webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Teen
Not enough ratings
264 Chs

Boleh Bahagia Kok

"Hai!"

Mengerjap tak percaya, lantas kembali diriku membuka mata. Seakan tersadar sesuatu gegas aku bangun.

"Riki?" panggilku.

Dia mendelik, namun setelahnya tertawa. "Nggak sopan banget manggilnya, ah ngomong-ngomong maaf masuk kamar kamu gitu aha. Bik Minah ya namanya? Dia katanya sibuk jadi nggak bisa bangunin kamu," jelasnya tanpa ku minta.

"Oh," sahutku.

Ku sibak selimut lantas masuk ke kamar mandi. Masa bodoh dengan tanggap Riki, dia memang kakak kelasku di sekolah tapi ketika di rumah bukan siapa-siapa kan?

Mencuci muka, menggosok gigi kemudian ku sisir asal rambutku. Tak perlu mengganti baju ataupun mengajaknya bicara gegas aku turun ke bawah.

Ekhem, rumahku dua lantai dan kebetulan kamarku di lantai atas. Lumayan lelah bolak-balik, namun aku mana bisa meminta lebih saat membanggakan mereka saja tak bisa?

"Bik?"

Dari raut wajah asisten itu aku tahu dia sengaja mengijinkan Riki masuk ke dalam kamar. Jelas alasannya pasti seperti yang terlintas dalam benakku, padahal seharusnya tak perlu sampai seperti itu.

"Duduk sini kalian. Nak Riki sudah sarapan? Jika belum barengan saja yuk," ajak bik Minah.

Ah aku hampir lupa kalau harus menawarinya duduk juga. Habisnya mana pernah kami menerima tamu, lebih lagi pagi-pagi begini.

"Duduk, Kak," imbuhku tak lupa dengan menambahkan sedikit senyum padanya.

Dia tamu, tak lebih.

"Kebetulan belum makan, Bik. Boleh kan minta makan?" sahutnya dengan kekehan geli.

Cih, minta makan apanya? Aku sangat yakin bahwa dia hanya mengada-ngada saja. Tampang anak manja sepertinya pasti sudah sarapan di jam seginia. Aku yakin itu dan tak mungkin salah.

"Wah kebetulan banget dong bibik masak banyak. Hayuk sini bibik kasih makan kamu," jawab bibik.

Dia juga bohong. Mana pernah masak sebanyak ini? Pasti memang sengaja ditambahkan dengan tujuan agar Riki bisa ikut sarapan. Hah, dasar dunia tipu-tipu haha.

"Ahaha makasih bik!" balas Riki riang.

Geleng-geleng tak percaya, aku sarapan sambil mendengarkan obrolan mereka.

Intinya Riki datang untuk mengajakku jalan-jalan. Baguslah dia tak datang di hari Rabu atau bisa saja bik Minah tak mau menerimanya meski dengan kedok tamu ataupun temanku.

Usai sarapan segera aku ganti baju. Entah mengapa sepertinya tak ada salahnya jalan-jalan dengannya. Hari rabu dan hari-hari lainnya sikapku pasti sedikit berbeda, setidaknya otak ini masih sadar bahwa dan bisa membedakan aman yang baik dan benar.

"Ke taman kompleks sebelah?" tanyaku padanya.

Sungguh, untuk ukuran orang yang tak pernah berinteraksi sebelumnya kurasa dia benar-benar aneh. Sikapnya yang santai, dan aku juga nyaman berada di sampingnya.

"Iya, lo nggak masalah kan. Ah ngomong-ngomong rumah gue disana, eh punya bokap sih. Sebelum pulang main bentar ya?"

Penawaran bukan? Terkesan murahan mungkin, namun hatiku mengatakan kalau lebih baik mengikutinya saja. Tak ada salahnya jika kembali aku membuat celah, asal semuanya berjalan seperti semestinya dan tak ada masalah saja. Dengan begitu pasti akan baik akhirnya bukan?

"Iya," jawabku singkat.

Seperti kata dia tadi. Jalan-jalan, maka dari itu kami berjalan berdampingan.

"Sebenarnya sejak kapan lo lihat gue?" Aku bertanya lebih dulu. Haha, ini untuk kali pertama setelah sekian lamanya aku membatasi diri dengan dunia dan lingkungan sekitar sini.

Dan lagian dia sudah tahu sisi terburukku, kedatangannya kembali dan bukan malah lari pertanda bahwa Riki bukan laki-laki seperti sebelumnya.

"Bukannya lebih baik lo tanya gimana gue bisa tahu rumah lo?" tanyanya balik.

Aku berhenti berjalan, menatapnya heram kemudian tertawa cengengesan. Aduh, sialan dia memang tahu saja apa yang kebetulan terlintas dalam pikiran.

"Konsepsnya memang gitu, tapi lo nggak mungkin cari tahu kalau sebelumnya nggak lihat gue. Jadi, nggak salah dengan pertanyaan yang barusan gue ajukan bukan?" cetusku santai.

Dia gelagapan, bahkan tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya. Pernah aku membaca sebuah novel dimana yang seperti itu artinya seorang cowok sedang merasa gugup bukan?

Saka tak pernah melakukannya, saat melihat Riki hatiku jadi menghangat sendiri.

Hah! Barusan aku kembali membanding-bandingkan. Padahal aku tahu seberapa sakitnya berada dalam posisi seperti itu, seakan tak dianggap oleh siapa-siapa.

"Gue baru tahu kalau ternyata lo tipe cewek yang nggak mau ngalah. Fine, sejak pertama sekolah? Lo yang nganterin gue ke ruang kepala sekolah. Ah lo nggak ingat ya? Hati babang terluka," ujarnya dengan tawa.

Dih-!

Tak ku sangka dia humoris, sayang sekali kami berinteraksi pertama di hari rabu.

"Ah gitu ya? Sorry, gue emang nggak begitu suka mengingat hal yang ndak ada gunanya," sindirku.

Hal sepele seperti itu, bagaimana bisa dia masih mengingatnya? Gila, manusia memang bisa segila ini jika tertarik pada lawan jenisnya. Bukan maksud menghina namun aku juga pernah melakukan hal yang tak berguna seperti ini, dulu.

"Rupanya susah," ujarnya tiba-tiba setelah terdiam cukup lama.

"Hem?"

"Masuk ke hidup lo, susah banget. Lucunya gue suka malahan, ah rasanya aneh nggak bisa gue jabarkan," katanya membuatku kebingungan.

Setelahnya kami sama-sama diam namun kembali melanjutkan jalan dengan berdampingan juga tentunya. Sesekali dia juga bercerita tentang hidupnya, dan aku nyaman-nyaman saja.

Riki Prasetya. Nama lengkapnya, setahun lebih tau dariku dan dia memiliki seorang adik yang masih bersekolah di SMP. Perempuan, kata Riki adiknya itu cerewet sekali.

Aku menyimak saja, jujur memang dia berlebihan terkadang. Sejak kapan hubungan kami sedekat ini sampai membahas masalah keluarga? Entah, jangan tanyakan lantaran diriku pun masih kebingungan dengan kenyamanan yang dia hadirkan.

"Duduk sini aja, lo suka siomay kan? Gue beliin bentar buat camilan, mau air dingin atau yang ada rasanya?" tawarnya saat kami sudah tiba di taman.

Seperti yang dia perintahkan, aku duduk di bangku, kemudian menatap sekitar dan memang ada penjual siomay. Namun sepertinya aku tak—

"Okey mau kan? Nggak usah pakai tahu, terus sambalnya agak banyak, that's right?" tambahnya.

Aku membeku, sejauh apa dia tahu tentang hidupku hingga hal kecil bahkan diketahuinya. Meskipun kesal aku tetap mengangguk ringan, ya sudahlah mungkin memang benar harus seperti itu.

"Iya, minumannya yang ada rasa jeruknya," kataku padanya.

Dia nampak menahan tawa. "I know this, nggak usah kamu ngulang lagi," jawabnya.

Aku berdecak kesal. Ah rupanya dia itu menyebalkan huh!

"Kalau gitu ngapain tanya sih?"

Tanpa sadar, sikapnya yang terbuka membuatku ingin bersandar padanya. Tak menjawab, Riki hanya cengengesan lantas pamitan katanya akan membelikan sesuai dengan pesanan.

Dasar dia, padahal aku kan tidak memesan apa-apa namun justru ditawarkan olehnya.

"Manis," ujarku entah untuk mengekspresikan apa.

Yang jelas, meski sejenak kurasa ada kupu-kupu dalam perutku. Menggelitik hingga bibirku pun tertarik ke atas membentuk senyuman indah, mungkin.

"Bolehkah aku bahagia?"

Mendadak pertanyaan itu melintas dalam benakku.

To be continue ….