Disebuah ruangan terdapat satu sofa jaguar lengkap dengan mejanya, di sudut dari ruangan itu terdapat etalase berisi barang-barang koleksi pemilik rumah tersebut. Di sana duduklah seorang pemuda yang memakai celana denim lengkap dengan jaketnya, pemuda itu tampak kagum melihat kemewahan rumah itu.
Sesekali irisnya mengelilingi ruangan itu, melihat di sekitar dinding, terdapat hiasan dinding yang harganya melebihi harga motor miliknya. Sebelumnya, dia tak pernah masuk ke rumah mewah seperti yang ia lihat saat ini. Tampak jelas kegusaran dalam wajah pemuda itu, saat pertama kalinya pemilik itu bertanya tujuannya datang ke rumah itu.
"Mau cari siapa?" tanya pria bertubuh kekar, walau usianya tak muda lagi. Seketika pemuda itu bergedik ngeri, melihat raut wajahnya yang sangar dari pria itu. Namun, dia masih bisa mengendalikan dirinya agar tidak terlihat gugup, saat itu.
"Saya mau cari Dilara, Om," jawabnya sedikit gugup. Namun seperdetik kemudian jantungnya kembali berdegup cepat saat wanita di samping pria itu bertanya padanya.
"Kamu pacarnya anak saya, ya? Dilara?"
Seketika tenggorokannya mengering mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir wanita itu. "I-ya," jawabnya lagi, kali ini dengan menelan Slavinanya.
Dan anehnya raut wajah mereka berdua berubah ramah, dan langsung mempersilahkan dia untuk duduk. Sesaat kemudian, wanita itu meninggalkan dia dan pak Irawan, untuk memanggil gadis yang memaksa dirinya berada di tempat itu sekarang.
Seorang wanita paruh baya dengan memakai kebaya kuno, dengan kain yang dililitkan di pinggangnya datang membawa minuman, bersamaan dengan dua wanita yang wajahnya sangat mirip datang dari dalam.
Satu diantaranya adalah wanita yang menyambutnya tadi, dan satunya lagi wanita yang sangat menyebalkan baginya.
Wanita muda yang memakai dress bunga-bunga selutut itu menghampiri, seraya melempar senyum manisnya.
"Sayang, kamu sudah dari tadi, ya?" Tanpa permisi, wanita itu mencium pipi kiri dan kanannya secara bergantian, sontak membuat dirinya terkejut dan membulatkan matanya sempurna.
"Bisa gak sih, gak keku kayak gitu!" lirih wanita itu saat mencium dirinya. Surya akhirnya mengikuti sandiwara wanita itu.
"Eh..belum kok," balasnya tersenyum getir.
Dilara langsung mendaratkan bokongnya di samping Surya. Tampak jelas dari wajah kedua orangtuanya seneng melihat dia dan Surya begitu terlihat mesra, layaknya seperti pasangan kekasih beneran.
"Oh, iya? Kita belum sempat kenalan, ya kan' Ma? Namanya siapa, Ra. Pacar kamu ini?" tanya pak Irawan padanya.
"Kenalin Pa, Namanya Surya Kusuma. Keren kan'?" jawabnya memuji nama pria disampingnya, dan pemilik nama itu hanya mengangguk pasrah.
"Wah, namanya unik," balas pak Irawan. "Eh, tinggal di mana, Surya?" Kemudian bertanya lagi.
"Di Labuhan ratu dua, Pak. Belakang kantor polisi." Sekarang yang punya nama yang menjawabnya.
"Oh, disitu. Dekat kolam renang water Park berarti ya? Sama rumahnya pak Sunarso?"
Dilara langsung memberi kode, agar pria itu tidak menjawab pertanyaan papanya, karena kalau sampai papanya tahu, Surya cuma tukang ojol. Sudah pasti, akan melarangnya berhubungan dengan Surya.
"Sebelah rumahnya," jawab Dilara asal. Sontak membuat Surya menoleh kearahnya, dan hanya ditanggapi kedipan oleh wanita di sebelahnya itu.
Pak Irawan hanya mengangguk. Setelah itu mengajak istrinya untuk masuk kedalam. Karena, beliau ingin memberi kesempatan untuk mereka berbincang-bincang.
Sepeninggal orangtuanya, Dilara langsung menjauhkan bokongnya agar tidak dekat-dekat dengan Surya. Wanita itu langsung menjaga jarak.
"Gue udah tepatin janji gue ke Lo. Sekarang impas, kan'?" kata Surya menatap wajah wanita itu.
"Enak aja! Belum, lah? Lo masih harus menikah dengan gue!" tukas Dilara yang tak ingin di bantah.
"Nggak!!! Kalau soal itu, gue gak mau. Emangnya Lo pikir, pernikahan itu main-main, Hah?" tolak Surya yang sedikit kesal dengan sikap wanita cantik, di sebelahnya itu.
"Eh, siapa juga yang mau mainin pernikahan. Kita nikah beneran, lah. Gitu aja, kok repot," ketusnya lagi dengan menelangkupkan tangannya ke dadanya.
"Terus, kalau gak main-main apa coba namanya? Menikah itu harus saling mencintai antara dua belah pihak. La kita? Baru juga ketemu," gerutu Surya yang tetap menolak menikahi Dilara.
"Eh, lagian gak semua kok pasangan menikah karena cinta. Ada yang cuma kenal sehari langsung menikah, karena mereka menghindari perzinahan. Lagian, pacaran setelah menikah itu lebih asyik, kok! Katanya." Seketika Surya mendelik sebal mendengar omongan Dilara.
Suasana menjadi hening, mereka sedang bermain dengan pikirannya masing-masing.
Dilara.
Bagaimana mungkin dia bilang seperti itu pada Surya, kalau dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya tadi. Tapi, ya sudahlah, bodoh amat. Yang penting, dia tidak jadi di nikahkan dengan anak dari teman papanya itu. Dan setidaknya, Surya layak lah untuk di jadikan suami pura-puranya. Lumayan ganteng, jadi gak malu-maluin kalau diajak jalan. Tapi, apa dia bisa mengimbangi gaya hidup Surya yang di bilang pas-pasan. Secara, selama hidupnya dia selalu di manja oleh apa yang di miliki orangtuanya.
Surya.
Pria itu tampak berfikir, benar juga apa yang di katakan Dilara. Banyak kok, di luaran sana pasangan yang menikah tidak di landasi oleh cinta. Toh, mereka tetap langgeng. Justru kelihatan bahagia, karena nikmatnya pacaran setelah menikah. Tapi, tunggu dulu! Dia berbeda dengan Dilara, yang notabenenya anak orang kaya. Sedangkan dia, hanyalah seorang pegawai cafe yang merangkap menjadi ojol. Apalagi, pernikahan mereka nantinya sudah di landasi dengan kebohongan.
"Ya udah, gue pamit, deh. Salam buat orangtua Lo. Assalamualaikum," pamitnya pada Dilara. Saat dia hendak menarik diri dari tempat duduknya, Dilara menarik tangannya hingga dia kehilangan keseimbangan, dan jatuh tepat di atas tubuh wanita itu. Iris mereka bertemu, Surya bisa melihat dengan jelas wajah ayu Dilara, bulu matanya yang lentik dan ranum bibirnya yang merah, seketika jantungnya berdetak hebat. Pun dengan Dilara, dia bisa melihat dengan jelas wajah tampan milik Surya. Alisnya yang tebal, hampir menyatu. Ada tahi lalat kecil di dekat bibir pria itu menambah kesan seksi. Lama mereka saling menatap, hingga Surya yang lebih dulu sadar.
"Apaan lagi?" salaknya, seraya menarik diri dari tubuh Dilara.
"Besok kita ketemuan, kita bahas masalah ini lagi," sahut Dilara seraya merapikan pakaiannya.
"Hmmm. Ya udah gue pulang. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Dilara mengamati punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu. Bagaimana bisa, perasaannya tak karuan pada Surya hanya karena mereka saling memandang. Sebelumnya, dia tak pernah merasakan hal itu. Namun, segera dia pergi dari ruangan itu untuk menetralkan perasaannya yang mulai kacau. Dia memilih pergi ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat sayup-sayup mendengar obrolan orangtuanya di kamarnya.
"Pa, sepertinya Surya itu pria yang baik. Maka suka dengan dia," ucap Bu Yuni memuji Surya.
"Hmmm Mama ini, baru juga ketemu udah punya spekulasi sepeti itu. Banyak Ma, di luaran sana yang tertipu dengan penampilan seseorang. Papa, sih belum seratus persen suka," kata Pak Irawan yang bertolak belakang dengan istrinya.
"Tapi Pa, beda Pa. Cara ngomongnya aja sopan."
"Udah-udah Ma. Tidur, besok kesiangan sholat subuhnya."