webnovel

Cinta Satu Atap. ✔

Ririn adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Anak tengah seharusnya mendapatkan perlakuan spesial dalam keluarga. Tapi ini malah terjadi sebaliknya. Hanya adiknya, Angga yang selalu membelanya. Tidak berhenti sampai disitu, di sekolahnya Ririn selalu saja dibully. Ia dikucilkan karena dianggap sangat cupu, hanya seseorang yang mau berteman dengannya. Tidak bertahan lama pertengkaran pun terjadi. Saat ia berada ditengah tengah pertengkaran itu, ujian terberat pun datang menghampirinya. Dari sanalah sebuah rahasia lama terbongkar dan Ririn harus memilih antara kebahagiaan dan cinta. ***

koalakecil_00 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
24 Chs

Chapter 4.

Seperti pagi yang biasanya Ririn bangun pagi, menggosok gigi dan mengambil sapu. Saat hendak menyapu pandangan matanya berkunang kunang. Untung saja disampingnya ada sebuah kursi. Ia pun duduk di sana dan meraba keningnya.

'Ya, ampun aku demam. Pantas saja dari tadi aku merasa lemas.'

Ririn pun segera berjalan menuju tempat penyimpanan obat itu disimpan. Ketika membuka kotak tersebut rasa kecewa pun menghampirinya karena ia mendapatkan obat itu telah habis dan belum diganti.

Akhirnya ia mengambil panci dan merebus air. Selagi ia menunggu air mendidih, ia duduk di kursi meja makan sembari membaringkan kepalanya di atas meja.

Tidak lama kantuk pun menyerangnya meskipun ia telah berusaha untuk tetap terjaga. Kalau Tuhan sudah berkehendak siapa yang bisa melawan? Akhirnya, Ririn pun tertidur dengan keadaan kompor masih menyala.

Beruntung Ibunya terbangun dan keluar kamar untuk mencari bau yang tercium oleh indra pencimannya. Saat ia melihat kompor yang masih menyala dan Ririn yang tertidur di meja makan, ia pun menjadi murka. Dengan segera ia memukul meja itu hingga Ririn terlonjak kaget.

"Ririn siapa yang suruh kamu nyalain kompor? Kamu gak tau apa, Ayah kamu tuh kerja keras buat beli gas dan sekarang kamu malah membuang buang gas."

Diam.

"Kamu mau ngebunuh kami, hah?"

"E-engak kok, Bu. Aku bener bener ketiduran."

"Bohong. Sekarang kamu ambil sapu dan kemoceng. Lakukan tugas kamu dengan cepat dan benar. Awas kalau sampe Ibu bangun belum selesai."

Kemudian Ningsih pun segera memasuki kamarnya. Ririn hanya bisa pasrah. Iya memegang keningnya yang terasa panas.

'Sabar Rin, sabar. Tuhan gak akan memberikan cobaan yang gak bisa kamu lakukan. Semangat Rin. Kamu pasti kuat hadapin ini semua.' Dengan kondisi tubuh yang lemah Ririn pun mulai menyapu.

Tiba tiba Ririn merasakan matanya sudah tidak kuat lagi untuk terbuka. Maka ia memutuskan untuk pergi kekamarnya untuk beristirahat sebentar saja.

Cukup lama Ririn tertidur hingga ia tidak menyadari bahwa matahari pagi telah muncul. Suhu tubuh Ririn bertambah parah, ia menggigil kedinginan karena demam. Tiba tiba pintu kamarnya terbuka muncullah Fahmi dan Ibunya.

"Wah, bener bener nih anak. Diri tadi kita tungguin dia malah enak enakan tidur."

Melihat itu, Ibunya pergi sebentar lalu kembali dengan sebuah gayung yang berisi air ditangannya. Lalu disiramnya Ririn dengan air itu. Ririn yang disiram air dingin langsung terbangun karena suhu air yang sangat dingin. Karena kakinya tidak kuat menopang tubuhnya, maka Ririn pun jatuh ke atas tempat tidur.

'Mampus lu, Rin dimarahin sama Ibu. Macem macem sih.'

"Siapa yang suruh kamu duduk, hah?"

" lRirin lagi gak enak badan, Bu."

Ibunya memutar mata, Emang kenapa kalau gak enak badan? Salah Ibu?"

Ririn hanya tetunduk.

"Pokoknya Ibu gak mau tau kamu tetep harus masuk sekolah. Ibu gak mau denger alesan. Cepet ganti baju kamu."

Ririn terdiam karena ia dapat merasakan tubuhnya sangat lemas. Tulang kakinya sudah tidak kuat menahan beban tubuhnya lagi. Detik itu juga Ririn ambruk ke lantai. Fahmi dan Ibunya cukup terkejut melihatnya.

"Ririn! Bangun gak, kalau enggak Ibu siram air lagi."

Tidak ada pergerakkan dari Ririn maka Ibunya pun pergi ke kamar mandi untuk menggambil segayung airyang nantinya akan disiramkan ke arah Ririn. Fahmi merasakan ada yang ganjil dengan Ririn, maka ia segera meraba kening Ririn.

"Capek deh, lo kalau sakit ngomong biar gue gak usah repot repot nungguin lo."

Bertepatan dengan itu Ibunya datang dan hendak menyiram Ririn.Untungnya, Fahmi dengan cepat menahan Ibunya agar tidak menyiram Ririn dengan air.

"Jangan, Bu. Ririn sakit makanya Ririn pingsan."

"Apa? Dia sakit?"

Ibunya menepuk dahinya, "Alamak jan, pengeluaran lagi. Cepet kamu angkat dia ke atas ranjang."

"Kok aku?"

"Udah cepetan."

Akhirnya, dengan terpaksa, Fahmi mengangkat Ririn ke atas tempat tidur sambil menggerutu.

***

Keesokan harinya, Ririn ke sekolah seperti biasanya. Setibanya ia di sekolah, Rio ternyata sedang menunggu seseorang di depan gerbang sekolahan. Saat hendak melewati Rio, Ririn merasakan satu tangannya ditahan oleh seseorang, jadi mau tidak mau ia pun menoleh. Ia melihat Rio sedang menahan satu tangannya sambil tersenyum.

"Pagi, Jutek."

"Kamu mau ajak ribut? Udahlah kita damai aja. Lepasin tangan aku, aku mau ke kelas."

Rio merasa ada yang salah dengan sikap Ririn. Dengan terpaksa ia melepaskan tangan Ririn. Tepat pada saat itu, Ririn kehilangan keseimbangan dan akibatnya ia tersandung tali sepatunya yang kebetulan lepas.

Tak sengaja Tere melihat kejadian itu tanpa mengetahui yang sebenarnya. 'Keterlaluan. Gue harus minta tolong Tasya.' Ia pun berjalan menuju kantin untuk mencari Tasya.

Sesampainya ia di kantin, Tere melihat Tasya dan Fira sedang bercengkrama seru sekali. Sempat terbesit kata 'sahabat' dipikirannya, tapi buru buru ditepisnya.

"Sya, gue butuh bantuan lo."

"Bantuan apa? Pasti gue bantu."

Ririn yang pada saat itu sedang mencari Tere melihat bahwa Tere meminta bantuan dengan Tasya dan Fira. Dan bukan kepada dirinya yang merupakan sahabat Tere. Ketika itu juga, ia kecewa terhadap Tere. Ia pun berlari ke arah toiet dan menangis di sana untuk melampiaskan seluruh amarahnya.

Sudah cukup lama Ririn menangis dalam bilik toilet. Tiba tiba bunyi bel berdering, Ririn pun segera keluar dari bilik tersebut dan segera kembali ke kelas. Dalam perjalanan kembali ke kelas, Ririn dicegat oleh Tasya dan Fira.

"Permisi, aku mau lewat."

Bukannya menyingkir, Tasya dan Fira semakin menghalangi Ririn untuk lewat.

"Enak aja lo, suruh kita berdua yang minggir. Sana lo yang minggir."

Ririn pun mengalah dan merapat ke tembok. Bukannya lewat, Tasya dan Fira malah mengunci tubuh Ririn ke dinding.

"Heh lo, lo udah berani rebut Rio dari kita?"

"Gak itu gak bener semua yang kamu lihat itu gak bener, itu cuma salah paham."

"Ngeles aja lu kayak bajaj. Udah Sya, mending kita kurung aja dia di gudang biar tau rasa."

Begitu mendengar kata 'gudang' Ririn langsung menggelengkan kepalanya seolah tidak setuju. Ia bahkan siap melakukan apa saja, asalkan ia tidak dikurung dalam gudang. Tasya dan Fira terus menyeret Ririn hingga gudang belakang sekolah.

Setelah sampai, Tasya membuka pintu sedangkan Fira memegangi Ririn agar tidak kabur. Pintu pun terbuka langsung saja Fira mendorong tubuh Ririn masuk ke dalam hingga ia jatuh tersungkur di lantai gudang yang dingin. Buru buru Tasya dan Fira menutup dan mengunci pintu gudang itu.

"Tasya... Fira... Buka pintunya please. Aku takut."

Tasya dan Fira melakukan 'tos' di depan pintu sementara Tere melihat mereka dari yang cukup jarak jauh.

'Sori Rin, gue terpaksa suruh mereka karena jujur gue cemburu liat kedeketan lo sama Rio.'

***

Hari sudah hampir malam, Ririn yang dikurung di dalam gudang pun tampaknya telah kelelahan karena dari tadi tenaganya sudah ia pakai untuk berteriak. Tapi tidak ada satu pun orang yang menolongnya karena letak gudang itu berada di belakang sekolah yang jarang dikunjungi oleh siswa.

Saking lelahnya Ririn berteriak, ia sampai tertidur dan ia tidak menyadari bahwa hari sudah gelap.Ia terbangun karena ada suara mencicit. Ketika ia membuka matanya ia menemukan seekor tikus berjalan mendekat ke arah kakinya sontak saja ia berdiri dan berteriak minta tolong.

"Siapa pun tolong aku!!!"

Sepertinya tikus itu tau Ririn takut padanya dan tikus itu pun semakin mendekat padanya.

"TOLONG!!!"

Rio yang sedang mengambil buku catatan miliknya tidak sengaja mendengar sebuah teriakkan. Karena penasaran ia pun mengikuti arah teriakan itu berasal dan ternyata dari gudang belakang sekolah. Cepat cepat ia menuju gudang belakang karena suara itu berasal dari sana.

Rio melihat ke kiri dan ke kanan ia tidak menemukan benda yang bisa ia gunakan untuk membuka pintu. Lalu ia mengambil ancang ancang dan bersiap untuk mendobrak pintu tersebut.

Ketika pintu sudah didobrak dan terbuka, dilihatnya Ririn yang ketakutan dengan mata terpejam sedang menangis di pojok ruangan.

Rio pun mendekatinya dan langsung memeluknya tapi reaksinya tak terduga sama sekali. Ririn langsung memeluknya erat. Perlahan lahan Rio membelai rambut Ririn dan menuntunnya untuk keluar dari gudang tersebut.

Setelah sampai di gerbang sekolah Rio buru buru memberikan sebotol mineral yang tadi dibawanya.

"Kok kamu bisa masih di sekolah?"

"Ah iya buku catatan. Tunggu di sini sebentar gue ambil buku dulu."

Rio pun segera berdiri dan berlari ke arah kelas. Tidak membutuhkan waktu yang lama ia pun kembali dengan sebuah buku di tangannya.

"Oh iya, gue penasaran kenapa lo bisa ada di gudang? Lo dikerjain?"

Pertanyaan dari Rio kini membuatnya diam seribu bahasa.

"Woi Rin!"

"E-eh iya. Yuk pulang, aku duluan dan makasih ya buat yang tadi."

Ketika Ririn akan berjalan pergi, Rio dengan sigapnya menahan pergelangan tangan Ririn dan membuatnya jatuh terduduk di atas kursi.

"Siapa yang udah kurung lo di gudang?"

Ririn memikirkan sebuah alasan yang pas. Tidak mungkin ia berkata kalau ia dikurung oleh Tasya dan Fira di gudang kepada Rio.

"Gak ada. Aku kekunci di gudang."

"Beneran?"

Ririn pun membuat angka dua menggunakan jari tangannya.

"Oh. Gue anterin pulang ya?"

"Jangan. Mendingan jangan."

"Gak ada penolakan. Ayo jalan. Bisa jalan sendirikan?"

Ririn pun hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan Rio. Mereka pun berjalan menuju ke tempat parkir mobil.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya Ririn terus memikirkan cara untuk memyuruh Rio pergi tanpa ketahuan oleh orang rumah.

Tak terasa, mereka sudah di depan rumah Ririn yang sudah ada Ayahnya menantikan kepulangannya. 'Aduh gawat, ada Ayah lagi.'

"Malam om. Saya Rio temennya Ririn. Tadi-"

"Ririn, cepat masuk. Kamu pulang dan jangan pernak kamu injakkan kaki kamu di sini."

Ririn pun segera masuk dan meninggalkan Rio yang terdiam di depan pintu. Saat Rio sudah pulang, Ibunya dengan ketus pun mulai melontarkan pertanyaan pada Ririn.

"Dari mana kamu?"

"Tadi Ririn di kurung di gudang sama temen Ririn, Bu."

"Alesan kamu aja. Di kiranya Ibu gak tau apa? Kamu tadi siang pesenkan sama Fahmi bilang kalau kamu mau ke mall?"

"Gak kok, Bu."

Tiba tiba Fahmi datang dari ruang makan.

"Ririn tadi pamit Bu sama aku. Katanya sih mau ke mall sama temen temennya, Bu."

Ririn yang kecewa mendengar jawaban bohong Fahmi pun berlari memasuki kamarnya dan menangis hingga ia kelelahan dan tertidur di kasurnya.

***