webnovel

“Percaya Diri”

🍁 Dean Pov~

Sejauh yang sudah aku korbankan untuk menjadi seorang pengacara publik, aku harap apa yang satu tahun ini aku inginkan hasilnya sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Betapa percaya dirinya aku setelah melewati seleksi kemarin, padahal hasilnya saja belum keluar. Terlepas dari itu, aku juga berharap hubungan aku dengan Hana berakhir di pelaminan.

Di kala sebuah rindu tak tersampaikan akan menggebu dalam hati, penawarnya ialah bertemu. Menjumpai Hana adalah obat rindu ku, oleh sebabnya aku ingin menemuinya di gedung tempat ia bekerja. Hana terlihat tersenyum dengan seorang pria gagah berdasi, aku beranggapan bahwa mereka sedang bercerita sesuatu yang lucu karena keduanya saling tersenyum satu sama lain.

Hana menyadari bahwa aku hadir di kantornya, ia dan pria berdasi itu menghampiriku. Hana memperkenalkan kami berdua.

"siapa??" tanya beliau

"temen" balas santai Hana yang membuatku sedih

"ohh. saya Kenzi, manajer Hana" perkenalan beliau

dengan berjabatan tangan denganku

"Dean, TEMAN Hana" jelasku.

Pacaran usia seumur jagung ini belum benar-benar dianggap Hana. Tapi, aku memahaminya. Mungkin kalau dia memperkenalkanku sebagai pacarnya bisa saja Manajernya bertanya lebih jauh, apalagi kalau sampai menanyakan mengenai pekerjaanku, bisa jadi Hana malu dengan jawaban yang aku lontarkan.

Begitu kami berjalan keluar dari gedung, aku tak sempat mengatakan apa-apa kepada Hana karena yang menganggapku hanya sebatas teman. Langkah Hana berhenti di depanku.

"kamu marah??" tanya Hana dengan menatap ku

Aku membalasnya tanpa menatap dia "enggak!!!"

"ohhh, ya udah" pungkasnya melanjutkan berjalan di depanku

"bukannya dibujuk malah pergi duluan" gumamku

Dari semua makhluk yang ada di bumi, hanya perempuan yang tak dapat aku pahami. Apa yang dipikirkan perempuan tak pernah aku pahami bukan berarti pula aku ini tidak peka, karena sesungguhnya makhluk hidup peka terhadap rangsangan. *Haha apaan deh jadi ngelantur ke pelajaran Biologi gini.

Ibu sedang memasak makanan kesukaanku, dia memasak sayur asem, tempe, tahu dan sambal. Aku menyukai setiap apa yang ibu masak. Makan malam yang ibu sediakan terasa nikmat apabila semua keluarga hadir. Begitu selesai, ibu memanggil kami yang berada di ruang keluarga. 'nikmat tuhan mana lagi yang kamu dustakan' pikirku melihat semua anggota keluarga bahagia berada dalam forum ini ckck.

"bagaimana tes nya??" tanya ayah di sela-sela makan

"syukurnya aku bisa melewati"

"syukur kalau gitu" imbuh ibu tercinta dengan mengasongkan makanan di piringku.

"kapan hasilnya diumumkan??" lanjut tanya ayah

"satu minggu dari sekarang"

"habis itu tes apa lagi??"

"langsung interview"

Sudah beberapa hari, Yuna tak pernah lagi menghubungiku. "Mungkin sibuk menghadapi kasus" pikirku, "tapi kan setidaknya sekali dua kali telepon tidak akan banyak menyita waktu juga kan?" ucapku sembari menikmati angin malam di atas loteng. Ku ambil ponsel di saku celana, lalu mencari nomor kontak bernama 'Yuna' dan ku telepon dia. Tak lama ia menjawab panggilan.

"kamu lagi seneng kan? Makanya temennya dilupain" buka ku pada Yuna

"ngomong apaan sih??"

Aku melanjutkan "coba kalau lagi sedih, baru inget kan sama temen sendiri"

"udah ngomongnya?? Aku tutup ya!!"

pungkas Yuna

"jangan!!" pintaku, "kamu lagi ngapain??"

"kenapa?? Kangen?? Mau ke sini??" tanya dia berturut-turut

"haha gak yah!!"

tawa ku meledeknya

"besok hasilnya bakal diumumin" ucap Yuna memberitahu perihal tes

"oke!! Kira-kira yang bakal mewawancarainya siapa aja ya??" tanyaku dengan penuh percaya diri.

Doa yang ku panjatkan hari ini sebelum memulai aktivitas 'Tuhan semua yang terbaik sudah ku lakukan, hasil akhir ku serahkan padaMu, tapi tolong perhitungkan lelah ku'

Sepuluh menit lagi hasil tes akan diumumkan via email. Di ruang keluarga ku buka laptop, jari ini tak sabar ingin menegecek pesan masuk email. Ibu harap-harap cemas berada di samping ku dengan memandangi laptop. Tepat di pukul 09:00 pesan itu tiba, kotak masuk email ku buka. Dan 'jengjreeeenggg', Ibu yang baru saja membaca isi email seakan tak percaya, matanya kosong. Ekspresi wajahku tumpul, kemudian ibu mengusap pundakku dengan lembutnya.

Yuna yang sudah tahu jadwal pengumuman, langsung menanyakan hasil yang aku peroleh. Ia meneleponku, dan aku segera menjawab panggilan darinya.

"gimana hasilnya? Kamu lulus?" tanya Yuna

aku mengambil nafas "aku,,,,aku,,"

"ohh, apa??" sahutnya

"aku gagal!!" jawabku dengan lemas tak percaya

"beneran??"

yang ikut tak percaya

"udah dulu ya!!" tutupku.

Benar, dari pesan email yang aku baca terdapat tulisan 'tidak lulus' hanya karena kurang nilai 0,4. Tak ku sangka, ekspektasi ku terlalu jauh untuk hal ini. kecewa sudah pasti, tapi dari raut wajah ibu, dialah yang paling kecewa. Anak yang selalu ia doakan dan ia banggakan di hadapan orang lain, ternyata tak mampu melewati seleksi tes pengacara publik. Kini pupus sudah harapanku, kini berakhir sudah cita-citaku. Bahkan aku sudah membanggakan pekerjaan ini di depan Hana, tapi aku sendiri tak mampu menjadi bagian dari mereka.

Kemarin aku haha-hihi dihadapan semua orang, tapi untuk hari ini, bicara saja aku enggan. Yang aku inginkan saat ini, hanya mengasingkan diri dari bumi. Malu rasanya bertemu dengan Ayah, Ibu, Yuna, terlebih Hana. Aku berakhir menjadi seorang pengangguran sementara.

'Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil, jika aku gagal itu berarti aku tak benar-benar berusaha' itulah kalimat yang aku simpulkan.

Di kala sedang menyendiri, panggilan masuk datang dari Yuna, namun tak aku jawab. Ibu, Hana dan Yuna saling bergantian menelepon dan aku mengabaikan semua panggilan itu. selain mereka, Heru juga meneleponku, ia juga menanyakan hasil yang aku peroleh. Berhubung sudah cs dengannya, aku tak sungkan menjawab dengan jujur. Ia mengajakku bermain futsal, untuk menghilangkan pikiran penat karena olah raga adalah salah satu cara ampuh mengobati stress.

Bukan hanya Heru saja yang ada di tempat futsal, Vian dan Geraldy juga ada di sana. Mereka tahu bagaimana cara menghiburku. Memang rasa kecewa masih belum terobati, tapi setidaknya aku mampu melupakan hal itu walau sejenak. Berkat perasaan ku yang campur aduk, kali ini aku main habis-habisan menyerang lawan, aku berambisi untuk menang. Lari sana-lari sini demi mendapatkan bola, keringat pun bercucuran. Begitu waktu permainan usai, aku, Heru dan Vian terbaring kecapekan di tengah lapangan. Dengan nafas ngos-ngosan, aku memandang langit-langit dengan penuh emosional. Geraldi memberikan minuman dingin untuk kami, kemudian kami duduk sejajar dan meminum itu. tak ada ucapan yang terdengar dari mulut mereka sejauh ini. namun tiba-tiba, Geraldi merangkulku dengan tangan kirinya yang penuh keringat seraya berkata "enggak papa bro!!"

"enggak papa sih enggak papa, tapi masalahnya ketek lu bau coy!!" ucapku dengan menurunkan tangannya di bahu ku.

"gua juga pernah gagal, jadi enggak usah terlalu dipikirin bro!!" ujar Heru yang pernah gagal di seleksi tahun kemarin

"tapi gua masih gak nyangka, apa yang gua korbanin sejauh ini berujung sia-sia!!" balasku yang langsung meneguk minum sampai habis

"setiap orang punya jalannya masing-masing. Dan jalan lo memang bukan di sana!!" giliran Vian yang bicara. "lo harus percaya kalau Tuhan udah nyiapin hal terbaik buat lo" tutup Vian.

Di ruang ganti, ketika tak ada siapa pun di sana. Aku meninju tembok yang tak salah apapun, itu adalah bentuk rasa marah dan kecewa pada diri ku sendiri yang sebelumnya begitu percaya diri dengan kemampuanku. Ku buka loker tempat pakaian serta ponselku disimpan, ku lihat di ponsel ada 8 panggilan tak terjawab hanya dari Yuna saja, yang lagi-lagi aku acuhkan.

Keluar dari ruang ganti, aku sudah dalam keadaan pakaian rapi tanpa bau keringat. Tak ku duga, Yuna berdiri di depanku, terlihat di wajahnya yang teramat khawatir padaku.

"kamu ngapain di sini??" tanya ku

Kami bicara di tempat terbuka dengan cuaca yang begitu dingin, angin malam berhembus sampai ke ulu hati. Yuna masih tak mengungkapkan apa pun padaku.

"aku baik-baik aja!!" imbuhku

"gimana bisa?? Kamu menginginkan pekerjaan ini lebih dari siapa pun, gimana bisa kamu baik-baik aja??" tanya Yuna dengan penuh penghayatan

"terus aku harus gimana?? Haruskah aku nangis??" ucapku dengan penuh emosional.

"aku malu!!" lanjut ku "kemarin aku terlalu pecaya diri sampai akhirnya lupa diri. Aku melupakan sesuatu, aku terlalu fokus dengan kemampuanku sampai lupa kalau orang lain juga memiliki kemampuan lebih dari ku"

"sabar! Karena semua usaha gak harus ada hasilnya sekarang . . tenang! semua ada prosesnya, semua ada waktunya. Nikmati prosesnya, hargai waktunya, kuatkan usahanya dan syukuri hasilnya apapun itu" balas Yuna dengan melanjutkan "itu yang dikatakan ibu ku" . "you are in your time zone!!, sabar, dan kuatlah. Percaya pada diri kamu, segala sesuatunya terjadi demi kebaikanmu" tutupnya.

Setiap orang di dunia ini berproses pada fase nya masing-masing, lahannya masing-masing, dan pada waktunya masing-masing. Tuhan punya rencana yang berbeda pada setiap hambanya. Waktu ialah pembedanya. Obama pensiun pada usia 55 tahun, sedangkan Trump baru menjabat di usia 70 tahun. Jangan cemburu atau menghina mereka, karena itulah waktu mereka. Waktumu ada padamu. Kamu gak telat, kamu juga gak terlalu cepat. Kamu sangat tepat waktu!! (terjemahan tulisan Julissa Loaiza)