sayapnya, memperlihatkan serat-serat bulu tajam dan hempasan angin dari sayapnya berderu. Sorot matanya tajam seolah dalam beberapa detik ia mampu beranjak dan menerjam mereka bertiga. Nanum kebimbangan menguasai dirinya, ia memutar kepalanya dan membuka paruhnya lalu kembali memekik sekali lagi dengan suara yang lantang dan nyaring.

Silvar bereaksi dengan mendesis. Asap kecil keluar dari cuping hidungnya. Dengan sigap ia menaiki bahu Damar dan bersiaga.

"Wahai sang Griffin!" Alazar panik, mengira akan menghadapi serangan.

"Tenang dulu," kata griffin sambil menelisik sisiknya yang berkilauan. "Aku sedang memanggil pasanganku, atau dalam sebutan bahasa kalian 'istri'?"

Alazar menunduk sopan, diikuti damar dan Will.

Waktu bergulir terasa lambat, ketika malam semakin gelap. Udara terasa dingin. Di bawah Damar masih mengamati pergerakan sang griffin. Wildster itu terlihat tenang, bertengger selayaknya sesosok elang yang bungkuk. Griffin itu mengamati langit-langit berbintang tanpa awan.

Sang griffin terlihat menunggu dengan santai.

"Apa dia menunggu kita untuk menjadi santapannya?" bisik Will.

"Mungkin, tetap siagakan jari-jari kita, kurasa aku bisa membidik matanya kalau dia melompat lagi."

"Benar, matanya yang penting, dengan satu mata yang buta, kita akan mudah menghabisinya," bisikannya kali ini lebih keras.

Alazar menyadari, ia mengangkat jari telunjuknya dan berkata, "Anak muda, jangan macam-macam."

Deru angin kembali terdengar dari arah utara. Malam itu sangat hening, meskipun suara serangga kerap terdengar, tetapi kesunyian malam itu tetap jelas di dalam telinga mereka.

Perlahan deru angin semakin terdengar mendekat dari arah utara. Damar celingukan, kakinya sedikit bergetar. Pasangannya akan segera datang, bagaimanapun kita tidak tahu dia berniat memakan kami atau tidak, pikir damar pesimis.

Si Griffin betina datang dan terbang seimbang di samping Griffin jantan. Ukuran betina lebih kecil, paruh dan ekornya lebih pendek dari griffin jantan. Tetapi cakarnya yang berjumlah empat tetap runcing dan melengkung. Sejenak griffin betina itu, menatap Alazar, Damar dan Will bergantian, membuat perut damar terasa mulas.

Sewaktu bertengger griffin itu saling menelisih leher dan menempelkan dahi. Seperti suatu romantisme yang mengerikan. Damar berada pada posisi perasaan yang terombang ambing antara tertegun atau tertekan.

"Kau lama…" kata Griffin jantan yang suaranya lebih serak, bergema dalam benak Damar.

"Kau bodoh sekali! kau bilang akan mengurus manusia ini sendiri. Aku sempat menunggumu kembali. nyatanya kau yang lama dan sekarang memanggilku. Apa kau kesulitan untuk mengoyak manusia ini?" katanya.

Lidah Damar terasa keram untuk mengulangi perkataan betina itu kepada Alazar dan Will. Damar berusaha semampunya dengan nada terbata-bata.

"Manusia ini bukanlah penduduk desa ataupun pemburu, satu orang penyihir, satu orang anak laki-laki payah, dan seorang lagi adalah sang penghubung dengan pendampingnya seekor dragona. Kau tau kan apa yang kumaksud dengan 'sang penghubung'?"

"sang penghubung? Apa yang kau maksud adalah penyihir terkutuk yang membantai ras kita yang tidak tunduk menjadi budak? Bah! Dan kau masih membiarkannya hidup?"

Nada amarah tersirat jelas dalam perkataan Griffin betina. Sebelum sempat damar menyampaikannya kepada Alazar. Griffin itu memekik ke arah mereka bertiga, melompat dari tenggerannya ke udara dan memperlihatkan cakar-cakarnya.

"Sabar Merva! Dikalau memang ada sebuah kesempatan untuk membalas dendam ras kita, tidak salahnya kita mencoba!"

Merva diam, lalu menelisik tubuhnya dengan paruh bengkoknya.

"Lalu setelah ini, kita harus apa?" tanya Merva.

Sewaktu Damar menyapaikan perkataannya. Alazar mulai kebingungan, dia mondar-mandir di atas batu. Damar merasa kesal lalu memanggilnya berulang-ulang. Ia takut Alazar kehabisan akal dan para griffin itu berubah pikiran.

"Naga ini harus dilatih bersama pemiliknya. Melalui latihan disiplin bersama para elf dia akan jadi penunggang yang serasi, hanya penunggang dengan komunikasi yang baik yang sepadan dengan raja kegelapan," kata Alazar terhenti.

"Elf? Jadi kau ingin kami menemanimu sampai ke Horien? Bah! Itu terlalu jauh untuk kami, meskipun kami mampu mengepakkan sayap selebar tajuk jati dan terbang secepat peluru. Jarak itu terlalu jauh! Lagipula resiko kami terlihat oleh morgul lebih besar dan kami akan lebih mudah punah daripada bersembunyi di Azgarad," kata Jgurlan.

"Tidak, tidak, mencapai Horien adalah tugas kami dan saat ini kami membutuhkan tuan griffin untuk mengantar kami sampai ke dekat desa Acton. Kami hanya membutuhkan kuda dan perbekalan tambahan untuk menuju Horien," Alazar memohon.

Jgurlan dan Merva berunding, mereka beradu paruh dan saling bersenandung. Damar tidak terlalu mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Tetapi perselisihan sedikit terlihat dari aura yang sedikit menekan benaknya. Ia berharap dapat melalui perbincangan ini dengan sangat baik.

Tidak lama Jgurlan memulai berbicara. dia terbang melompat dari atas tebing yang menjulang menuju daratan tempat Alazar, Will, Damar dan silvar berdiri.

Sewaktu dia mendaratkan cakar-cakarnya, mereka merasakan guncangan yang hebat dan gemuruh debu yang berterbangan. Bagaimanapun makhlut itu sangat menakjubkan, Damar terbelalak berkali-kali begitupun Will.

"Meskipun ras kami telah terbunuh oleh zenoth si raja penghiatan, zenoth si enchanter dan penghubung. Kami tetap menghormati keberadaan enchanter seperti apa yang telah leluhur kami ceritakan tentang echanter-enchanter yang bijak. Dahulu, hubungan kami dengan enchanter seperti sebuah serangga dengan bunga. Enchanter membantu kami memahami bencana alam, memperingatkan kami tentang tempat-tempat ideal untuk kami bersarang dan melindungi kami dari para morgul yang memburu cakar-cakar kami."

"kalau memang seorang enchanter terlahir kembali untuk membunuh enchanter penghianat itu, kami menitipkan tanggung jawab itu pada kalian. Balaskan dendam ras kami, dan bebaskan semua budak-budak miliknya di morgoth termasuk keturunan kami. Maka akan kupulihkan kepercayaan antara ras griffin dengan para enchanter."

Alazar membungkuk, di ikuti damar, meskipun dia membungkuk kaku seperti sakit perut.

"Naiklah ke punggungku dan Merva, akan kuantar kalian melewati perbukitan Azgarad dan menyebrangi sungai Marna yang panjang menuju pesisir Desa Acton. Tapi ingat, hanya di pesisirnya! Karena kalau manusia melihat kami, kau tahu apa yang terjadi."

Alazar sekali lagi membungkuk, dan memerintah Damar, Will untuk menaiki punggung Griffin.

Silvar awalnya rewel, menggigit jemari Damar sewaktu dirinya di naiki ke pundaknya. Damar merasa kesal karena tingkahnya menjadi berbeda. Meskipun naga itu masih bayi, tapi gigitannya cukup sakit dan membekas.

Setelah dibujuk dengan beberapa potong daging kecil hingga membuatnya kenyang. Silvar mulai tenang dan hendak tertidur. Sudah beberapa hari ini persediaan daging mereka habis di makan Silvar.

Naga memanglah banyak makan saat bayi, pencernaannya tergolong tiga kali lebih cepat dari manusia. Karena tubuh-tubuhnya menyerap banyak tenaga lebih besar selama masa pertumbuhan.

Sesudah semua berada di punggung Griffin, mereka berpegangan pada bulu pena Griffin. Damar sangat tertegun dengan keindahan bulu griffin, satu helainya saja selebar tiga ruas jari Damar dan memanjang selebar telapak tangannya dan berbentuk oval.

Damar dan Will terlonjak ketika Jgurlan merentangkan sayapnya, mengibas seolah hendak lepas landas.

Sekali lagi debu-debu berterbangan beserta dedaunan kering. Membuat mata Damar kelilipan. Tapi tidak lama mereka sudah berada di udara bebas di atas.

Langit malam terlihat bersih dengan corak awan kecil yang tipis. Malam itu indah dengan titik-titik bintang yang berkelap-kelip. Selama terbang mereka dihujani oleh cahaya bulan yang pucat melintasi puncak-puncak bukit Azgarad di bawahnya.

Hembusan udara malam itu terasa sangat dingin. Damar merasa merinding dan memeluk erat bulu-bulu Jgurlan.

Menyadari hal itu, Jgurlan memelankan laju terbangnya lalu terbang lebih rendah.

"Tidurlah, selama aku terbang dengan lurus dan tenang, kau tidak akan terjatuh," katanya.

Awalnya Damar Ragu, tapi rasa kantuknya memang luar biasa hebat. Ia memejamkan mata dan berharap bisa tidur cepat. Perutnya terasa sedikit lapar, karena tadi makan sedikit. Tetapi bulu lembut Jgurlan membuatnya merasa nyaman, dan tidak lama Damar terlelap.