webnovel

B5 - Angry

*****

Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Danica sudah bersiap siap akan segera menuju keruang rapat namun saat ia membereskan buku bukunya sempat matanya mengerling kearah Amel yang masih menatapnya dengan tajam.

Beberapa detik kemudian Danica tersenyum miring lalu kembali fokus pada buku bukunya kemudian ia berdiri dengan tas pada bahunya, matanya sempat kembali menatap Amel yang masih menatapnya dengan nyalang.

"Aku duluan, karena ada rapat."

Danica berpamitan pada teman temannya lalu berjalan keluar dari kelas dengan kekehan kecil, hal paling menyenangkan adalah melihat Amel kesal. Hanya itu yang ada dalam benaknya selama sekolah.

Danica menatap ruangan didepannya dengan bingung, suara riuh terdengar dalam rungunya dengan begitu menyebalkan. Ia langsung melangkahkan kakinya masuk seketika suasana langsung hening kemudian semua tersenyum ramah keculi Dalton dan teman seangkatannya.

"Jika sudah berkumpul semua ayo kita mulai rapatnya untuk mempersingkat waktu." Ucap Dalton sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam semua project ini, Danica pun langsung menerima beberapa lembar hasil rapat sebelumnya dari Ervin.

"Jadi kita akan melakukannya di beberapa tempat untuk pengambilan take dan disitu sudah tertera tempatnya jadi jika ada dari kalian yang ingin mengganti tempatnya lalu memberi saran tempat lain kita akan mendiskusikannya karena waktunya sudah tidak banyak lagi jadi ayo segera lakukan semuanya mulai minggu depan." Ucap Dalton.

"Baik Kak."

"Ah iya untuk Danica dan Haidar kita akan menunggu gerakannya sampai hari kamis besok." Ucap Dalton, Haidar hanya menjawabnya dengan patuh lalu Danica hanya berdehem dan menganggukkan kepalanya.

Danica masih fokus pada kertasnya dan tema yang diberikan pula, beberapa ide sudah mulai muncul pada otak Danica namun keadaan seketika berubah riuh saat Dalton mulai membahas waktu luang untuk pengambilan takenya.

"Berhenti bercanda atau rapat tidak akan selesai."

Dalton menatap dengan geram mencoba menahan amarahnya lalu semuanya pun terdiam namun tidak bertahan lama mereka kembali riuh bahkan kini terdengar beberapa tawa menyebalkan.

Dalton yang akan kembali membuka suaranya dan terlihat mengeras pada rahangnya pun terhenti saat sebuah kertas rapat terlempar ditembok, semua mata langsung menatap kearah sang pelempar.

"Danica? Hei hei ayo jauhkan apapun itu yang menurut kalian berbahaya, sembunyikan barang barang kalian."

Semua pun langsung menurut namun tidak banyak dari mereka yang bingung akan tindakan Bara dan juga kemarahan Danica yang bahkan ia hanya terdiam.

"Danica?" Dalton mencoba memanggil Danica karena ia hanya diam tanpa berkata namun saat Ervin akan menyentuh bahunya suara Danica kembali terdengar.

"Mau sampai kapan kalian akan bersikap seperti kanak-kanak yang hanya tahu bermain dan bermain."

"Dan berhentilah mengoceh seperti burung, tahu artinya serius? Tahu mana waktu serius dan bercanda bukan? Kalau memang belum tahu aku bisa membicarakannya dengan guru Song untuk membatalkan projek tak berguna ini."

Danica langsung berdiri dari duduknya lalu melangkah keluar dari ruangan berniat untuk tidak melanjutkan rapatnya namun naas knop pintu kayu itu seketika rusak saat Danica menariknya cukup keras untuk menyalurkan emosinya.

"Aiisshh…"

Danica hanya menggerutu sebal lalu kembali membuka pintunya karena tadi sempat tertutup lagi, setelah terbuka ia langsung berjalan tergesa untuk menghindari luapan emosinya lagi.

"Ayo kita fokus lagi."

Dalton mencoba kembali mengulangi rapatnya namun Bara memilih keluar dari ruang rapat untuk menyusul Danica dan menyisahkan Ervin dan anggota yang lain.

Beberapa anggota terlihat kurang fokus karena terkejut dengan sikap Danica yang menurut mereka berubah 180 derajat. Karena pertemuan pertama mereka dengan Danica cukup baik dan terkesan jika dia adalah orang yang cerewet tidak bisa dia namun hari ini mereka disadarkan jika ada sisi lain dalam diri Danica yang tidak ditunjukkan pada orang lain.

*****

Danica menatap bangunan didepannya dengan senyum tipisnya, sudah sekitar dua bulan ia tidak menampakkan kaki dibangunan besar itu. Dengan menghela nafasnya dengan berat lalu langkahnya mulai melangkah satu demi satu memasuki bangunan itu.

Sengaja ia meninggalkan tempat rapat untuk sampai dibangunan besar itu, selain karena untuk melepaskan amarahnya untuk tidak terluapkan pada orang lain. Ia datang ketempat itu juga karena sudah memupuk akan rindu.

Langkahnya jelas terlihat begitu berat, ia pun langsung berhenti saat tepat berdiri didepan sebuah kaca besar dengan banyak sekali foto dan guci guci besar beserta nama masing masing orang.

Danica pun menatap dengan senyum tipisnya, sebuah foto yang memperlihatkan seorang wanita dengan menggendong bayi perempuan lucu dengan senyum bahagianya. Danica jelas tidak bisa melupakan foto itu.

"Maafkan Danica karena jarang berkunjung Ibu."

Wajah itu terlihat begitu jelas, ini sudah dua tahun tapi tidak sekalipun Danica melupakan setitik saja dalam memorynya tentang wanita cantik itu. Mereka seperti pinang dibelah dua, begitu mirip dari semua sisi.

"Maafkan Danica yang sering membuat Ibu terluka, Danica tetap akan berusaha untuk membuat Ibu bangga dari sana." Danica tersenyum tipis, ia sangat membenci saat menatap wajahnya sendiri. Wajah yang begitu mirip dengan sang Ibu, ia hanya belum bisa menerima kepergian sang Ibu sepenuhnya.

"Danica sangat rindu Ibu, setelah dua tahun lalu semua tidak ada yang baik baik saja."

"Termasuk juga dengan Ayah, mereka semua hanya berusaha terlihat baik baik saja." Danica menundukkan kepalanya mencoba menahan sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk matanya.

"Danica tidak ingin disini Bu, Nica hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa pada keadaan yang semakin mencekik." Danica kembali mendongakkan kepalanya menatap kembali foto sang Ibu yang tersenyum manis, ia benar benar merindukan sosok wanita itu.

"Ibu…."

Danica langsung terduduk, mencoba menyembunyikan air matanya tapi tetap tidak bisa, pertahanannya terlalu lemah jika berhadapan dengan sang Ibu.

"Danica benar benar butuh Ibu disini."

Isakan mulai terdengar, Danica sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi. Air mata itu bahkan turun semakin deras tanpa komandonya, sesak mulai menjalar pada dadanya.

Hal yang selalu Danica benci setiap ia berkunjung pada sang Ibu adalah kembali terlihat lemah dan kembali menguak luka yang berusaha Danica simpan rapat rapat.

Sosok yang terlihat begitu garang beberapa jam lalu kini bahkan hanya untuk mendongakkan kepalanya ia tidak bisa, hanya menunduk dan semakin terisak yang dapat Danica lakukan.

Kekejamannya hanya terlihat semata oleh orang orang namun begitu terlihat rapuh saat ia kembali merengkuh dan merengek pada sang Ibu yang bahkan hanya bisa ia lihat foto dan namanya beserta abu sang pemilik.

"Nica ingin ikut Ibu, bolehkan? Nica lelah untuk menghadapi semuanya Bu."

"Ayah bahkan terus berbohong untuk perduli padaku, salahkah jika aku berharap dengan Ibu saja?"

*****