Bu Mirna sangat tahu, alasan dibalik semua penderitaan yang Endra rasakan disebabkan oleh Sarah seorang. Jadi, dengan berbicara seperti ini pada Sarah, meskipun Bu Mirna bisa merasakan penderitaan Sarah mungkin lebih besar dari apa yang bisa dibayangkannya. Tapi tetap saja, Endra akan selalu ikut merasakan penderitaan yang sama.
Seolah-olah dengan memohon seperti tadi, Bu Mirna berharap Sarah lebih bisa menata hatinya sedikit saja. Karena Bu Mirna tahu, Endra mencintai Sarah, maka dengan kadar perasaan yang kuat seperti itu, bukan tidak mungkin Endra akan menenggelamkan dirinya dalam kubangan penderitaan yang tak memiliki dasar, hingga mungkin Endra tidak akan tahu caranya naik ke permukaan dan selamanya tenggelam di sana.
"Kamu bisa kan, Sarah. Sedikit saja memikirkan perasaan Endra meskipun Ibu tahu perasaan kamu sendiri juga menderita?"
Bu Mirna tahu betul permintaan tadi terdengar sangat egois. Tapi biarlah. Setidaknya ... biarkan keegoisan seorang ibu yang tidak tahan melihat anaknya menderita seperti itu terlampiaskan.
Dan lagi, bukankah penderitaan bukan hanya milik satu orang saja? Ada begitu banyak orang di dunia ini yang juga mengalami penderitaan dan mereka tetap harus melanjutkan hidup. Toh, matahari tidak akan pernah mengajukan cuti untuk berhenti menyinari dunia meskipun Sarah sedang menderita. Dunia dan seisinya tetap bergerak dan menjalani tugasnya tanpa pernah peduli siapa orang yang sedang merasakan penderitaan.
Setelah cukup lama menangis di samping Sarah, Bu Mirna pun memutuskan untuk bangkit dari ranjang. Barangkali Endra sudah selesai menyiapkan sarapan dan akan segera datang. Bu Mirna harus cepat-cepat pergi dari kamar ini.
"Ibu minta maaf sudah mengatakan hal-hal yang egois sama kamu," kata Bu Mirna pelan. "Hanya saja ... tolong ingat baik-baik permintaan Ibu tadi, dan jangan biarkan Endra menderita lebih dari ini," pungkasnya sebelum akhirnya langkah kaki Bu Mirna mulai beranjak meninggalkan kamar.
Tugas seorang ibu sudah selesai untuk sementara ini. Entah apa yang akan dilakukan Sarah, tapi setidaknya Bu Mirna perlu memberitahukan keadaan Endra di belakang Sarah. Barangkali selama ini Sarah tidak pernah sadar keberadaan Endra yang selama ini selalu berputar di sisinya. Barangkali setelah Bu Mirna mengatakan hal-hal tadi, Sarah akan berterima kasih karena selama ini dia sudah dibutakan oleh penderitaan tanpa pernah peduli orang-orang yang ada di sekitarnya.
Saat akhirnya Bu Mirna keluar dari kamar, rupanya tanpa dirinya duga, di samping pintu, sudah ada Endra yang berdiri mematung sembari membawa nampan berisi makanan. Wajahnya tampak pucat dan tidak berani menatap mata ibunya.
Bu Mirna memang terkejut melihat kehadiran anaknya yang rupanya sudah ada di balik pintu kamar ini. Tapi ... Bu Mirna juga tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Hingga akhirnya, dia pun memutuskan untuk beranjak meninggalkan Endra yang tetap diam tertunduk tanpa berniat mengatakan sepatah katapun.
***
Endra tidak tahu sudah berapa lama ibunya berada di kamarnya itu, berbicara dengan Sarah. Hanya saja, saat Endra sudah selesai menyiapkan sarapan dan akan segera masuk, tiba-tiba ucapan ibunya terdengar.
"...melihat apa yang terjadi pada Endra sekarang, Ibu rasa ini sudah cukup kelewatan. Ibu jadi tidak tega melihat tangisan diam-diam yang Endra keluarkan. Jadi meskipun ini terdengar egois, tapi Ibu mohon sama kamu. Tolong ... tolong jangan buat Endra semakin menderita lebih dari ini."
Ya Tuhan, Endra lupa. Dia sudah melupakan keberadaan orang-orang di sekitarnya yang juga ikut merasakan kesedihan yang sedang dirasakannya.
Selama ini, hatinya mungkin terasa sesak. Dan entah bagaimana, akhir-akhir ini Endra sudah lupa caranya tersenyum. Dia ... bahkan sudah lama tidak berbicara pada keluarganya.
Ibu, ayah dan kedua adik Endra pasti sudah menyadari apa yang sedang menimpanya sekarang. Dan hal itu ... tentu saja akan membuat mereka ikut merasakan kesedihan yang pasti terlihat jelas pada wajahnya. Tapi ... kenapa Endra sampai melupakan keluarganya saat semua hati dan pikirannya hanya terfokus pada Sarah seorang.
Ctak!
Pintu kamarnya terbuka. Meski Endra masih dibayangi perasaan bersalah itu, tapi dia bisa merasakannya. Ibunya menangis. Ibunya juga sedang menatapnya dalam tangisan tertahan.
Ya Tuhan. Apa yang sudah Endra perbuat selama ini? Kenapa dia begitu bodoh membiarkan orang-orang di sekitarnya merasakan kesedihan yang sedang dirasakannya ini?
Selama ini, hidup Endra hanya berkutat pada impian bodoh tentang pasangan yang berasal dari kota. Meski sejauh yang Endra ingat, dirinya selalu saja mendapat banyak pertentangan dari orang-orang disekitarnya.
Seperti, "Mau sampai kapan sih, Ndra, kamu keras kepala kayak gini? Sampe pengen punya calon istri dari kota segala?"
"Emangnya gadis-gadis di sini kalah cantik apa, Ndra, sampai rela ngejomlo cuma buat dapet calon istri dari kota?"
"Endra, Endra, kamu ini aneh. Gadis-gadis banyak yang ngantri buat jadi istri kamu, tapi kamu malah mikirin gadis kota yang sama sekali nggak ada di sini."
"Udah, Ndra, berhenti nyari-nyari gadis kota. Nikah aja sama anak saya. Cantik, pintar masak, penurut dan sekolahnya juga tinggi. Jadi cocok banget sama kamu, Ndra."
Entah kenapa Endra tidak pernah meladeni ucapan orang-orang dan tetap pada pemikiran konyolnya untuk hanya mendapatkan istri dari kota. Meski kini Endra bersyukur dirinya tetap konsisten pada prinsipnya itu, dan akhirnya menikahi Sarah, tapi di luar itu, tidak ada satu hal pun yang Endra lakukan selain bermain-main dengan kehidupannya yang tidak pernah memberikan manfaat apapun pada orang lain.
Endra hanya menjalani dua puluh lima tahun hidupnya dengan menjadi manusia yang tidak berguna bagi siapapun. Kehadirannya selalu dan selalu saja menyusahkan orang lain. Dan tidak memberi manfaat apapun. Entah itu Sarah, keluarganya, orang-orang di sekitarnya, selama ini Endra hanya terus menempel bersama mereka tanpa memiliki arti apa-apa.
Bahkan penderitaan Sarah yang dia bilang akan ikut menanggungnya, nyatanya tidak memberikan dampak apapun untuk Sarah. Sarah justru terlihat semakin menderita. Dan kini, ibunya juga ikut mengalami kesedihan yang sama, dan semua itu dikarenakan olehnya.
Ya Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa dirinya begitu bodoh dan teramat tidak berguna?
Endra masih menundukkan wajahnya dalam-dalam meskipun ibunya sudah meninggalkannya. Dia terus saja menyalahkan dirinya dan termenung di depan pintu sampai kemudian telinganya mendengar suara tangis.
Endra jelas sangat mengenal suara tangisan itu. Dan suara itu berasal dari dalam kamarnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Endra bergegas masuk. Rupanya benar, suara tangis itu dihasilkan oleh Sarah. Perempuan itu sedang duduk sembari memeluk lutut dan menumpukan kepalanya diatas lutut sembari menangis tersedu-sedu.
Nampan yang masih dipegangnya, Endra letakkan di atas meja, kemudian dengan perlahan ... dia mulai mendekati Sarah. Mendengar Sarah menangis seperti itu, entah kenapa membuat kelopak mata Endra terasa panas. Tanpa bisa dicegah, butiran air mata dari balik kelopak mata Endra pun mulai berguguran keluar.
Endra benar-benar merasa sangat tidak berguna. Dia naik ke atas ranjang dan bergerak mendekati Sarah untuk kemudian dibawanya tubuh Sarah ke dalam pelukannya.
Hanya ini, hanya hal tidak berguna seperti ini yang bisa Endra lakukan untuk Sarah.