webnovel

Bree: The Jewel of The Heal

Brianna Sincerity Reinhart, putri seorang Duke yang mengepalai Provinsi Heal di Negeri Savior. Suatu hari, Bree menyelamatkan seorang wanita yang berasal dari negeri Siheyuan, sebuah negeri yang merupakan negara sahabat kerajaan Savior. Bree membawa wanita tersebut ke kediaman keluarga Reinhart dan malangnya wanita itu mengalami amnesia dan hanya mengingat kalau dia biasa dipanggil Han-Han. Ternyata wanita tersebut memiliki kemampuan pengobatan tradisional yang sangat mumpuni, sehingga Duke Reinhart memintanya untuk menjadi tabib muda di Kastil Heal. Sejak kehadiran Han-Han Bree mulai semangat menekuni dunia obat-obatan dan menjadi lebih terarah. Bree menjadi rajin untuk memperbaiki diri karena ingin mendapatkan keanggunan seperti Han-Han. Di saat Kaisar Abraham, pimpinan negara Savior, mengadakan kerjasama dengan Siheyuan, mereka menerima delegasi yang dikirimkan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuan Muda Lacey, seorang jenderal perang yang masih muda, tampan, tangguh namun minim ekspresi. Bree langsung menyukai pria tersebut saat pertama kali mencuri pandang pada Tuan Muda Lacey tersebut. Bree yang mempunyai perangai terbuka dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Yue Lacey namun penolakan adalah yang menjadi santapannya. Puncaknya adalah saat Yue Lacey bertemu si anggun dan cerdas Han-Han. Tuan Muda tersebut tidak menutupi ketertarikannya dan itu membuat Bree sangat tersakiti. Haruskah Bree mengalah demi Han-Han yang menjadi sumber inspirasinya? Haruskah dia melepaskan pria idamannya, Yue Lacey? Kisah berawal di provinsi Heal. Apakah nama provinsi ini akan sesuai dengan pengharapannya, penyembuh. Ini kisah lika-liku Bree dalam mencari peraduan cintanya. Kisah ini bukan hanya mengajarkan mengenai mengejar dan mempertahankan cinta karena tingkat tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Siapakah yang akan mengikhlaskan, Bree atau Han-Han?

Pena_Bulat · Geschichte
Zu wenig Bewertungen
48 Chs

Azlan, pangeran pewaris tahta

"Kemarilah, Azlan!" Azlan mendekat pada sang ayah, Kaisar Abraham. "Berapa usiamu sekarang?"

"Tujuh, Ayah."

"Hmm. Kau ingat apa posisimu?"

Azlan mengangguk mantap, "Putra mahkota Savior, calon pewaris tahta Kaisar Abraham."

"Bagus. Kau terdengar bersemangat sekali, Pangeran." Kaisar Abraham mendudukan Azlan di pangkuannya. "Sebagai seorang calon pewaris, Ayah ingin kau belajar banyak hal."

"Bersama Bree dan Leon?"

"Hei, kau selalu menyebutkan Bree. Pangeran menyukainya?"

"Kami bersahabat, Ayah. Mereka berdua adalah sahabat terbaikku. Kami melakukan banyak hal bersama."

"Hmm. Hanya itu?" Kaisar Abraham mengerling jahil pada putranya yang mulai tersipu. "Hei, ada yang malu-malu." Kaisar Abraham tersenyum geli melihat ekspresi putranya. "Azlan menyukai Bree?" Azlan mengangguk. "Sepertinya Ayah dan Paman Rein harus lebih serius membahas ini mulai sekarang."

"Maksud Ayah?" Azlan tidak memahami perkataan ayahnya.

"Artinya..." Abraham sengaja menggantung suaranya sehingga membuat Azlan semakin penasaran. "Kalian bertiga akan menikmati banyak petualangan bersama."

Azlan sontak melompat dari pangkuan Abraham. Matanya berbinar menatap sang ayah. Raut penuh bahagia itu turut menularkan senyum pada Kaisar Abraham.

"Kau senang?"

Azlan mengangguk mantap. "Senang sekali."

"Kau sangat menyukai Bree?"

Azlan kembali mengangguk. "Sangat suka."

"Kalian mau menikah?"

Sampai di sini Azlan tercenung dan menatap ayahnya penuh kebingungan. "Menikah?"

Melihat ekspresi bingung Azlan membuat Kaisar Abraham tergelak sehingga Azlan semakin mengerenyitkan dahinya.

"Someday you'll understand it, Son." Abraham menepuk bahu Azlan. Detik berikutnya ayah dan anak itu dikejutkan sebuah teriakan.

"Azlan! Kembalikan pena buluku!" Bree langsung meneriaki Azlan saat dia melihat sosok yang menjadi sumber kekesalannya sejak kemarin.

"Bree! Perhatikan tata kramamu! Beri salam pada Yang Mulia Kaisar!" Bree membekap mulutnya saat menyadari bahwa Azlan sedang bersama ayahnya. Kekesalannya yang telah memuncak membuat gadis itu hanya terfokus pada sosok Azlan dan kehadiran Abraham seolah tak terlihat.

"Salam Yang Mulia Kaisar. Maafkan ketidak sopanan hamba!" Bree memberi salam dan menundukkan kepalanya di hadapan Abraham.

"Kemarilah, Bree!" Bree berjalan mendekat pada Abraham. Kaisar tiga puluh tahunan itu merangkul pundak Bree sebelum berjongkok menyejajarkan tinggi mereka. "Azlan mengganggumu lagi?" Bree hanya mengangguk. "Barang apa yang diambilnya darimu?"

"Azlan menyembunyikan pena buluku. Bree sampai tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. Bree pasti dapat hukuman siang ini sebab tidak menyelesaikan tugas, dan ini semua gara-gara Azlan."

Bree dengan lancar menyampaikan semua kekesalannya pada Abraham dan dibalasi kaisar itu dengan anggukan kepala dan senyum tipis.

"Jadi, apa yang harus Azlan dapatkan? Kita mesti menghukumnya?"

"Yang Mulia ..."

"Paman!" Potong Abraham. Dia memilih untuk dipanggil menggunakan sapaan kekeluargaan oleh mereka yang masih memiliki hubungan keluarga.

"Ah, iya. Bree lupa." Ujar gadis kecil itu sambil memamerkan deretan gigi putihnya. "Paman Ab benar sekali. Azlan harus mendapatkan hukuman."

"Enak saja. Bukankah kau yang lebih dulu mematahkan pena buluku. Itu sebabnya aku mengambil punyamu."

Bree langsung membalikkan badan dan menatap serius pada Azlan. "Itu karena kau mencoret-coret bukuku."

"Tapi kau juga menjelekkanku di depan murid-murid yang lain." Azlan kembali membalas perkataan Bree dengan sengit.

"Aku mengatakan kebenarannya. Kau memang suka usil dan mengganggu murid-murid sekolah. Hampir semua murid telah kau ganggu. Putra perdana menteri bahkan sempat takut untuk ke sekolah karena selalu kau ganggu."

Abraham membelalakan matanya mendengar perkataan Bree. Dia mengetahui tentang kenakalan dan kejahilan Azlan. Namun dia belum mendengar perihal anak perdana menterinya itu.

"Azlan! Itu semua benar?"

Azlan menunduk dan tidak berani menatap ayahnya. Bree tersenyum penuh kemenangan.

"Itu...itu karena err..." Azlan berusaha mencari alasan yang tepat untuk tindakannya. Ayahnya tidak pernah memberi hukuman pukulan ataupun makian. Namun, hukuman dari ayahnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Kalau boleh memilih, Azlan lebih baik dihukum berlari ataupun memberi makan kuda serta hukuman fisik lainnya.

"Azlan tidak suka dengan sifat Ashad yang terlalu lemah, Ayah. Sifat dan namanya tak sejalan. Itu sebabnya aku ingin Ashad menjadi seperti namanya. Dengan aku memberi sedikit gangguan, Ashad mungkin akan memiliki motivasi untuk meningkatkan kemampuan mempertahankan dirinya."

Abraham kembali mengalihkan fokusnya pada Bree. "Bagaimana dengan Ashad sekarang?"

"Memang sih sekarang ini Ashad menjadi lebih bersemangat setelah empat hari berturut-turut mogok datang ke sekolah. Kalau saja Azlan bukan seorang pangeran, mungkin saja Perdana Menteri Hazard sudah mengikatnya di tengah hutan."

"Hmm...sepertinya bukan usulan yang buruk. Bree, kau setuju kalau kita ikat dan tinggalkan Azlan di tengah hutan?"

"Ayah!" Azlan menyuarakan keberatannya.

Bree nampak berpikir setelah mendengar perkataan Abraham. Berbagai bayangan terlintas di pikirannya. Dia membayangkan Azlan yang terikat di pohon akan menjerit-jerit setelah ditinggalkan sendirian. Bayangan Azlan yang kemudian didatangi hewan buas tapi karena dalam keadaan terikat tak bisa membela diri. Bree mulai terbayang hal buruk yang akan menimpa Azlan. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, tidak, tidak, Yang Mulia. Itu tidak benar."

"Kau takut Azlan akan dimangsa hewan buas?" Bree mengangguk cepat. Bagaimana pun, Azlan adalah sahabatnya.

Ayah Bree, Tuan Reinhart, yang sedari tadi hanya menjadi penonton, tersenyum ke arah Abraham.

"Rein, sepertinya kita akan memiliki pembicaraan serius." Abraham berjalan ke arah Reinhart meninggalkan dua bocah yang berdiri dalam kebengongan.

"Apapun pengaturan Yang Mulia, saya akan mengikutinya."

"Kau sudah melihat bukti di depan matamu, Rein. Jadi, tentu saja kau tidak bisa melayangkan keberatan." Dua pria dewasa itu kompak tertawa dan mengabaikan dua bocah yang tambah bingung.

"Kemarilah, Bree!"

"Kemarilah, Azlan!"

Kedua ayah itu memanggil putra-putri mereka untuk mendekat.

"Azlan, Paman Rein akan segera menjadi Duke Reinhart dan meminpin wilayah Heal..."

"Ab..." Reinhart menunjukkan nada keberatannya.

"Ini keputusan final, Rein. Aku tau kau memikirkan perasaan William. Tetapi, aku lebih memirkan nasib rakyat. Aku melihat sesuatu yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata tentang sesuatu dalam seorang William dan itu tidak akan baik bagi kelangsungan Heal." Abraham menatap Reinhart tepat di kedua matanya.

"Kau tak perlu khawatir, Rein. Aku yang akan memberi penjelasan pada William. Sekarang segera persiapkan keberangkatan kalian ke Provinsi Heal." Tanpa menunggu jawaban Reinhart, Abraham menoleh pada putranya.

"Azlan, kau adalah calon pewaris tahta. Pelajarilah banyak hal di luar sana. Paman Rein akan mengaturnya untukmu." Abraham kemudian berpaling pada Bree.

"Bree, mulai hari ini petualangan baru kalian akan dimulai. Provinsi Bulwark mungkin bisa menjadi tujuan pertama kalian. Bree masih menyukai pedang, kan?" Bree mengangguk cepat. "Bagus. Segera temui Leon. Katakan padanya untuk bersiap menghadapi petualangan besar! Azlan, kau juga bersiap!" Kedua bocah itu mengangguk dan langsung pamit dari hadapan dua pria dewasa itu.

"Kita benar-benar harus menyiapkan ini dengan baik, Rein. Katakan pada Fredella untuk tidak terlalu keras pada Bree."

"Itu adalah cara Fredella mengungkapkan kasih sayangnya. Azlan dan Leon juga tak pernah lepas dari kritikan Fredella."

"Kau benar, Rein. Bagaimana pun, Will dan aku sangat berhutang pada pendampingan Fredella untuk putra-putra kami."

"Posisimu masih tetap tak tergantikan hingga saat ini, Bree. Wanita itu cantik, tetapi tidak menimbulkan getaran seperti saat aku bersamamu." Azlan bermonolog dalam hati sambil memandang Bree yang sedang berbincang ringan dengan Han-Han.