"Sebenarnya ... itu hanyalah alasan Endra saja, agar tidak ada lagi perempuan yang berani menyatakan perasaannya pada Endra." Bu Mirna masih berusaha menceritakan masa lalu anaknya itu pada Sarah.
"Syarat yang Endra ajukan untuk memiliki pacar yang berasal dari ibu kota jelas saja akan terdengar sangat mustahil, karena mereka semua tinggal di daerah yang sangat jauh dari kota besar itu. Hingga tahun demi tahun pun berjalan dengan pasti, dan Endra tetap mengatakan pada semuanya kalau dia selalu berkeinginan untuk hanya memiliki pacar yang berasal dari kota." Bu Mirna tertawa kecil. Ucapan Endra yang satu itu bahkan selalu diucapkan Endra pada hampir semua orang yang dikenalnya, yang menyayangkan sikap Endra yang tetap menjomblo walaupun banyak gadis cantik yang mengantri untuk jadi pacarnya, sampai akhirnya Endra bertemu Sarah.
"Sekali pun, Endra tidak pernah berusaha mengutamakan kebahagiaannya sendiri. Dia selalu dan selalu saja mementingkan kebahagiaan orang lain dibanding apapun. Tapi itulah yang Endra harapkan. Karena baginya, arti kebahagiaan adalah ... saat dia bisa melihat orang lain bahagia. Maka dia juga akan ikut merasakan kebahagiaan itu."
Bu Mirna memberikan seulas senyum bangga mengenang ceritanya pada sosok Endra yang menurutnya begitu luar biasa itu. Meskipun di sisi lain, Bu Mirna juga harus menelan kesabaran saat melihat anaknya berkorban banyak hal untuk kebahagiaan orang lain.
"Ibu tahu, sejak dulu Endra memang seperti itu. Padahal dulunya Ibu juga sering meledek Endra dengan sebutan manusia berkekuatan paling lemah sedunia." Bu Mirna sempat melirik Sarah sekilas sembari tersenyum tipis.
Kemudian melanjutkan, "Karena maksud Ibu ... saat Endra mulai berteman dengan seseorang, dia tidak akan pernah berhenti untuk mencemaskan orang-orang yang sudah menjadi temannya itu. Dia tidak pernah berhenti merasa khawatir teman-temannya akan terluka karena sesuatu. Atau pada saat teman-temannya itu bersedih, Endra akan langsung menunjukkan sisi lemahnya yang semakin bertambah. Seolah-olah mereka semua adalah orang-orang yang sangat berharga dalam hidup Endra, sehingga tidak boleh ada sesuatu hal pun yang bisa membuat hati mereka terluka. Jadi karena itulah Ibu sering meledek Endra lemah. Karena hal-hal yang melemahkan Endra sebagai manusia yang tidak pernah berhenti mencemaskan orang lain justru membuat Endra tidak bisa sekalipun mencoba untuk bersikap egois."
Bu Mirna ingat sekali kejadian saat Endra sangat menantikan acara wisata sekolah yang diadakan SMA. Saat itu, salah satu teman Endra yang memiliki fisik lemah dan tidak terbiasa bepergian jauh menggunakan bis yang disewa sekolah, tiba-tiba saja mengalami mual-mual tak tertahankan dan harus beristirahat total di penginapan. Sehingga waktu yang seharusnya dihabiskan untuk bersenang-senang selama wisata itu, justru Endra habiskan dengan menemani temannya.
Saat adik-adik Endra menanyakan bagaimana wisata sekolah yang sudah Endra nanti-nantikan itu, dengan enteng Endra malah menjawab kalau itu menyenangkan. Dia menceritakan kejadian mengobrol dengan temannya yang sakit itu sepanjang hari. Betapa melihat temannya yang sakit tetap bisa riang meskipun tidak bisa ikut ke acara satu pun yang diadakan sekolah. Seolah-olah keriangan temannya itu adalah tanggung jawab besar yang harus Endra pikul, dan dia sama sekali tidak keberatan soal itu. Meskipun harus menekan keinginan yang sebenarnya bahwa Endra sangat mengharapkan bersenang-senang selama acara wisata itu.
"Dan kamu tahu, Sarah, apa yang paling menggelikan dari semua itu?" Bu Mirna melempar pertanyaan pada Sarah seolah-olah Sarah berminat pada cerita yang sudah Bu Mirna ceritakan sejak tadi. Tentu saja Sarah tetap bergeming. Raut wajahnya bahkan tidak berubah sedikitpun.
"Padahal sudah melakukan banyak hal baik untuk semua orang yang ditemuinya, tapi dengan bodohnya, Endra justru tidak pernah menyadari perbuatan baik yang telah dilakukannya itu. Endra malah selalu menganggap dirinya tidak berguna untuk orang-orang di sekitarnya. Itu sangat menggelikan bukan?" Bu Mirna tidak bisa menyembunyikan tawa kecil saat mengatakan itu.
"Dan seperti halnya kebahagiaan orang lain yang akan membuat Endra bahagia. Kesedihan orang lain pun akan berakibat sama. Endra akan ikut merasakan kesedihan yang orang lain rasakan. Terlebih, meskipun Endra akan selalu menerima apapun perlakuan orang terhadapnya, tapi saat Endra mengetahui ada ketidak-adilan yang orang lain terima, maka Endra akan menjadi orang pertama yang bertindak di luar kebiasaannya itu, demi bisa memperjuangkan keadilan yang seharusnya didapat oleh orang yang berhak menerimanya." Bu Mirna sudah sampai pada ujung ceritanya yang membuatnya ingin mengubah keadaan menyedihkan yang sedang dirasakannya sekarang.
"Saat ada orang yang terluka karena sesuatu, dan Endra mengetahui luka itu, maka Endra juga akan merasakan luka dan penderitaan yang sama seperti yang orang itu rasakan. Apalagi jika orang itu adalah orang yang sangat berharga bagi Endra. Seumur hidupnya, Endra selalu dan selalu saja mengutamakan orang lain dibanding dirinya sendiri. Maka dari itu, Endra sudah banyak merasakan kesedihan yang orang-orang rasakan selama ini. Tapi... " Suara Bu Mirna tiba-tiba bergetar.
"...melihat apa yang terjadi pada Endra sekarang, Ibu rasa ... ini sudah cukup kelewatan. Ibu jadi tidak tega ... melihat tangisan diam-diam yang Endra keluarkan. Jadi ... meskipun ini terdengar egois, tapi ... Ibu mohon sama kamu. Tolong ... tolong jangan buat Endra semakin menderita lebih dari ini. Seberapapun dia sanggup menanggung semuanya, tapi sejujurnya hatinya itu sangat rapuh. Endra bisa terjebak dalam penderitaan yang semakin dalam dan hatinya bisa hancur kapan saja. Jadi Ibu mohon ... bantulah Endra keluar dari penderitaan ini." Bu Mirna sudah terisak saat mengatakan permohonannya itu pada Sarah.
Sebagai orang yang melahirkan dan membesarkan Endra dan sangat mengenal Endra lebih dari siapapun, Bu Mirna tidak bisa lagi tinggal diam melihat anaknya itu begitu terjebak dalam penderitaan yang belum menemui pangkalnya ini. Jadi, entah apa yang telah dilakukan Bu Mirna ini tepat atau tidak, dia hanya ingin Sarah tahu. Kalau sekarang ini, Sarah tidak bisa menderita sendirian. Akan selalu ada Endra yang juga menanggung penderitaan sama seperti yang Sarah rasakan.
Setelah berhasil menceritakan semuanya pada Sarah, tangis Bu Mirna pun akhirnya pecah. Bu Mirna pun tak kuasa menahan perasaan sedihnya yang selalu ditahannya kuat-kuat melihat apa yang sedang terjadi pada anak dan menantunya itu.
"Ibu tahu ... cuma kamu yang bisa mengeluarkan Endra dari kesedihan ini. Setidaknya, sekali saja ... tolong ... tolong biarkan Endra memiliki kebahagiaannya sendiri." Bu Mirna masih mengucurkan air mata saat memohon pada Sarah.
Selama beberapa hari ini, Bu Mirna sudah berusaha menahan perasaannya untuk tetap membiarkan Endra seperti itu, karena toh Endra memang selalu seperti itu. Tapi kali ini, Bu Mirna sudah tidak sanggup lagi. Saat melihat Endra menyiapkan makanan sambil bercucuran airmata seperti tadi, sebagai seorang ibu, dia merasa harus melakukan sesuatu, atau Endra akan semakin jatuh pada kesedihan yang lebih dalam dari ini.
Maka, untuk mencegah hal menyedihkan itu terjadi, Bu Mirna pun memutuskan untuk menceritakan masa lalu Endra pada Sarah. Agar Sarah tahu, laki-laki seperti apa yang sudah menjadi suaminya itu. Agar Sarah setidaknya paham kalau ada orang yang akan sangat menderita hanya karena dirinya juga menderita. Agar Sarah tidak lagi memikirkan bahwa hanya dirinyalah satu-satunya orang yang menderita di dunia ini. Agar Sarah setidaknya ... untuk sebentar saja, memikirkan sedikit perasaan Endra.