webnovel

Beautiful Mate

Warning, 21+ mohon bijak dalam membaca. Avery Selena Dawn, seorang gadis yatim piatu 25 tahun yang baru saja lulus dari jurusan fashion design memutuskan untuk nekat mencoba melamar pekerjaan pada perusahaan fashion kulit dan bulu yang terkenal bernama Anima, karena kesulitan yang sedang melilit panti asuhan tempatnya tinggal dahulu yang menyebabkan anak-anak di sana kelaparan. Ia tentu saja sangat bersemangat ketika pada akhirnya diterima pada perusahaan itu. Perusahaan yang terkenal sangat ketat dan sulit menerima karyawan baru itu, bahkan memberinya kontrak khusus dan pendapatan yang terbilang tinggi untuk karyawan canggung yang tak berpengalaman sepertinya. Awalnya Avery mengira kontrak untuknya hanyalah sekadar kontrak kerja biasa sampai ia mengetahui bahwa kontrak itu adalah kontrak yang dibuat sendiri oleh Dominic Lucius Aiken, sang CEO sekaligus pemilik perusahaan itu ketika ia telah tinggal di mansion tua mewah yang sebelumnya ia kira adalah tempat khusus untuk para karyawan Anima. Tetapi dugaannya salah, ketika sang CEO sendiri ternyata juga bertempat tinggal di sana. Dominic, pria yang begitu tampan, gagah, misterius dan sangat mempesona itu, yang selalu terlihat dikelilingi oleh para wanita kemana pun ia pergi, membuat Avery sedikit muak. Pasalnya, ketika para wanita yang ternyata juga tinggal seatap dengannya, kerap memusuhinya dan selalu mencoba membuatnya tampak buruk ketika mereka mengira ia adalah 'mainan' baru sang Alpha! Tunggu, Alpha? Siapa? Dominic? Siapa ia sebenarnya hingga para wanita menyebutnya Alpha?!

Jasmine_JJ · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
84 Chs

Serangga Kecil

Avery segera bergegas keluar dari kampus saat ia menyadari tubuhnya terasa sedikit aneh. Ya, mungkin karena efek obat suppressant yang ia gunakan telah hampir habis, Avery perlahan-lahan mulai merasakan kembali serangan 'heat-nya'. Dan seperti yang telah Dom katakan sebelumnya, ia memang telah berhenti dari siklus bulanannya yang hanya berlangsung sekejap.

Avery merasa sedikit gerah dan berputar, terutama saat ia menggenggam kotak kayu yang Arthur serahkan padanya tadi. Saat ia menerima kotak itu, ia merasakan adanya tekanan yang seolah menyerang dirimya. Ia tak yakin apakah itu karena serangan heat-nya atau karena sesuatu yang keluar dari kotak itu. Yang pasti, Avery merasa harus segera keluar dari sana.

"BRUK!!" Seseorang tak sengaja menabraknya ketika ia hendak menuruni tangga yang menuju ke halaman kampus. Mobil Dom sudah terlihat dari kejauhan ketika Avery yang hendak terjatuh, secara bersamaan tiba-tiba muncul seorang pria untuk menahannya dengan sigap sebelum ia terjungkal.

"Maaf, kau tak apa-apa?" ucap pria itu. Suaranya terdengar begitu dekat.

Avery refleks menoleh dan mendapati seorang pria berambut gelap dan bermata biru sedang menahan lengan dan pinggangnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba merasa seolah sedang terhisap ke dalam mata biru pria itu yang menatapnya dengan dalam. Avery sejenak membeku dan seolah seperti sedang terhipnotis. Lalu, perasaan familier aneh yang ia rasakan, segera menyergapnya.

Avery mengerjap. "Aku tak apa-apa," ucap Avery yang kemudian dengan sedikit susah payah mengalihkan pandangannya dari tatapan pria itu. Avery segera meraih kotak kayu yang masih tersegel miliknya yang kini sedang tergeletak di salah satu anak tangga.

"Apa aku merusaknya?" tanya pria itu.

"Tidak, kau hanya menghalangi jalannya," jawab Dom yang entah kapan, tiba-tiba saja sudah berada di dekat Avery. Avery mendongak karena terkejut dengan kehadiran Dom.

Pria yang memakai kemeja dan celana kain kasual dan membawa tas kerjanya itu, sekejap menatap Dom dengan tajam. Tetapi, sedetik kemudian ia tersenyum dan mengubah mimiknya. "Oh, benar, maafkan aku. Aku pasti sudah menghalangi jalanmu, Nona," jawabnya sambil kembali menoleh pada Avery.

"Ya, tak apa-apa," balas Avery.

"Aku salah satu dosen kesenian yang baru di sini, apakah ada yang bisa aku bantu?" tanyanya ramah.

"Tidak, terima kasih. Sebenarnya aku lulusan universitas ini dan hanya berkunjung untuk menemui Profesor Arthur."

"Benarkah? Menarik, aku mengenalnya," ucapnya lagi dengan ramah. Avery hanya tersenyum dan mengangguk tanda kesopanannya.

"Baik, kami mengerti, sekarang kami akan pergi karena masih ada urusan yang harus kami lakukan." Dom tiba-tiba menimpali ucapan pria itu. Tak hanya itu, ia kemudian berdiri ditengah-tengah Avery dan pria itu, seolah sedang menghalangi tatapan pria itu pada Avery.

Pria itu akhirnya kembali menatap Dom. "Oh, baiklah, betapa tak sopannya aku. Silakan, dan perkenalkan namaku adalah Nathan, jika mungkin kau ingin tahu. Nama yang mudah diingat, bukan?" ucapnya sambil tersenyum. Ia seolah tak merasa terganggu dengan gestur posesif Dom pada Avery.

"Tak ada yang bertanya," jawab Dom sambil menatap pria bernama Nathan itu dengan tajam. Avery yang sedikit terkejut dengan jawaban dingin Dom, segera menatapnya dengan heran.

"Ayo, Sayang ... kita harus pergi," lanjutnya kemudian sambil mengamit lengan Avery dan meninggalkan Nathan begitu saja.

"Ba ... baiklah, kami permisi," ucap Avery sambil berjalan tergesa untuk mengikuti Dom yang menariknya.

Pria bernama Nathan itu kemudian melambaikan tangannya dan tersenyum dengan ceria mengantar kepergian Dom dan Avery. Dan Avery sendiri hanya memperhatikan sekilas pria itu. Ia hanya merasa aneh dengan sikap Nathan.

"Jangan melihatnya dan jangan terpengaruh olehnya, jika kau tak ingin masuk ke dalam perangkapnya, Sayang," geram Dominic kemudian.

Dominic membuka pintu penumpang dan membimbing Avery agar masuk ke dalam ketika mereka sampai ke mobilnya di area parkir. Ia kemudian kembali ke sisi pengemudi dan segera masuk ke dalam menyusul Avery.

"Aneh, pria itu masih saja menatap kita," bisik Avery.

"Jangan kau perhatikan," ucap Dom dengan nada memperingatkan. Ia kemudian menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya dengan segera. Beberapa detik sebelum ia pergi, Dom sempat menatap pria itu sekali lagi. Dan pria itu, balas tersenyum padanya!

"Freak," umpat Dom kemudian. Seperti mendengar ucapan Dom, pria itu kemudian tampak tergelak.

"Ada apa dengannya?" tanya Avery kemudian.

"Ia seorang hewolf, ia juga Alpha dan memiliki sedikit kemampuan untuk memanipulasi pikiran. Kau sudah menariknya karena feromon manismu. Ia menginginkanmu! Ia berani menginginkanmu karena tahu kau belum kutandai!" ucap Dom sambil memukul kemudinya dengan geram.

"Benarkah?" balas Avery.

Dom menoleh ke arah Avery. "Benar, tapi ia mungkin sekarang sedang bergegas ke dalam toilet atau apapun itu, karena aku jamin sekarang dirinya pasti sedang kehabisan napas dan merasa sesak. Ia tadi mati-matian sedang menahan tekanan feromonku padanya. Ia jelas tahu kekuatanku jauh lebih kuat darinya. Walau begitu, hewolf aneh itu masih saja bisa tersenyum. Ia memang aneh!" jelas Dom.

Dom kemudian melanjutkan. "Lalu, apa yang kau rasakan saat menatap matanya tadi?" tanyanya.

Avery mengerutkan alisnya. "Maksudmu saat aku bertatapan dengannya tadi? Aku hanya merasa seolah terhisap selama beberapa detik. Lalu, aku merasakan perasaan familiar yang seolah sedang menyelimutiku," terang Avery.

"Ya, mungkin karena pertahanan alamimu maka kau hanya sedikit terpengaruh. Perlu kau ketahui, Avery, ia tadi sedang mencoba untuk mempengaruhi pikiranmu dengan membuat seolah dirinya adalah seseorang yang familiar denganmu, yaitu aku. Ia memanipulasi dirimu dengan cara memunculkan dan meningkatkan bauku yang melekat padamu agar kau dapat terhisap sepenuhnya ke dalam halusinasinya. Dan setelah ia berhasil, ia akan bebas melakukan apa saja padamu, seperti menyelimutimu dengan baunya sendiri, bahkan menandaimu tanpa kau sadari."

Kedua bola mata Avery membulat menatap Dom. "Oh, benarkah? Apa maksud pria itu melakukannya?"

"Tentu saja karena bajing*n itu ingin menjadikanmu wanitanya, apa lagi?!" Dom kembali menatap Avery saat mereka berhenti di persimpangan jalan karena tanda rambu lampu lalu lintas yang mengharuskan mobilnya berhenti.

"Itulah mengapa aku bersikeras agar kau harus tetap berada di dalam rumah sampai siklusmu benar-benar berakhir. Apa kau bahkan tak menyadari betapa banyaknya hewan buas yang berkeliaran di luar sini?! Di dalam mansionku kau akan tetap aman karena para serangga lemah seperti pria itu bahkan tak bisa mendekati barier pertahananku."

Avery mengerjap dan menatap Dom dengan sedikit terkejut. Reaksi keras dan kesal yang Dom tunjukkan hari ini adalah hal yang baru baginya. "Kau kesal ...," gumamnya. Ia seketika dapat merasakan kekesalan itu yang kemudian menyelimuti perasaannya.

"Benar, kau bisa merasakannya juga bukan? Kau dapat berbagi perasaan denganku karena aku pasanganmu, hanya aku, Avery!" jelasnya terang-terangan.

"Oh, ya ampun, Dom," gumam Avery. "Oke ... aku mengerti. Kau sekarang sedang dikuasai oleh emosimu, bukan? Asal kau tahu saja, Tuan, jangan kau lampiaskan kekesalanmu padaku begitu saja. Dan bagaimana bisa pria itu tetap mendekat padaku sementara kau sudah menyelimutiku dengan baumu? Katamu tak akan ada yang berani melakukan itu? Apakah ia bahkan tak tahu bahwa aku sudah menjadi milikmu?!" ucap Avery. Ia sedikit terpengaruh dengan kekesalan Dom hingga tanpa sadar sedikit berteriak.

Avery mengerjap sejenak sebelum akhirnya sadar dan meralat ucapannya sebelumnya. "Ma ... maksudku adalah ... ja ... jangan memarahiku jika kau merasa frustasi!" protesnya kesal bercampur malu.

Dom sedikit menyunggingkan senyumnya. "Ingat, kau sudah mengatakannya sendiri, bahwa kau adalah milikku," jelasnya puas dengan mata berbinar.

Ia kemudian meraih dagu Avery agar kembali menatapnya. "Dan tolong kau koreksi, Sayang ... bukan frustasi, tetapi rasa cemburu dan posesif yang menggila yang sedang menyerangku. Jika tidak sedang berada di tempat terbuka dan dunia manusia, mungkin aku sudah akan mencabik-cabiknya dan menerkam lehernya karena sudah berani-beraninya ia mencoba mencurimu dariku!" geram Dom.

"Aku yakin ia hanya seorang Alpha dari pack kecil. Ia bahkan begitu sombong dan tak mengindahkan peringatanku padanya. Dan jika kau pikir sekarang aku sedang marah serta kesal padamu, ya! Aku memang sedang merasa seperti itu. Obat suppressant yang seharusnya menahan feromonku dan milikmu ini kurasa sudah tak bekerja terlalu efektif lagi. Aku serasa ingin menggila hingga tak dapat berpikir rasional lagi kecuali dengan emosi dan hasratku, Sayang. Andai kau ingin tahu itu," jelas Dom. Ia lalu berfokus lagi pada jalanan di hadapannya.

"Ya, aku tahu," gumam Avery, karena ia pun yakin telah merasakan hal yang sama. Aura dan aroma Dom seakan semakin menguat ketika ia berada di dekatnya.

"Hmm ... aku rasa, mungkin aku harus menyelimutimu dengan bauku lagi, Sayang. Dan kali ini ... aku akan melakukannya sedikit lebih lama dari sebelumnya. Ah ... tidak ... tidak ... aku akan melakukannya dengan sangat ... sangat lama kali ini," ucap Dom sambil tersenyum penuh arti. "Sangaaat lama ...."

Avery menggigit bibir bawahnya dan menelan ludahnya dengan gugup, karena ia tahu betul apa artinya itu.

____****____