webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Urban
Not enough ratings
24 Chs

Kau terlihat tidak asing bagiku,

"Motif apa yang Kau buat?" Tanya seorang pemuda.

"Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mengatakannya sebelum ini selesai?" ucap seorang gadis.

Sepasang insan melanjutkan untuk melekatkan lilin pada pola yang sudah terbentuk dikain mori. Perlahan menggerakan canting dan meniupnya. Sesekali saling menatap dan tersenyum.

Meraka duduk berhadapan dan menempatkan kain mori yang disandarkan pada gawanangan didepan meraka masing-masing.

Kompor gas dan wajan kecil yang digunakan untuk melelehkan malam/lilin diletakkan disebelah kanan mereka.

Pemuda itu terlihat memperhatikan lekat wajah gadis yang sangat dicintainya.

"Berjanjilah padaku bahwa Kau akan menungguku."

Tangan Sigadis yang sedang mencanting tiba-tiba terhenti mendengar perkataan Sipemuda.

Ia melihat kearah pemuda yang telah lama memandangnya lekat. Mereka saling memandang, hanyut dalam perasaan.

"Bagaimana dengan orang tuamu?" Tanya gadis itu datar.

"Sudah Ku katakan, Aku akan berbicara pada mereka setelah kepulanganku dari Turkey."

"Ini tidak sesederhana itu, orang tuamu tidak merestui hubunganmu terhadap Ku."

"Laras, Apa Kau meragukanku?" Tanya pemuda dengan sungguh.

Larasati muda menggelengkan kepalanya perlahan.

"Sedikitpun Aku tidak meragukanmu, Aku hanya takut pada Takdir yang memiliki jalannya sendiri," ucap Larasati sambil memandang pola kain batik yang belum selesai dicantingnya.

"Aku tidak pernah meragukan apapun itu yang menyangkut tentang dirimu. Takdir sudah menentukan jalannya dari pertama pertemuan kita hingga nanti perpisahan yang dipisahkan oleh maut," ucap Sipemuda meyakinkan.

"Cukup." Jelas Laras sambil berdiri dari duduknya.

"Aku tak ingin mendengar kata maut, Kau membuatku takut. Beberapa hari lagi Kau akan melakukan perjalanan jauh. Aku tidak mau terjadi apapun terhadapmu." Lirihnya.

Laras meneteskan buliran air dan membasahai pipi mungilnya.

Sipemuda melangkah menghampiri kekasih hatinya. Ia tidak sanggup melihat Laras meneteskan air mata. Karena cinta mereka sungguh dalam seperti samudra yang tak berdasar.

Mereka saling berhadapan, Ia memandang lekat kekasih hatinya.

"Kita akan selalu bersama sampai kapan pun, melihat anak-anak tumbuh. Anak perempuan akan menjadi Seniman Batik Tulis yang hebat sepertimu, sedangkan yang laki-laki akan mengurus 'Ayas Tekstil' pabrik impian kita. Dan kita akan menua bersama, dirumah tua yang hanya ada Aku dan Kau. Menikmati sisa-sisa kehidupan dalam dekapan," ucap Sipemuda meyakinkan Larasati sambil perlahan menyeka air mata yang jatuh dari mata indah kekasihnya.

"Berjanjilah padaku, Kau harus kuat untuk menunggu hari bahagia kita. Jangan terlalu memikirkan perkataan Ibuku. Ia hanya belum mengenal dirimu dengan baik."

Larasati mengangguk perlahan dengan air mata yang terus mengalir, sambil memandang lekat kekasihnya.

"Aku akan menunggumu," ucapnya sambil mengangguk dan tersenyum dalam tangisnya.

"Berapa lama? sebulan, setahun, dua tahun, atau bahkan seumur hidupku Aku akan menung,"

Sssshhht…, Ucap pemuda sambil menggelengkan kepalanya perlahan dan menutup lembut bibir kekaksihnya dengan tangannya.

"Kau tidak perlu menungguku selama itu, cukup sebulan. Aku akan mempelajari tentang khas kain disana dengan tekun. Jadi, secepatnya Aku akan kembali dan menepati janjiku terhadapmu."

Mereka saling memandang dan memberi senyuman bahagia didalam mendungnya cahaya mata.

Sipemuda menunduk, menyeka air matanya yang sedari tadi sudah berusahan dibendung karena tak ingin Sang kekasih melihat.

"Apa Kau menangis?"

"Agghh tidak, Aku hanya tidak tahan memandang lama matamu yang penuh sinar kerinduan, padahal Aku masih berada dihadapan mu." Celetuk Sipemuda mengalihkan perhatian.

"Kau ini, sejak kapan berani merayu," ucap Larasati.

Suasana hening menjadi pecah dengan tawa kecil mereka. Sipemuda menoleh kearah kiri, ia melihat jalinan pola yang dibuat oleh kekasihnya.

"Laras, Kau membuat pola bunga Anyelir?" Tanyanya terkejut.

"Bu Laras. Bu Laras!" Laras terhentak dari ingatan masa lalunya.

Perlahan Ia mendengar suara yang kemudian menjadi jelas, seseorang sedang memanggilnya.

'Bahkan sebuah karya pun enggan bertahan bersamaku jika itu menyangkut tentang dirimu' batinnya.

Ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju sumber suara yang memanggilnya.

Larasati melihat kedatangan Ranti yang berdiri didepan pintu rumh joglo bagian dalam.

"Ternyata itu Kau," ucap Larasati acuh, ia masih terbawa dalam ingatan masa lalunya.

"Apa Bu Laras sedang menunggu seseorang?" Tanya Ranti yang merasa kehadirannya tidak diharapkan.

"Tidak Ranti, masuklah. Kau mau didepan pintu sampai besok?" Celetuk Larasati sambil tersenyum lebar mencairkan suasana.

'Kenapa orang disanggar hari ini pada aneh, tadi Mbak Ayu seperti punya pikiran yang berat, sekarang Bu Laras yang bersikap acuh tidak seperti biasanya.'Pikirnya sambil berjalan masuk.

"Tumben Kau datang pagi-pagi sekali, pasti Kau menginginkan sesuatu," ucap Larasati yang sudah tahu kebiasaan Ranti.

Larasti memiliki hubungan emosional tersendiri kepada Ranti. Walau Ranti masuk kesanggarnya diusia dua belas tahun, tapi ia sudah mengenal gadis manja itu sedari bayi, bahkan masih didalam kandungan.

Saat Larasati menginjakkan kakinya di Kampung Batik Giriloyo, ia sedang mengandung lima bulan yang saat itu Ningrum sebagai teman barunya juga sedang mengandung tiga bulan.

Mereka menjadi teman baik dari pertama kali bertemu. Saling membantu, dan menghargai setiap urusan pribadi masing-masing.

'Apa ini waktu yang tepat untuk Aku mengatakannya? Bu Laras terlihat seperti tidak biasanya tadi. Atau itu hanya pikiranku saja?' Pikir Ranti penuh tanya.

"Ranti, Kau datang menemuiku pagi-pagi begini hanya untuk menawarkan lamunan khayalanmu yang belum Kau selesaikan di tidurmu?

"Hmm, mmm…" Ranti tersenyum lebar sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Kemarilah." Larasati berkata sambil menarik tangan gadis manja dan membawanya duduk bersamanya.

"Apa Kau membuat masalah dirumah?"

"Ti… tidak Bu." Mata Ranti terbelalak sambil menggelengkan kepalanya.

'Kenapa jadinya seperti Aku yang sedang ada masalah' gumamnya dalam hati.

"Lantas, kenapa Kau terlihat sedang membebani sesuatu?" Timpal Laras sambil memeriksa wajah Ranti.

"Mana mungkin anak sebaik diriku membuat masalah," ucapnya dengan percaya diri.

"Benarkah? Atau sekarang Aku akan menghubungi Ibumu."

"Kenapa Aku yang tersudutkan, padahal mereka yang aneh hari ini." Gumamnya kecil.

"Apa? Apa kau berkata sesuatu?"

"Hmm, tidak Bu Laras. Aku ingin meminta seuatu." Timpal Ranti.

"Hmm sudah kuduga. Apa yang Kau inginkan?" tanya Larasati dengan lembut.

"Bu, Aku tahu. Setiap tahun setelah pameran berlangsung. Kau tidak akan pernah menerima orang untuk belajar Seni Batik Tulis padamu dalam waktu dua bulanan. Tapi, kali ini apakah Kau bisa menerima temanku?" Jelas Ranti yang mengeluarkan wajah melasnya.

Larasati mengerutkan keningnya.

"Temanmu yang Kau ceritakan lampau hari dibazar?"

"Benar Bu," jawab Ranti sambil mengangguk.

Larasati menghela napas panjang.

"Kau kan tahu Ranti, Aku tidak membuka sanggar untuk belajar setiap kali setelah pameran. Karena itu bertepatan dengan musim nanam padi."

"Aku tahu. Tapi, temanku telah datang dari jauh. Ia sangat memiliki keinginan yang besar untuk belajar seni membatik. Aku hanya tak ingin membawanya ketempat lain. Dan Aku merasa Kau orang yang sangat tepat untuknya. Lihatlah dia dulu Bu, Kau pasti akan menyukainya," jelas Ranti terus-terusan.

"Aku akan membawanya masuk," Timpal Ranti memaksa. Tidak memberi kesempatan Larasati untuk bicara.

Ranti berdiri dan langsung beranjak keluar.

Larasati memijit keningnya sambil menggelengkan kepalanya.

'Anak manja itu, selalu bertingkah se-maunya' batinnya.

Rukha dan Ranti melangkah masuk yang disambut dengan tatapan Larasati.

Ia berdiri dari duduknya dan menatap lekat gadis bermata biru tua yang berdiri tidak jauh darinya.

Mereka saling memandang satu sama lain. Rukha sedikit membungkukkan badan dan menundukkan kepalanya. Memberikan penghormatan pertamanya.

"Kau terlihat tidak asing bagiku," ucap Larasati dalam hati.