webnovel

Bab 8

Aku hanya bisa menunduk saat kami berada di ruangan rapat untuk berdiskusi dengan Direktur Utama yang baru.

Dia belum masuk jadi masih ada waktu bagiku untuk menyiapkan diri saat bertemu dengan pria yang menjadi teman satu malamku, dan pria yang sudah dengan kurang ajarnya melakukan hal tidak senonoh padaku saat di restoran tadi.

Aku bertanya tanya kenapa dia bisa menjadi Direktur Utama di sini sedangkan yang kutahu, dari mulutnya, adalah kalau dia pemilik Club eksklusif di New York dan dia tinggal di Los Angeles. Lalu, kenapa semua berubah? Kenapa dia menjadi Direktur Utama di perusahaanku?

Tuhan, kenapa kebetulan ini sangat menyebalkan?

Tuhan, kenapa aku selalu bertemu dengan orang orang menyebalkan?

Apa aku tidak punya, setidaknya, satu hari untuk menjalani hidupku dengan tenang dan damai?

Aku menghela napas dari kursiku yang tersembunyi di belakang kursi bosku.

Tadi setelah Ursula memperlihatkan foto Direktur Utama alias Rafael Dimitriou yang sedang berbicara di podium dengan menggunakan kemeja yang sama di balik jas hitamnya, Yelena datang dan mengatakan padaku untuk ikut rapat darurat yang diadakan oleh Direktur Utama yang baru.

Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan mengadakan rapat ini, aku hanya berdoa kalau itu tidak akan ada sangkut pautnya dengan diriku. Mungkin saja dia melakukan diskusi ini untuk mengganti beberapa pegawai yang tidak dia sukai dengan yang lain. Mungkin saja itu bisa menjadi diriku karena apa yang ku lakukan padanya tadi.

Mungkin saja dia bisa menggunakan itu dengan alasan 'tidak sopan pada calon Direktur Utama' dan kemudian mendepakku keluar dari perusahaan. Apa pun itu, aku tidak mungkin membantahnya. Aku membutuhkan pekerjaan ini, namun aku tidak akan bisa bertahan lama bekerja di bawah seorang pria yang baru saja melecehkanku di kamar mandi.

"Apa kau baik baik saja?"

Aku sudah mendengar itu puluhan kali dari Yelena, dan dia sepertinya tidak bosan. Dia sangat khawatir padaku. "Aku baik baik saja, bos. Sungguh."

"Kau masih terlihat pucat."

"Aku tidak memakai lipstik."

"Mau menggunakan punyaku?" suara bosku itu berubah menggoda, dia menggerlingkan matanya. "Kau tidak boleh kalah dengan wanita wanita itu." Dagunya terangkat menunjuk beberapa pegawai, yang kebanyakan sekertaris dari para direktur direktur divisi, yang bergaya semakin heboh dan sejak tadi sibuk memoles wajah mereka dengan bedak.

Aku terkekeh tanpa suara sembari menggeleng, "Aku sudah cukup cantik tanpa make up." Jawabku percaya diri.

Yelena mengangguk sembari mengangkat jempol. "Ya, kau cantik alami. Ku pikir pria lebih menyukai itu."

Aku tidak membalas ucapannya karena pintu terbuka, dan kami sontak berdiri untuk memberi hormat pada lima orang yang masuk. Aku menunduk dan dengan hati hati menyembunyikan diriku di belakang tubuh tinggi bosku dan Direktur Pemasaran yang ada di sebelahnya. Aku bahkan tidak bisa melihat mereka, dan aku yakin dia alias Rafael juga tidak bisa melihatku.

"Duduk."

Suara berat itu membuat bulu bulu di sekujur tubuhku berdiri. Aku menelan ludah saat aku duduk mengikuti para jajaran tinggi perusahaan yang ada di ruangan ini.

Aura intimidasi dan keheningan yang terasa mencekam—bagiku—membuatku menunduk untuk menatap kedua pahaku yang merapat, aku mencengkeram rok dengan kuat sebagai saluran dari rasa tidak mengenakkan yang menyerang di dalam diriku.

"Tujuanku mengumpulkan kalian adalah untuk membahas beberapa hal yang aku perlukan dan harus kalian jawab sebelum aku bekerja sepenuhnya di sini."

Suara berat itu membuatku menelan ludah, dan semakin menunduk.

"Tapi yang paling pertama, dan yang paling penting adalah aku membutuhkan sekertaris yang sudah mempunyai cukup prestasi dan juga berpengalaman untuk membantu pekerjaanku." Ucapnya. "dan aku sudah memilih salah satu sekertaris kalian," pria itu menunjuk para Direktur dan wakil direktur, "Berdasarkan data data riwayat, kemampuan, dan kualifikasi yang sudah kubaca kemarin."

Perkataannya membuatku membeku sejenak. Detak jantungku semakin kacau dan tidak karuan.

"Kenapa tidak membuka lowongan seketaris saja, sir?" tanya salah satu pria.

"Tidak, karena aku membutuhkan sekertaris yang sudah terbiasa dengan alur pekerjaan di perusahaan ini yang, cukup banyak, berbeda dari perusahaan perusahaan lain. Dan aku tidak ingin membuang waktu lama untuk sekertaris baru agar menyesuaikan diri dan mempelajari hal hal baru. Aku tidak punya banyak waktu." Jawabnya dengan tegas.

Suara dan nada itu sangat sangat berbeda dari pria yang kukenal, sangat berbeda dengan pria yang sudah menghabiskan malam bersamaku. Dia, seperti pria menuntut yang kutemui di restoran tadi. Aku bertanya tanya berapakah topeng yang dia gunakan sehari hari?

Apa dia selalu menggunakan sisi lembutnya saat bersama para wanita wanita yang sudah berada di ranjangnya, dan menggunakan sisi dominan dan intimidasi untuk bekerja?

"Jadi, siapa yang akan memiliki jabatan itu, sir?" tanya yang lain lagi.

Suara pria itu yang berdeham memenuhi ruangan, aku menekuk jari jari kaki di dalam sepatu heelsku saat perasaanku semakin kacau.

"Aku ingin sekertaris dari Yelena Locatelli untuk menduduki jabatan itu. Nona Aubrey Jauris."

...............................

Serasa ada petir yang datang dari langit, dan kemudian mengenai tubuhku sampai organ organku terpisah. Aku melotot saat dia menyebut namaku, jantung yang ada di dalam dadaku berlomba lomba di dalam sana.

Aku menelan ludah saat Direktur pemasaran kami menggeser kursinya dari depanku, dan membuatku kini terpampang di hadapan pria itu dan beberapa orang lainnya yang menatapku dengan bermacam macam tatapan.

Tapi, yang bisa kuambil adalah banyaknya tatapan sinis dari beberapa pegawai wanita yang menjadi sekertaris direktur dan wakil direktur lainnya.

"Maaf, sir. Tapi, aku masih membutuhkannya." Tolakan halus dari Yelena membuatku bersorak riang di dalam hati.

Aku menelan ludah lagi, dan mengangkat pandanganku pada pria itu yang berada beberapa meter di hadapanku. Dia sudah melepas jasnya dan hanya menggunakan kemeja hitam dengan dua kancing teratas yang terbuka. Menyender di kursi dengan nyaman, salah satu tangannya berada di atas meja dan ujung jari telunjuknya mengelus janggutnya dengan pelan. Si Direktur Utama alias Rafael Dimitriou menatapku dengan alis mengerut dan tatapan mata birunya yang tajam.

Aku menelan ludah lagi, dan menenangkan diriku. "Maafkan aku juga, sir, karena menolaknya. Masih ada banyak tugas yang belum aku, dan atasanku, selesaikan. Jika merekrut sekertaris yang baru itu juga akan merepotkan."

Aku bisa melihat seringaian samar yang dia pasang dengan sangat singkat. "Maafkan aku juga, Mrs. Locatelli dan Ms. Jauris karena aku tetap pada pilihanku." Balasnya yang membuatku melotot.

Aku juga bisa merasakan bosku dan beberapa orang menegang karena nadanya yang terdengar seperti tidak ingin dibantah dan begitu sangat bossy.

"Kau bisa memindahkan barang barangmu setelah rapat selesai, Ms. Jauris, dan untuk Mrs. Locatelli, aku yang akan memberikan sekertaris baru untukmu. Jangan khawatirkan apa pun karena aku jamin dia akan bekerja dengan baik seperti yang Ms. Jauris lakukan."

"Kenapa tidak memilih sekertaris dari jabatan yang lebih tinggi, sir?" tanya seorang sekertaris wanita. Riana, aku tahu namanya, dia adalah sekertaris dari Direktur Keuangan. Wajahnya yang dipenuhi dengan make up mencolok itu menampakkan wajah tidak terima.

"Akhir dari diskusi, aku tidak ingin mendengar bantahan apa pun." Balas Rafael tegas. "Dan, kuharap kau mengerti Ms. Jauris." Dia masih menatapku dengan tatapan lekat.

Aku menahan napas sembari menganggukkan kepala dengan kaku.

Dia menyeringai.

Sialan!

Aku mengumpat dalam hati saat menyadari bahwa kali ini aku, bahkan, tidak mempunyai amunisi dan kesempatan untuk menghindarinya. Sialan.

Bajingan kaparat.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku sadar kalau Rafael bahkan tidak repot repot merekrut sekertaris lain, yang jauh lebih handal dariku untuk bekerja di bawahnya langsung. Dia langsung memilihku. Dan katakan padaku jika tidak ada maksud dibaliknya.

Tentunya ada.

Dia akan menarikku lagi ke ranjang—seperti yang dia katakan tadi siang.

Aku membuang napas kasar saat sebuah tangan melingkup tanganku. Aku menatap bosku yang tersenyum menenangkan. "Tidak apa apa. Kita juga akan selalu bertemu nanti." Bisiknya.

Aku mengangguk.

Dan, kemudian rapat berjalan sebagai mestinya. Sementara aku masih bisa mendapati beberapa wanita melirikku dengan sinis. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku, aku tidak peduli. Aku hanya membalas tatapan salah satunya, Riana, menggunakan tatapan dinginku dan menahannya beberapa detik sampai dia memutuskannya dulu dengan tenggorokan yang bergerak.

Aku memilih kembali fokus dengan rapat yang membahas tentang bagaimana perusahaan berjalan saat berada di kepemimpinan yang berbeda, bagaimana kondisi pengeluaran dan pemasukan, bagaimana kondisi minyak yang kami produksi dan masih banyak lagi.

Dan, selama itu, aku berusaha untuk tidak menatap langsung ke Rafael Dimitriou. Aku hanya sanggup menundukkan kepala untuk melihat iPadku, dan beberapa orang yang mengajukan pertanyaan.

Sampai satu jam kemudian, dan sesuatu terasa menghalangi tenggorokanku, dan perutku seperti berputar putar sampai membuatku sakit. Aku menahan napas saat bos besar kami berkata, "Kalian bisa keluar. Tinggalkan aku bersama Ms. Jauris."

Bencana.

Aku mengedarkan pandangan dengan panik menatapi orang orang yang sudah keluar, aku menatap bosku atau mantan bosku, Yelena dan menggeleng. Dia menaik kan alisnya. "Ada apa? Kenapa kau begitu panik?"

"Aku tidak bisa di sini dengan Raf—Mr. Dimitriou saja."

Dia mengedipkan matanya, tidak mengerti.

"Bagaimana jika dia bertanya hal hal yang tidak aku ketahui, bos?" cicitku pelan dan berbohong.

Yelena menggeleng dengan senyum kecil, "Tidak apa apa melakukan kesalahan. Dia tidak akan menghukummu karena itu. Jika dia berlaku kasar katakan saja padaku."

"Tapi..."

"Apa kau gugup karena dia sangat tampan?" wajahnya sudah mendekat dan berbisik dengan nada menggoda.

Aku memutar bola mata sebentar dan kemudian menjawab pertanyaannya, "Tidak. Hanya saja dia terasa mengerikan, galak dan bossy." Jawabku berbisik juga.

Yelena tertawa, "Kau sudah tahan bekerja di bawahku, yang terkenal sangat kejam ini. Aku yakin kau juga bisa menghadapi yang satu ini." Dia mengubah tatapannya menjadi jahil dan penuh godaan. "Jika dia tetap saja kejam padamu, maka kau harus membuka kedua pahamu untuknya."

Aku melotot.

Yelena terkekeh dan menepuk pundakku dua kali. "Kita akan berbicara lagi nanti. Siapkanlah dirimu dan usahakan jangan tampak terlihat konyol. Bye!" dia kemudian bangkit dan meninggalkanku sendirian di kursiku.

Dan, kemudian aku sendirian.

Di ruangan ini.

Bersama dengan Direktur Utama baru.

Bersama dia.

Rafael Dimitriou.

Dan di sinilah aku, menghadapi kematianku.

Aku mendongak, menatap pria yang berada di balik meja, dan duduk menyender di kursinya dengan nyaman.

Tatapannya menatapku dengan lekat, dengan seringaian tipis di bibirnya. Aku menatapnya dengan tatapan tak gentar dan melawan. Aku, kan, sudah menolak untuk lemah di hadapan siapa pun agar tidak ada yang kembali mengendalikan diriku. Agar aku tidak kembali berhadapan dengan sosok bibiku dengan wujud berbeda.

Bisa saja dia lebih mengerikan, dan untuk melawannya dibutuhkan keberanian. Walaupun, itu keberanian palsu, setidaknya aku sudah menunjukkan padanya kalau aku bukanlah wanita yang akan mudah tunduk padanya.

"Bagaimana harimu, Ms. Jauris?"

Aku menarik napas pelan, menahan tatapannya dengan mantap dan kemudian menjawab, "Epic."

"Epic?"

"Dalam waktu beberapa jam, aku sudah dihadapkan dengan banyak kejutan. Itu alasannya." Jawabku dengan nada yang kudengar tidak gentar.

Iblis berwujud bagai dewa itu terkekeh, jenis kekehan yang tidak sampai matanya, dan dia masih menatapku lekat dengan mata tajamnya. "Aku sudah menyiapkan kejutan yang lebih bagus, tapi kemudian kita bertemu di restoran, dan semuanya batal." Ucapnya, aku mengerutkan kening. "Tapi aku juga tidak kecewa dengan yang ini."

"Memangnya apa yang ingin kau lakukan?"

Seringaian mengerikan itu muncul, "Kau akan kabur jika aku mengatakannya, baby."

Aku mengerjapkan mata tidak mengerti sebelum membuang pandanganku ke arah lain dengan senyum kecut. "Maafkan aku jika lancang, sir, tapi jika kau masih ingin melanjutkan omong kosong ini sebaiknya hentikan. Aku masih punya banyak pekerjaan yang harus kulakukan." Aku jeda, menatap matanya dengan mataku yang menyipit tajam. "Seperti membereskan barang barangku, misalnya." Ucapku dengan formal.

"Jangan khawatirkan itu, sekertarisku. Aku sudah menyuruh orang lain untuk melakukannya." Balas Rafael, dia bangkit dari kursinya.

Jantungku bertalu talu, aku memeluk iPadku dan menekan jari jariku dengan keras di layarnya. Menelan ludah, aku hendak bangkit saat langkahnya mulai mendekatiku.

"Aku tidak menyuruhmu untuk bangkit, Ms. Jauris."

Jadi yang bisa kulakukan hanya duduk di kursi panas ini dengan kaku saat dia sudah berada di hadapanku, dan menyenderkan bokongnya di ujung meja. "Kau berpikir kalau ini sangat lucu, bukan?"

Aku mendongak menatapnya dengan kerutan di dahiku. Tangannya terangkat, menyentuh salah satu anak rambutku yang mencuat keluar dari ikatan rambutku.

Sentuhan itu neraka.

"Kebetulan ini." Dia berhenti, menggigit bibir bawahnya, kemudian melanjutkan "Kita bertemu di Klubku dan mengalami malam panas, yang sangat kita nikmati ."

Aku memalingkan wajah darinya karena tidak sanggup untuk menatapnya tanpa mengingat malam itu, namun dua jarinya yang ada di daguku membuat mataku kembali bertemu dengan matanya.

"Kita bertemu di restoran, dan aku ternyata adalah bosmu, kemudian aku menjadikanmu sekertaris."

Aku tidak menjawab apa apa karena bertanya tanya dalam hati tentang apa yang ingin dia katakan.

"Tapi ini bukanlah kebetulan, Aubrey."

Aku menekuk alis.

Dia menundukkan wajahnya hingga kini hanya beberapa senti di hadapan wajahku. "Aku sudah menguntitmu sejak malam itu."

Ada satu waktu di mana aku merasa kalau waktu berhenti dan apa yang bisa aku lakukan hanya duduk membeku di kursi ini, dan kemudian saat waktu kembali bekerja, aku bisa merasakan bagaimana kacaunya dalam diriku.

Mendengar kenyataan kalau dia sudah melakukan apa yang begitu mengerikan di pikiranku membuatku merinding. Aku tidak menyangka kalau dia melakukan hal seperti itu. Maksudku, tidak ada pria atau wanita yang melakukannya pada teman satu malamnya, bukan? Kecuali Theo. Dia menguntit Ursula karena dia menyukai Ursula dan mencintainya. Aku tidak tahu bagaimana cinta bisa secepat itu bekerja pada Theo, tapi setidaknya dia serius menjadikan Ursula wanita satu satunya di hidupnya.

Dengan Rafael, itu mustahil.

Jadi sebenarnya apa yang dia inginkan? Tidak mungkin dia juga melakukan hal yang sama seperti yang Theo lakukan. Tidak. Rafael terlalu bajingan untuk melakukan itu. Tapi, jika dia hanya menginginkan seks, dia bisa mendapatkannya dari wanita lain. Yang lebih dariku.

"Apa yang, sebenarnya, kau inginkan dariku?" tanyaku.

"Aku menginginkanmu."

Aku menggelengkan kepala.

"Seharusnya kau sadar kalau kau tidak bisa menolak lagi."

"Apa kau akan mencampurkan urusan pribadi dan urusan pekerjaan, sir?" aku terkekeh sinis, "Kau sangat bijaksana." Lanjutku dengan sarkas.

Dia menelengkan kepala dengan senyuman, matanya turun menuju bibirku. "Aku memang sangat bijaksana." Balasnya tanpa ada nada tersinggung sama sekali.

Aku memundurkan kursi dengan dua kakiku, yang hanya berhasil beberapa senti saja, karena dua tangannya sudah menekan dua lengan kursiku.

"Hentikan ini, Rafael. Aku tidak menginginkan apa pun darimu, kau tidak bisa memaksa orang orang untuk melakukan apa yang kau inginkan."

"Aku tidak memaksa tanpa alasan, Aubrey." Balasnya, "Kau menginginkanku juga."

"Tidak."

"Jika tidak...." wajahnya semakin mendekat, "...kau tidak akan membalas ciumanku saat di restoran."

Aku menggeram, "Bajingan."

"Itu pembelaanmu, sayang?"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu."

Rafael terkekeh, "Tapi kau menyukainya."

"Aku tidak—"

Sebuah ketukan dan pintu yang terbuka terdengar, yang menyelamatkanku. Dia bergerak bangkit dari posisinya, dan aku menjauh darinya karena takut jika siapa pun yang datang akan berpikir yang tidak tidak tentang kami.

"Ayahmu menunggu di ruanganmu, sir." Ucap pria itu.

"Aku akan datang."

"Dia minta agar kau datang secepatnya, sir." Tambah pria itu lagi.

Rafael memejamkan mata, terlihat geram dengan permintaan itu. "Aku akan datang secepatnya, Geller." Balasnya.

Pria itu mengangguk, dan kemudian keluar dari ruangan ini.

Aku bangkit dari kursiku, "Aku rasa aku harus pergi, sir." Ucapku formal dan kemudian mulai melangkah menjauh darinya.

Tapi berhenti, saat dia mencekal lenganku menarikku mendekat ke tubuhnya.

"Ingat, Aubrey. Kau tidak bisa lepas dariku." Bisiknya di telingaku. "Besok pagi kau harus datang ke apartemenku untuk menyiapkan semuanya." Lanjutnya lagi.

Memejamkan mata, aku menjauh darinya dengan paksa, dan kemudian melangkah menjauh dari ruangan ini dan Rafael dengan kekacauan yang meremukkan bagian dalam hatiku.