webnovel

Asmara Sang Perindu

Hari menjelma tahun yang telah berlalu. Meninggalkan kita di sepucuk kisah baru. Walau semua ini nyata dan pernah membahagiakan kita, itu dulu. Setiap detik menanam sejuta rindu, mengukir senyum candu, yang tak mungkin kulupa di sepanjang jalan itu. Semua masih sama, dan tersimpan di dalam memoriku. Kuharap dirimu juga membaca kisah ini, di mana ada cinta yang pernah tumbuh di tanah pertiwi, tepat di bawah hati, di dasar jiwa ini.

AidySan · realistisch
Zu wenig Bewertungen
12 Chs

Mengenal Rasa

Entah apa yang kurasa dan entah pula kapan waktunya, tapi dari sebuah titik buta itulah aku kembali mengenal cinta. Dari temanku sendiri, yang bagiku dia teramat istimewa. Walau banyak kurangnya, tapi dialah sosok bidadari yang terlihat, dan yang pertama kulihat. Walau perlu proses yang lama, karena dia teman kecilku dari TK, dan menjauh ketika aku kelas 1-3 SD. Kembali lagi ke tanah kelahirannya sekitar kelas 4 SD kalau tidak salah. Dan anehnya, aku baru menyadari cintanya ketika kami menginjak masa SMP. Padahal, sejak awal dia selalu tergila-gila kepadaku. (Bukan bermaksud sombong. Emang nyatanya gitu kok.)

Dia, adalah bidadari yang terlihat kedua setelah ibuku. Kecantikannya bak sakura yang mekar di musim gugur, karena telah meluluhkan kesepian ku. Tentang dia, bukan wanita pintar, karena selalu saja mendapat peringkat juru kunci di kelas. Tapi, bagi sosok diriku di waktu dulu yang selalu menjadi nomor satu, mungkin menjadi masalah. Itu dulu, sekarang persetan dengan hal itu, sudah bukan zaman old lagi.

Di hari yang sungguh sudah ku lupa, ketika itu pastinya perlahan dan pasti tumbuhlah rasa yang nyata, bernama cinta. Kepada dia, seorang wanita nan cantik jelita, dengan paras yang tiada dua. Intinya, idaman setiap pria di dunia. Walau, setiap makhluk tak ada yang sempurna. Begitu juga dia, dengan segala kekurangannya. Yang pasti, aku menerimanya, dia pun menerima kekuranganku.

Layaknya asmara di tahun 90-an, dia menggunakan surat untuk bisa berbicara denganku. Begitulah kenyataannya, karena dulu dia sadar bahwa aku cinta pada wanita lain. Dia tak begitu mempermasalahkan hal itu, dan lapang dada saja. Intinya, dia idaman.

Dimulai.

Pernah di suatu malam, aku memberanikan diri untuk duduk berdua dengan dia. Persis di depan teras rumahku, yang memang rumah kami berjarak sekitar 10 meter saja. Cahaya temaram, sunyi, dan hanya kami berdua saja. Duduk termenung menunggu datangnya bintang yang perlahan menghiasi malam yang agak basah karena air mata langit. Kami duduk, bersebelahan, memandang langit, perlahan saling berpandangan, dan akhirnya tak sampai berpegangan tangan.

Q : "Maaf, waktumu kupinjam sebentar. Dan senyummu kutatap tak hanya sekejap kelar, karena ia laksana cahaya berbinar, manis dan berpendar." aku membuka pembicaraan.

"Tenanglah, biarpun ragaku kau minta, pasti kan kuberi. Dan maaf, bukan untuk saat ini. Untuk senyumku, jangan berlebih karena bagiku senyummu pun candu, apalagi ditambah lesungmu. Aku bersyukur pada Tuhan, telah menciptakan makhluk sepertimu."

Q : "Aku pun sama, bersyukur pada Tuhan, mempertemukan kita di malam yang penuh syahdu."

"Hemm, kamu."

Q : "Sebentar,"

"Ada apa?"

Q : "Ada begitu banyak candu di wajahmu. Aku takut tak bisa berpaling."

"Biarlah, memang itu tujuanku."

Q : "Benarkah, aku hanya takut kau tak bisa kumiliki."

"Aku milik Sang Pencipta, dan Dia menitipkan aku kepada orang tuaku. Dan sekarang, kewajibanku atas mereka." ucapnya.

Q : "Bolehkah aku bertanya?"

"Silahkan,"

Q :"Bisakah aku memilikimu?"

"Bisa,"

Q : "Benarkah?"

"Iya."

Q : "Bagaimana?"

"Cintai diriku"

Tuhan, kata apa yang harus kuucap setelah mendengar ucapannya itu? Matanya tak mampu berbohong, dan aku pun tak kuasa menatapnya. Walau ingin rasanya selalu memandang tiap sejuk parasnya.

Q : "Aku sadar, jika dirimu begitu dalam memendam cinta teruntuk diriku. Dan hatimu menerima begitu tulus cintaku."

Hening,

Q : "Is, bolehkah diriku ini mencintai ketulusanmu? Tak ada kata mutiara yang mampu kucipta, aku hanya tulus, cinta."

"Boleh," sambil tersenyum dan tersipu malu,

Q : "Is, bolehkah di waktu ini dan di waktu yang kan datang nanti diriku mendampingimu dan menjadikanmu kekasih hatiku?"

"Tidak,"

Q : "Kenapa?"

"Tidak,"

Q : "Beri sebuah alasan!"

"Tidak akan mungkin aku menolakmu, setelah begitu lama aku menunggu. Aku cinta kamu."

Q : "Sayang, terima kasih."

Kita saling memandang, tersenyum, dan tidak berpegang tangan. Masih ada jarak di antara kami. Bahagia rasanya bisa mengutarakan rasa kepadanya, dan malam itu menjadi saksi bisu perjalanan kisah kami berdua. Disaksikan begitu banyak bintang yang terlelap sejuk di atas kaki langit. Memenuhi cakrawala yang tengah mengeja bait-bait asmara yang kukirimkan kepadanya. Menjadikan backsound moment tak terlupakan itu, dan mengiringi berakhirnya malam nan sakral dalam sekejap.

"Sayang, aku harus pulang, nanti ibuku mencari."

Q : "Baiklah, hati-hati, dan jangan lupa tuk bermimpi." ucapku.

"Baiklah, kau pun juga."

Q : "Sampai jumpa,"

"Dah,"

Sekilas info : Q di sini untuk menandai bahwa itu aku, jadi selamat menikmati. Maaf Mengganggu.

Begitu damai serasa hati ini, begitu tenang malam-malam yang perlahan menjelma sepi dengan dingin yang tak kunjung menjauhi diri. Namun tak apa, semua ini terasa hangat di hati, setelah hadir pelengkap diri.

Aku pun melihatnya dari kejauhan, memastikan bahwa dia masuk ke rumah dengan aman. Walau sebenarnya, aku saja yang masih betah memandangnya lama-lama. Soal rindu, dulu aku tak begitu paham akan rasa itu. Yang aku tahu, kangen dan ingin bertemu, hanya itu.

Aku pun masuk ke dalam rumah, kami di waktu itu sebatas SMS menggunakan handphone yang amatlah jadul. Walau begitu, handphone tersebut menjadi saksi bisu asmara kami dan menjadi legend karena telah menaklukkan dua hati.

Kami sebatas chatting singkat, mengulas kisah yang terjadi beberapa menit yang lalu. Tak terasa, waktu memburu semakin cepat. Aku pun mengakhiri pesan singkat darinya.

Q : "Sudah malam, tidurlah! Badanmu sudah cukup lelah menghadapi semua ini, jangan paksakan diri. Sampai jumpa di lain malam, pasti kau kunanti. Night Is."

"Night juga, :)" dengan singkat kami pun mengakhiri chat di malam itu.

1571, adalah simbol namanya yang selalu kuingat sampai sekarang, dan begitulah. Akan ada sebuah kenangan di setiap kisah yang menghampiriku. Sayangnya, hanya ingatan yang menjadi kenangan di kisah asmara pertamaku, dan itu pun tak banyak. Yang pasti, aku menikmatinya.

Hanya potret di atas kertas dari sketsa wajahnya yang menjadi kenangan bagiku, sosok wanita cinta pandangan pertama. Di kisah asmaraku yang kedua, cukup slow, dan aku merasakan apa itu cinta. Ini adalah kisah remaja, ambil positifnya dan jangan ambil negatifnya. Aku berharap kalian bisa memilah kisah yang akan kutulis setelah ini.

Setiap penulis pasti ingin menghadirkan happy ending di tiap kisahnya. Namun kita harus ingat, yang dikata takdir pasti datang pada waktunya. Aku belum mendapatkan happy ending, jadi selamat menikmati.

Dan, ketika hari menjelma di tiap menyingsingnya mentari, menatap cakrawala, dan kicau burung menemani tiap pagi buta.

Aku dan dia, ya bisa dibilang kami. Saatnya bersekolah dengan tujuan yang berbeda. Aku ke sekolahku, dia ke sekolahnya. Dan kalian tahu, yang sama dari kami yaitu saling mencinta. Merawat butiran-butiran kata, menumbuhkan benih asmara. Dan pada akhirnya, terlahir buah hati yang teramat tulus menjadi teman canda dan tawa, setia.

To be continue . . .