Bukan, bukan kamu yang menghantui hidupku hanya saja aku enggan melepaskan kenangan indah bersamamu.
-Lee Taa-Ri
-
Malam tiba secepat mataku berkedip. Sesekali hembusan angin menerpa wajahku, mendongak menatap rembulan sudah menjadi kebiasaan. Ah rasanya benar-benar memuakkan.
"Non? Pagi nggak mau makan banyak, malam pun juga cuman cicip mie instan saja. Sampai kapan mau seperti ini?"
Abaikan saja, aku malas memberikan balasan atas pertanyaan yang jelas jawabannya itu. Memang apa salahnya jika aku tak makan sehari saja, memangnya aku akan mati hah? Nggak mungkin kan, lagian jika aku benar-benar mati barangkali Saka memaafkan kesalahanku yang masih tetap hidup hingga saat ini.
"Non Rista?" panggil bibi lagi.
Kali ini aku menoleh. Menatap Bik Minah dengan kesal, namun hanya sesaat saja lantaran aku tak tega melihatnya yang masih saja bersikap baik pada gadis setengah waras sepertiku.
"Bibik nggak ada niatan berhenti dari pekerjaan ini?" tanyaku khawatir.
Namun bik Minah hanya membalasnya dengan tawa. "Sudah, ayo makan jangan banyak pikiran nggak baik buat kesetan non," bujuknya lagi.
Dia itu kekeuh sekali ya, padahal kan aku benar-benar tak mau makan. Mati pun biarkan. Mengapa dia yang bukan siapa-siapa justru peduli padaku? Mataku menelisik bik Minah, senyum hangatnya membuat bibirku melengkung ke atas.
Sorot mata yang selalu menatapku khawatir, dia juga selalu ada ketika aku terjaga di tengah malam. Tak pernah melupakan diriku meski anak-anaknya melarang datang kemari. Dia itu malaikat kah? Mana ada orang yang mau bertahan selama ini denganku. Ah, bahkan bisa saja gajinya tak seberapa.
Benar-benar deh dia ini, pipiku sampai basah lagi membayangkan betapa mirisnya nasib bik Minah.
"Aku bukan orang baik. Kan aku cuman gadis nakal, harusnya saat ada kesempatan pergi bibik jangan melangkah kembali ke rumah ini. Rasanya menyesakkan melihat seseorang terluka," ucapku.
Terdiam diriku saat bik Minah ikut duduk di bangku lantas mengusap air mata yang entah sejak kapan memburamkan pandangan. Aku terkekeh geli, ku ambil tangannya lantas memeluk erat ibu palsu satu ini.
Ya, dia kan bukan mamaku. Jadi ibu palsu bukan? Hanya tinggal menunggu waktu hingga dia benar-benar memutuskan untuk pergi. Sungguh hatiku rasanya sesak sekali.
"Kalau ada anak yang nakal harusnya dijaga dong. Kalau saya pergi nanti non malah makin menjadi-jadi, jujur yang utama seperti barusan ini. Nggak perlu menangis karena nasib menyedihkan saya, non Rista jauh-jauh lebih miris kok!" godanya.
Aku tahu dia sedang menggodaku agar tetap tersenyum lebar. Sialnya, dia tak sadar kalau senyumnya pun kini jarang tergambar.
"Harusnya nggak usah berbuat baik kalau nggak ada balasan," lirihku dalam pelukannya.
Di bawah rembulan yang bersinar terang mala mini kami berpelukan. Sesekali aku mendesah pasrah saat dia menyuapkan makanan. Atau mendesis kedinginan karena udara yang larut malam.
Bik Minah memaksa, hanya saja memang enggan rasanya diriku mengikuti kemauannya.
"Saya nggak bisa non, nyerah saya!" pasrahnya saat jam mungkin sudah menunjukkan pukul sebelas malam
Pandanganku jatuh padanya, lantas terbahak-bahak. "Makanya jangan sok-sokan mau ikutan begadang, tadi aja diminta masuk nggak mau. Udah sana masuk, kalau aku lapar nanti makan kok. Lagian besok tanggal merah bukan? Aku bakalan tidur seenggaknya dua jam nanti," kataku padanya.
Entahlah, rasa sopanku hilang terbawa angin mungkin. Aku diriku benar-benar tak sopan saat ini. Namun sikap yang seperti ini membuatku nyaman.
"Hem in saja deh, saya masuk ya? Baik-baik disini, jangan lupa tidur dan makan kalau mau," balasnya.
Menatap bik Minah yang mulai menjauh, lantas kembali aku menatap rembulan. Perlahan sinarnya hilang kemudian bermunculan bintang-bintang. Pohon mangg yang tumbuh di depan mata nampak seram sekali kesannya. Tapi itu tak membuatku merasa ketakutan atau apa, karena memang jujur saja sejak tadi mataku melihat Saka yang tengah melambaikan tangannya.
Dia diam, aneh bukan?
Padahal biasanya suaranya akan menggemas. Namun sejak bik Minah tiba hingga sekarang wanita itu masuk ke dalam sana, tak pernah ku dengar suaranya.
"Miss me?" tanyanya dengan kekehan geli.
Aku tersenyum hangat. "Iya, jadi pengen ke akhirat," candaku.
"Nggak enak, aku mana bisa makan mangga di akhirat? Kalau di dunia kan tinggal manjat terus kena omel sama mama kamu. Waktu SMP lucu ya rasanya? Tapi aku merasa aneh, Ta."
Melihat dia menghentikan ucapannya, aku merinding. Apalagi kali ini? Mau dengan cara apa ilusinya membuatku menggila?
"Kamu bertambah tua, tinggimu juga tambah bukan? Lihat, aku segini saja."
"Ah, karena aku udah mati dan kamu masih hidup ya?"
Melepaskan sandal, lantas ku lemparkan padanya. Bukannya mengenai Saka, justru sandal itu tembus dan mental karena pohon mangga.
Malas mengambilnya, aku memilih untuk menyenderkan punggungku di tepian bangku. Lelah melanda, namun memang inilah hidupku.
Biarkan aku sedikit bercerita, tentangnya.
Namanya Saka, pria cilik berkulit hitam manis. Senyumnya menggoda, caranya tertawa hingga sipit matanya saat tersenyum. Tak luput dengan mahirnya dia bermain voli. Usia kami hanya berbeda tiga bulan saja, tentunya aku lebih tua.
Saka itu manis, berkali-kali aku mengakuinya. Dengan takdir lucu, dia tiba-tiba saja menjadi temanku.
Masa SMP memang tak semudah itu, terutama di kelas delapan dimana hasrat ingin mencoba segalanya pun mulai bermunculan tiba-tiba. Mungkin sekadar cinta monyet kala aku bersama dengannya, meski sesaat tapi indah rasanya.
Kelas Sembilan, dia mulai berbeda. Ku kira kenapa, rupanya dia mulai dekat dengan gadis lainnya. Dia itu egois, tak mau melepaskan tanganku ataupun tangan gadis itu. kami bertengkar, aku marah besar.
Tak ku sangka, pertengkaran itu menjadi pertemuan terakhir kami. Berkat kebodohannya yang tak mau menggenggam satu tangan kecelakaan pun tak terhindarkan. Memang aku tak salah, ya harusnya begitu jika saja waktu itu hubunganku dan dia baik-baik saja.
Namun nyatanya … tidak.
"Kamu yang mendekati, kamu juga yang pergi namun aku harus menahan rasa sakitnya ditinggak seorang diri sambil menahan jiwa raga agar tetap terkendali," gumamku.
Tawa Saka kembali menggema. "Kamu yang melepaskan tanganku, yang salah itu kamu!" tegasnya.
Tak akan kuberikan jawaban. Hanya saja, egois tidak sih jika aku ingin sembuh sepenuhnya?
"Aku malas meladeni sikap gilamu ini. Namun mengapa saat diriku mulai menemukan cara tertawa kau datang tiba-tiba?"
Angin yang menerpa tak bisa menjawab pertanyaan yang ku ajukan padanya. Mengepalkan tangan erat-erat merupakan satu cara menahan diriku yang akan kembali menggila.
Aku ingin sembuh!
"Nggak adil dong kalau kamu bahagia, aku aja mati loh haha!"
Benakku, sejak awal tak ada Saka. Dia sudah pergi dari dunia nyata. Namun, mengapa pikirannku selalu saja mengganggu?
Sebenarnya, apa yang ku harapkan darinya?
To be continue ….