Sibuk membongkar barang lama yang ada di lemari untuk mencari sesuatu, Farani sampai tidak mendengar ketukan di pintunya.
"Boleh Ayah masuk?" kepala Ayah menyembul dari balik pintu.
Farani yang kaget langsung memasukkan beberapa barangnya ke dalam lemari. "Boleh. Ada apa Ayah?"
Mendekati putrinya dan memandang sekeliling kamar membuat perasaan Ayah sedikit mellow. Bagaimana tidak, rasanya baru kemarin dia mendengar tangisan pertama Farani saat dilahirkan, tapi sekarang dia sudah berubah menjadi gadis yang cantik dan juga manja.
"Bunda tadi tanya ke Ayah, kenapa Adek murung. All is well?"
Tidak langsung menjawab, Farani memikirkan kata-kata seperti apa yang akan dia ucapkan. "Not good enough."
Tanpa menyahut, Ayah menunggu kata-kata selanjutnya yang akan diucapkan anak gadisnya itu. "Abang marah dan ngebentak Adek. Itu cuma salah paham sebenernya, tapi Abang udah mikir yang enggak-enggak."
"What about?"
"Sita."
Persis seperti yang dipikirkan olehnya dan Bunda. Ini semua berakar pada lelaki yang sudah dipacari Farani selama beberapa bulan belakangan itu.
"Emang Sita ngapain?" Ayah masih bertanya dengan nada lembut.
Ini adalah pertanyaan yang ditunggu Farani, dan ini juga pertanyaan yang sedang dalam proses pencarian jawabannya. Dia harus bisa menjawab dengan sediplomatis mungkin tanpa perlu menyembunyikan kenyataan. Tapi bagaimana kalau Ayah akan bereaksi seperti abang? Begitulah kita-kita pemikiran Farani.
Mendapati putrinya hanya terdiam, Ayah mencolek lengannya. "Ayah tanya sekali lagi, emang Sita ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma nemenin tidur pas Ayah sama Bunda pergi. Itu aja."
"Dimana dia tidur?"
"Di sofa ruang tengah."
"Adek tidur dimana?"
"Dikamar." jawab Farani. "Apa itu salah?"
"Udah lapor sama satpam dan pak RT juga?" Farani menjawab pertanyaan Ayah dengan anggukan.
Setelah mengetahui duduk permasalahannya, giliran Ayah yang diam termenung. Ada hal yang membuat Farani salah, tapi Ayah seperti tidak tega menyakiti perasaan putrinya tersebut.
"Ayah ikutan marah?" dengan hati-hati Farani bertanya setelah mendapati ayahnya yang terdiam.
"50:50," Ayah menghela napas, lalu melanjutkan, "akan lebih baik kalau adek nginep di kos temen perempuan aja, atau ajak temen perempuannya nginep disini. Atau kalo nggak, Adek nginep aja di hotel. Kenapa Adek nggak tanya Ayah dulu?"
"Maaf, Adek salah." ucap Farani sambil menundukkan kepalanya.
"Ayah cuma nggak mau Adek kenapa-kenapa, begitu juga yang dipikirkan Abang. Tapi kita juga harus memikirkan gimana tanggapan orang sekitar kita. Bisa sih cuek sama omongan tetangga, tapi kan disisi lain kita juga butuh bantuan tetangga."
"I'm sorry."air mata menggantung di pelupuk mata Farani. Menyadari betapa kurang dewasanya dia dalam mengambil keputusan.
"Adek nggak akan ngulangin lagi." ucap Farani penuh penyesalan.
"Jadikan ini sebagai pelajaran. Jangan lupa jelasin ke Abang juga. Sama bilang sama Sita buat dateng kesini, Ayah pengen ngobrol."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Ayah memeluk Farani dengan penuh kasih sayang.
Sebelum meninggalkan kamar Farani, Ayah sekali lagi berpesan untuk tetap ceria dan menjadi Farani yang seperti biasanya.
Tanpa membuag waktu, Farani langsung menghampiri kakaknya di kamar. Melihat Fareza sedang memainkan gitarnya di balkon, Farani perlahan mendekat.
"Abang masih marah?" hati-hati Farani bertanya.
Melirik Farani, Fareza lalu menjawab, "masih."
"I'm sorry. Nggak akan ngelakuin hal itu lagi. Ayah udah ngomong tadi."
Sebenarnya Fareza tidak tega melihat adiknya murung, tapi kemarahannya masih bergelora. Tapi setelah mendengar Ayah telah memberikan sedikit 'pidato' kepada Farani, itu tandanya Ayah juga telah mengetahui permasalahannya. Dan bisa dipastikan Ayah telah memutuskan sesuatu.
"Apa kata Ayah?"
"Suruh nggak ngulangin lagi. Mending nginep di hotel." jawab Farani lemah.
"Gitu doang?" Fareza masih menuntut jawaban yang lain.
"Suruh minta maaf ke Abang, sama suruh bilang ke Sita kalo Ayah pengen ngomong sama Sita."
"Udah ngomong ke Sita?" Farani menggelengkan kepala. "Kenapa?"
"HPnya kan ada di Abang."
Seketika mata Fareza memindai meja belajarnya. Disana tergeletak HP Farani yang sudah disita olehnya setelah sampai di rumah. "Biar Abang aja yang ngomong ke dia."
"Abang maafin kan?" Farani bertanya dengan ragu.
"Maafin udah bentak, maafin juga udah berpikir yang nggak-nggak. Dulu pas kalian mulai deket, gue seneng karena ada yang gantiin tugas gue anter jemput. Tapi semakian kalian akrab, gue takut kalo lo bakal lupain gue. Setelah gue mukul Sita, gue bilang kalo mungkin gue bakal biarin kalian deket, dengan catatan kalian nggak terlalu jauh pacarannya. Makanya pas lo bilang Sita tidur disini, pikiran gue trus yang negatif gitu."
Fareza sadar dia sedikit protektif terhadap adiknya. Sedikit banyak dia juga tahu bagaimana Sita diluar sana, sebelum bertemu dengan Farani. Lelaki macam apa yang menjadi sahabatnya itu. Dan penyesalan terbesarnya adalah membiarkan adiknya dekat dengan orang macam Sita.
"Makasih, Abang selalu jadi abang yang mikirin adiknya. Dan gue bangga punya abang kek gitu."
*
Kafe Book.
Setelah membuat janji untuk bertemu, Fareza dan Sita duduk di meja yang sama. Memesan minuman yang sama, Vietnam Drip. Suasana tegang menyelimuti meja tempat mereka duduk.
"Wah udah lama ya nggak keliatan kalian berdua." sapaan Iyan terdengar begitu dia meletakkan pesanan keduanya.
Sita menoleh ke arah Iyan namun tetap memasang muka datar. Sedangkan Fareza tersenyum singkat kepada Iyan. Iyan yang mendapat perlakuan dingin, langsung menghindar dari medan perang.
"Ayah pengen ketemu." Fareza membuka pembicaraan.
Menyeruput kopinya, Sita menganggukkan kepala, "kapan?"
"Gue yakin lo punya nomor Ayah. Tanya aja sendiri."
"Gue sama Farani nggak ngapa-ngapain. Jangan marah ke dia." Sita memulai topik baru.
"Apa kalo gue bilang buat jangan deketin Farani lagi, lo bakal ngelakuinnya?"
Perang sudah di mulai. Keduanya saling mengeluarkan tatapan membunuh.
"Gue bakal lamar Farani." sambil mengeluarkan sebuah kotak berwarna ungu, Sita mengatakan perihal lamaran itu dengan mantap.
1-0 untuk Sita. Jelas sekarang Sita lebih unggul. Dan nampaknya ucapan Sita sangat serius. Fareza tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Adiknya yang masih kecil dan belum lulus kuliah udah di lamar. Memikirkannya saja membuat Fareza pusing.
"Lo mau hancurin masa depan adek gue?" kepalan tangan Fareza menguat, membuat buku jarinya memucat.
"Nggak. Gue bakal nunggu dia 5 tahun lagi buat nikah. Atau 10 tahun. Gue bakal tunggu."
Ini jawaban yang telak. Bahkan seorang Fareza tidak tahu harus menjawab apa untuk membalikkan keadaan. Dari sorot matanya, Sita jelas tidak akan main-main dengan ucapannya. Apalagi dengan adanya kotak cincin itu.
"Apa alasan lo ngelakuin ini semua?"
"Gue nggak mau kejadian kek gini terulang lagi. Dan gue juga nggak mau lo terlalu ikut campur sama urusan gue."
Sejak kapan lo jadi songong banget? Batin Fareza sambil mengalihkan pandangannya ke kopi di depannya.
Disisi lain, Sita bisa merasakan kemenangannya atas Fareza. Keinginannya untuk meminang Farani sudah dia pikirkan dengan matang. Bahkan sebelum Mamanya meninggal dulu, dia sudah pernah membeicarakan hal itu dengan beliau. Tinggal mengutarakan niat baiknya itu ke keluarga Farani.
"Gue udah mikirin ini lama, sebelum kita wisuda. Tapi baru kali ini gue punya keberanian buat ngomongnya. Farani sendiri bilang kalo dia memang belum mau memikirkan pernikahan, makanya gue bilang buat nunggu 5 tahun atau 10 tahun lagi."
Maaf di upload ulang.
Ada bagian yang kelewatan.
Maaf sekali lagi ya.
Selamat membaca.
Jangan lupa vote dan ratenya ya.
Terima kasih. :*