webnovel

Amarah dan Kesedihan

"Apa-apaan ini, Sania?"

Ekal kebakaran jenggot saat tahu jika foto kemesraan mereka berdua diposting oleh Sania, dan hanya dalam waktu semalam. Foto itu langsung menjadi viral, dikarenakan kabar yang buruk dengan judul besar "CEO Perusahaan Besar Terkemuka Berselingkuh Dengan Wanita Lain di Belakang Istrinya yang Baru Saja Mengalami Kecelakaan"

Entah mau ditaruh mana wajah tampan Ekal saat membaca begitu banyak artikel sialan yang hanya membuat namanya manjadi buruk.

Sania yang baru saja sadar akan ke bodohannya hanya bisa menundukkan kepalanya dengan tangan yang saling bertautan di depan tubuhnya.

"Maaf, Sayang. Aku tidak tahu kalau postingan itu akan menjadi viral, aku hanya iseng kemarin," dalih Sania cepat, dia memberanikan diri untuk melihat wajah Ekal yang mengeras sejak pagi.

"Kan, aku sudah bilang. Jangan posting apa pun tentang hubungan kita, aku tidak mau kalau sampai ada masalah seperti sekarang. Ah, kamu membuatku hampir gila."

Ekal memijat pangkal hidungnya, dia sungguh frustasi harus bagaimana untuk membersihkan nama baiknya yang sudah terlanjur tercoreng oleh tinta hitam.

"Maaf, Sayang. Aku akan perbaiki ini, aku bisa suruh orang-orangku untuk menghapus semua artikel bodoh itu."

"Kamu yang bodoh! Semua orang pasti sudah melihatnya, dan  ... aku khawatir apakah Luna tahu tentang kabar ini," bentak Ekal tak tahan.

Sania membeku saat Ekal kembali membentak dirinya setelah sekian lama tak pernah meninggikan suaranya di depan Sania. Terlebih lagi pria itu hanya sibuk memikirkan perasaan istrinya pada yang ada di depan Ekal saat ini adalah Sania.

Pantaskah hal begitu Ekal katakan di depan Sania?

"Kenapa kamu begitu marah? Aku, kan. Sudah minta maaf," keluh Sania tidak tahu malu, ekspresi penuh penyesalan itu kini berubah menjadi kesal. Ikut terbakar amarah.

"Menurutmu apa aku harus tertawa karena ulah cerobohmu ini?" hardik Ekal cepat, matanya yang biasanya menatap Sania penuh akan cinta, kini berubah kesal menunjukkan jika wanita itu sungguh salah.

"Aku bilang aku sudah minta maaf!" balas Sania ikut-ikutan menaikkan suaranya karena kesal tak terima Ekal terus membentaknya.

"Maafmu tidak akan merubah apapun."

"Aku bisa merubahnya, aku akan hapus semua artikelnya," janji Sania tak menyerah.

"Terlambat, Luna pasti sudah dengar kabar ini."

"Kenapa kamu hanya peduli padanya? Kamu tidak memikirkan aku." Sania memukul dada Ekal karena merasa kecewa sebab pria itu hanya memikirkan perasaan Luna.

"Aku memikirkan kalian berdua, aku sudah berusaha untuk adil. Tapi, kamu merusak segalanya dengan memposting foto sialan itu."

Sania tersenyum masam kala kalimat itu terlontar dari bibir Ekal, apa katanya tadi? Foto sialan? Hati Sania terasa tercubit karena kalimat demikian.

"Itu bukan foto sialan, aku cuma mau seluruh dunia tau kalau kamu juga punya aku."

"Untuk apa seperti itu, hah? Agar aku malu?" tanya Ekal bersama alisnya yang menyatu, menunjuk ke arah wajahnya menantikan jawaban dari wanita yang ia cintai itu.

"Agar orang lain lihat kalau aku juga bahagia, apa tidak boleh?" pungkas Sania cepat, wajahnya memerah menahan amarahnya yang sudah sampai pada puncak kesabarannya.

"Tidak! Kamu tidak perlu pengakuan dunia! Harusnya kamu sadar kita melakukan perselingkuhan ini saja sudah sebuah kesalahan, bagaimana bisa kamu begitu bangga untuk menunjukkan hubungan kita pada dunia? Aku lelah denganmu, aku akan kembali ke Indonesia untuk menemui Luna."

Keputusan Ekal sudah bulat, dia cepat-cepat mendekati kopernya. Menarik koper dengan cepat, tak peduli dengan teguran Sania yang memintanya untuk tetap tinggal.

Ekal bahkan tak segan menyentakkan tangan Sania saat berusaha menyentuh dirinya, Ekal tidak bisa tenang sebab khawatir dengan reputasi dan kondisi Luna.

Ekal hanya berdoa semoga Luna belum tahu tentang berita ini.

***

"Luna....?"

Aisyah membuka pintu kamar yang Luna tempati, tampak wanita itu tengah meringkuk dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke kepala.

"Luna, ayo makan malam, Nak!"

"Ak––aku belum lapar, Bu...."

Aisyah tertegun kala mendengar suara Luna yang bergetar, sekuat apa pun Luna berusaha menahan suaranya agar tetap terkontrol tetap saja akan goyah karena dirinya tengah dihantam oleh rasa sakit yang sama yang pernah membuat dirinya tak ingin hidup lagi.

"Luna, ada apa? Suara kamu bergetar, kamu menangis, Nak?"

Aisyah mendekati Luna, duduk di sudut bibir kasur dengan Luna yang membelakangi wanita paruh baya itu.

Di bawah selimut tebal itu, Luna tidak bisa mengentikan air matanya sendiri. Seakan bukan dia yang mengontrol dirinya, tentu saja. Kekecewaan kembali membuat Luna hampir putus asa.

Sentuhan lembut di pundaknya membuat bahu yang bergetar itu perlahan rileks, Luna gigit bibir bawahnya kuat guna menahan isakan pilu yang pasti akan lolos di saat dirinya mendapatkan sebuah perhatian kecil ini.

Ya, Luna hanyalah wanita yang lemah. Dia sangat mudah menangis, dan akan semakin sedih jika di saat menangis ada yang peduli dengannya.

"Kamu jangan tutupi dari Ibu, Luna. Walau bukan Ibu yang melahirkan kamu, tapi. Ibulah yang membesarkan kamu, tidak tinggal bersama selama lima tahun tidak membuat Ibu lupa seperti apa karakter anak Ibu ini," ungkap Aisyah sukses membuat isakan pilu itu lolos tanpa bisa dicegah.

Kalimat lembut itu menghancurkan pertahanannya, hingga Luna duduk dan langsung berhambur ke pelukan Aisyah.

Karena terlalu terbawa suasana Luna lupa jika saat ini dia tengah bersandiwara buta, semoga saja Aisyah tak curiga.

Terbukti dari tangannya yang kini mengusap punggung rapuh Luna penuh kasih sayang, membiarkan wanita itu menangis sejadi-jadinya di pelukannya.

"Menangislah, Nak. Jika itu memang menyakitkan, tumpahkan semuanya agar tidak terlalu tersiksa," ucap Aisyah tepat di samping telinga Luna.

Beberapa saat hanya ada suara tangisan Luna di kamar itu, Aisyah tak berniat untuk membuka suara sebab dia tahu Luna butuh waktu untuk menumpahkan rasa sakitnya.

Tak lama setelahnya Luna melepaskan pelukannya, dia menghapus jejak air matanya. Matanya yang indah kini sudah bengkak dan memerah karena tak berhenti menangis sejak siang tadi.

Luna tak menatap Aisyah sebab harus kembali pura-pura buta di dengan wanita paruh baya itu.

"Sudah lebih tenang?"

Luna mengangguk, Aisyah tersenyum lembut. Tangannya terangkat untuk mengusap pipi Luna yang basah, tangannya berhenti kala merasakan suhu tubuh Luna yang naik.

"Astaga, Nak. Kamu demam?" seru Aisyah khawatir.

Luna tak merespon, pantas saja rasanya dia agak pusing. Rupanya demam, bagaimana tidak demam. Dia terlalu mengurus tenaganya untuk menangisi suami seperti Ekal sejak tadi siang.

"Ini pasti karena kamu tidak makan dari siang, tunggu sebentar, ya. Ibu akan kompres dulu," pesan Aisyah.

Dia lantas bangkit, mendekati pintu. Saat pintu terbuka, Aisyah kontan berhenti sebab terkejut melihat seseorang yang kedatangannya tak diduga ini.

***