webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Urban
Zu wenig Bewertungen
24 Chs

Siapa Namamu?

Larasati menatap lekat gadis yang berada tidak jauh dari hadapannya.

'Kau terlihat tidak asing bagiku,'ucapnya dalam hati.

Rukha meneggakkan badannya kembali.

"Siapa namamu?"

"Rukha, Bu."

Pandangan Larasati terhadap Rukha semakin lekat. Ia melihat setiap inci wajah gadis bermata biru gelap.

Rukha menjadi salah tingkah, ia menyelipkan rambut dibalik telinga sambil sedikit menundukan wajahnya.

"Dia tidak akan kembali, karena akulah yang akan menyusulnya. Kami akan hidup selamanya disana dan tidak akan pernah kembali. Ku harap Kau bisa mengerti."

Larasati kembali tenggelam dalam ingatannya.

Tangannya terlihat mengepal dan bergetar.

"Bu Laras, apa kau sakit?" Tanya Ranti yang menghampiri Larasati.

"Aaa… tidak Ranti, Aku tidak apa-apa."

'Aku tak tahu, apa yang membuatmu begitu mirip dengannya. Kau benar- benar mengingatkanku padanya.' Batinnya.

"Mungkin Kau terlalu lelah, karena kesibukanmu beberapa hari ini. Sudah pasti Kau kurang istirahat," ucap Ranti.

Rukha tampak khawatir namun tak berucap, ia masih terlalu segan untuk berbicara pada Larasati.

"Mari duduklah."

Larasati mempersilahkan mereka untuk duduk, ia menarik napas panjang dan melepasnya perlahan.

'Aku terlalu mengingat hal yang tidak sepantasnya kuingat lagi.' Batinnya.

"Tunggulah sebentar, Aku akan membuatkan kalian minum."

"Tidak usah Bu, Kau tidak perlu repot." Sambut Ranti menahan tangan Larasati.

"Kami hanya ingin duduk bersamamu dan mengobrol, Kau tidak perlu repot sampai membuatkan air. Lagian, Aku akan mengambil sendiri jika haus." Timpal Ranti dengan nada akrab.

"Siapa yang ingin membuatkan untukmu. Aku mau menghidangkan tamu yang sudah datang dari jauh." Ucap Larasati menggoda.

Mata Ranti terbelalak, "Bu Larasaaaas," ucapnya manja.

"Aku sangat berterima kasih Bu. Tapi Kau tidak perlu repot untuk menghidangkan Ku. Dengan Kau mempersilahkan Ku untuk masuk kerumahmu saja, itu sudah lebih dari cukup untukku." Timpal Rukha sopan.

Larasati tersenyum tipis, "orang tuamu sungguh baik mendidikmu. Kau sangat santun."

"Darimana Kau berasal?"

"Bandung Bu."

"Hmmm, perjalanan panjang untuk Kau bisah sampai disini."

Larasati mulai merasa tertarik pada gadis yang berada dihadpannya saat ini. Mereka terus mengobrol dan sesekali bercanda.

Ia sudah terbiasa menerima orang asing atau pribumi untuk belajar dengannya. Namun, setiap kali setelah pameran ia tidak pernah menerima siapapun yang datang padanya untuk berlatih.

Sanggar dibuka hanya untuk murid-muridnya yang mau melanjutkan latihan tanpa harus dituntun olehnya.

Ranti memperhatikan Larasati yang sudah mulai banyak mengobrol pada Rukha. Ia merasa ini waktu yang tepat untuk ia mempertanyakan tujuannya yang belum dijawab oleh Larasati sejak awal percakapan mereka.

"Hmm… Bu Laras. Kapan Rukha bisa datang untuk mulai berlatih denganmu ?" Tanya Ranti, seolah Larasati sudah menyetujui permintaannya.

"Maaf Bu Laras," ucap Ayu yang datang menghampiri mereka.

Pandangan mereka bertiga tertuju pada Ayu saat ini.

"Maaf kalau saya tidak sopan memotong pembicaraan kalian."

"Ada Apa Ayu?" Tanya Bu Laras.

"Kepala Desa datang dan ingin bertemu dengan Ibu, Beliau mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan."

"Hm, Baiklah. Aku akan menemui mereka."

"Baik Bu," ucap Ayu sigap.

"Aku akan menemui tamuku. Rukha, terimakasih untuk perkenalan ini, dan Kau sudah datang dari jauh untuk berkunjung kesini."

Rukha tersenyum tipis dan membungkukkan sedikit badannya. Menandakan penghormatannya pada Larasati. Namun hatinya penuh tanya yang tak mampu diucapkannya.

'Apa Bu Laras menerimaku sebagai muridnya, atau… tidak' gumamnya dalam hati.

Ranti menghela napas panjangnya. Ia masih berharap cemas apakah Larasati menerima Rukha atau tidak. Karena sedari obrolan mereka bertiga, tidak ada yang mengarah dengan kepastian Larasati menerima Rukha untuk berlatih dengannya.

"Silahkan masuk Pak." Terdengar sayup dari luar suara Ayu yang mempersilahkan Pak Lurah masuk kedalam.

Larasati langsung berdiri dari duduknya yang disusul oleh mereka berdua.

Ranti tidak ada kesempatan lagi untuk bertanya karena tamu Larasati sudah didepan pintu. Sungguh tidak sopan untuk dia bertanya lagi saat ini.

"Baiklah Bu kami pamit dulu," ucap Ranti yang terlihat tidak se-semangat tadi.

"Kalian hati-hatilah dijalan."

Mereka membungkukkan badannya saat berselisih dengan Pak Lurah didepan pintu.

"Silahkan masuk Pak," Sambut Larasati.

"Ranti!" Panggil Larasati

Mereka berasamaan menoleh kearah Larasati.

"Mulai besok Kau sudah bisa membawa Rukha untuk berlatih disini."

Larasati memberikan senyuman hangatnya pada mereka.

Tentu saja membuat mereka merasa senang.

"Baik Bu, Aku akan membawanya pagi-pagi sekali besok," ucap Ranti dengan senyum lebarnya.

"Terimakasih Bu," Ucap Rukha sopan sambil menundukkan kepala dengan senyum lebarnya.

Mereka melanjutkan langkahnya, keluar dari Ruang dalam rumah joglo dengan perasaan senang.

*****

"Teh hijau hangat kesukaan tuan Raja dan Ratu datang", Ranti berkata dengan riang, sambil membawa nampan yang berisi dua gelas teh hijau.

"Wahh, putri Raja tampak gembira sekali hari ini." Timpal Pak Basri menyambut candaan anak gadisnya sambil melipat surat kabar yang dibacanya.

Ranti tersenyum lebar sambil menghidangkan teh hijau hangat pada Ibu dan Ayahnya.

"Terimakasih putriku," ucap Ningrum.

"Bagaimana disanggar tadi, Apa Kau bertemu dengan Bu Laras?" Timpal Ningrum dengan pertanyaan.

Ranti mengangguk girang.

"Dari ekspresimu tentu Ibu sudah bisa menebak hasilnya,"

"Aku membujuk Bu Laras dengan kerja keras, sampai akhirnya Bu Laras menerima Rukha sebagai muridnya."

"Kau yakin karena bujukanmu?" Ningrum menggoda.

"Ibu meragukan Ku?"

Ningrum menaikkan alis dan bahunya sambil tersenyum tipis menggoda anak gadisnya, ia menyerut teh hijau dengan penuh nikmat.

"Kalau ke-ahlianmu dalam meracik teh Ibu tidak meragukannya."

"Ibu…" ucap Ranti manja.

"Kapan Rukha mulai berlatih?"

"Besok."

"Secepat itu Bu Laras menerimanya, wahh…. Pasti kau membujuk dengan sangat keras."

"Tapi, Kau tidak kelewatan kan Ranti?"

"Tidak Ibu, Bu Laras memang sangat sayang padaku hingga permintaan Ku tidak mungkin untuk ditolaknya."

"Kau yakin Rukha diterima Nak?" Basri menyeka obrolan Ranti dan Ningrum.

"Mungkin itu hanya kesimpulanmu sendiri."Timpal Basri.

"Kenapa kalian jadi meragukan Ku,"

"Kami tidak meragukanmu, seperti yang kita ketahui Bu Laras tidak pernah menerima siapapun kalau sudah masuk musim nanam, Beliau tidak tega melihat Ghandy bekerja sendirian."

"Aku juga bingung, padahal ada orang yang bekerja pada mereka." Timpal Ranti.

"Mereka tidak mau menumpang tangan. Bu Larasati dan Ghandy tidak pernah memberatkan para pekerjanya Nak." Jelas Ningrum.

Ranti menyetujui perkataan Ibunya, ia kembali mengingat ketika Larasati menatap Rukha.

"Mungkin Bu Laras terpesona dengan mata Rukha Bu. Karena Bu Laras begitu lekat melihat Rukha saat mereka bertemu tadi pagi."

Basri tertawa mendengar pernyataan dari anak gadisnya yang manja dan selalu berpikir semaunya.

Dan disambut dengan senyuman Ningrum.

"Ranti-Ranti, Kau ini. Mana mungkin Bu Laras menerima Rukha hanya karna terpesona dengan bola matanya yang biru. Bukan baru pertama kalinya Beliau bertemu dengan orang asing, mata coklat, hijau, biru, belum lagi rambutnya yang terkadang pirang atau bahkan ada yang merah. Sudah biasa untuk sanggarnya menyambut orang-orang asing seperti itu ANAKKU." Jelas Basri.

Ranti tersenyum malu dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Mungkin ada penilaian lain yang hanya Larasati lah yang tahu. Rukha juga anak yang sopan, penurut juga anggun. Mungkin ia membuat padangan pertama yang baik pada Larasati. Syukurlah, yang penting Rukha sudah menemukan guru yang tepat untuk menjalankan tujuannya." Timpal Ningrum.

"Besok Aku akan bangun pagi-pagi sekali dan menemani Rukha kesanggar, kami akan jalan sembari menikmati segarnya uadara dipagi hari seperti tadi."

Basri dan Ningrum saling beradu pandang tersenyum tipis, seolah meragukan ucapan yang baru saja diucapkan oleh Ranti.

Angin sudah mulai terasa kecang, pohon-pohon cemara yang berada dihalaman depan sudah menari kiri dan kanan.

"Sebentar lagi akan turun hujan, ayo kita bergegas masuk," ucap Basri.

Mereka yang menikamti suasana sore hari dihalaman rumah pun memilih untuk segera masuk kerumah sebelum rintik hujan turun.

Gemuruh berbunyi dan saling bersahutan, rintik hujan mulai terdengar satu persatu dari atas genteng.

Rukha sedang berdiri dibalik jendela kamarnya. Menikmati rintikan suara hujan yang khas. Perlahan ia menjulurkan tangannya. Membuka telapak tangan dan meraskan tetesan air hujan yang jatuh disana.

'Ayah, Aku sudah sangat dekat dengan tujuanku.' Batinnya.