webnovel

#2 ~ Street Music

Pria yang Amy tabrak menatap tajam kearahnya. Merasa bersalah Amy memasang muka memelas dan ajaibnya ia berhasil. Jurus yang diajarkan Laurent--temannya. Tapi entah apa akan bekerja pada pria yang ada didepannya ini atau tidak.

Amy menyerahkan bouquet bunga itu dengan tangan gemetar. Ingin sekali ia lari dari tempat ini, secepatnya. Tapi pastinya hal itu akan dianggap tidak sopan. Ia seorang gadis dewasa, karena itu ia akan bertanggung jawab. Yah, meskipun sekarang ini Amy masih berumur delapan belas tahun.

Amy melihat kondisi bouquet yang tidak lagi bagus. Beberapa kelopak mawar berjatuhan bahkan ada tangkai yang patah. Sepertinya Amy secara tidak sengaja telah menginjak bouquet malang itu. Mungkin. Sambil menelan ludah Amy menatap pria di depannya. Seketika hati Amy mencelos dan menciut karena tatapan dingin pria itu.

"Aku-aku akan menggantinya," ucap Amy lirih.

"Tidak perlu," balas pria itu dingin, sedingin tatapan matanya.

Amy melihat pria itu berlalu meninggalnya berdiri di tengah jalan seperti orang idiot. Dengan langkah cepat Amy menghampiri pria itu. "Aku bersikeras."

Pria itu berhenti mendadak, membuat Amy berhenti mendadak pula dan sialnya ia menabrak punggung keras pria itu. "Aduh."

Amy melihat pria itu berbalik dan menatapnya, memperhatikan Amy dengan seksama. Amy juga ikut-ikutan melihat dirinya sendiri mulai dari ujung kaki. Semua baik-baik saja, batin Amy. Ia juga menyeka mukanya, kalau-kalau masih ada sisa croissant yang tertinggal di mulutnya.

"Aku tidak mengharapkan apa-apa darimu, Mademoiselle."

Sombong, itulah kesan pertama yang terlintas di benak Amy saat melihat pria itu. Dengan tubuh yang berbalut jas mahal membuktikan bahwa pria itu dari kalangan berada. Amy mengerucutkan bibirnya. Amy sama sekali tidak suka dengan pria jenis ini.

"Baiklah." Amy tidak mau ambil pusing dengan masalah sepele ini.

Amy hanya memperhatikan ketika pria itu pergi dan menghampiri tong sampah lalu membuang bouquet mawar yang rusak itu. "Sayang sekali."

Amy menggedikkan bahunya dan segera berlari pulang. Ia sudah sangat terlambat. Neneknya pasti sudah menunggunya di rumah. Dengan berlari kecil Amy bersiul.

***

Amy menceritakan semua yang dia alami di kota. Dan dengan senang hati nenek Giselle mendengarkannya dengan seksama. Tidak seperti ibunya. Sebenarnya Amy adalah gadis yang terbuka dan suka bercerita tetapi ibunya lah yang membuatnya menjadi gadis yang tertutup. Sungguh ironis bahwa ibunya yang harus mematikan jiwa mudanya. Hah!

Tapi sekarang berbeda, di rumah kecil nan sederhana ini. Amy bebas melakukan apapun yang ia suka. Sekarang ia juga punya pekerjaan, jadi bisa membantu keuangan nenek Giselle meski tidak banyak.

"Ah... kau makanlah sisanya dan jangan lupa cuci piringnya," ucap nenek Giselle, "punggungku tidak bisa diajak kompromi."

"Tentu, Nek. Istirahatlah," balas Amy sambil memapah lengan neneknya.

Dengan senang hati Amy akan membantu neneknya untuk mengurus rumah kecil ini. Karena rumah ini menjadi sudah menjadi rumahnya juga sekarang.

Amy menatap gundukan tas yang ada di kamarnya. Ibunya lah yang mengirim tas-tas itu langsung hari ini. Tidak menyangka ibunya-Nora sendiri yang mengantarkannya. Sambil menggeleng Amy mulai merapikan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari.

Butuh waktu merapikan semua pakaian itu. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam satu dini hari. Amy sama sekali tidak merasa mengantuk. Dibukanya jendela kamarnya dan menarik kursi yang terdapat tidak jauh dari sana. Sambil memandang hamparan ladang lavender, Amy bertopang dagu. Pikirannya melayang membayangkan orchestra kecilnya hari ini.

Dengan tidak sabar Amy bangkit dari kursi kayu tua itu. Meski tua namun masih kuat karena terbuat dari kayu Mahoni. Amy menggeret tas cello yang ia simpan di bawah tempat tidur dan mengeluarkan alat musik itu.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Amy pada cello-nya.

Gila, tidak. Amy sudah menganggap cello itu seperti bagian dari tubuhnya sendiri. Ia bahkan menamai cello itu dengan nama Machbeth. Lady Machbeth. Amy amat menyayangi cello itu karena satu-satunya peninggalan dari kakeknya-Rudolf, untuknya.

Amy kembali duduk di kursinya dan mulai menyetel pegbox, menyesuaikan dengan Cello Sonata No.1 in E minor karya Brahms. J.

Dengan merdu Amy mulai melantunkan lagu itu, mengisi kesunyian malam, ditambah dengan desahan angin malam yang membelai rambutnya dengan lembut. Amy sangat menikmati waktunya ketika bermain cello. Seakan ia hidup hanya di dunianya. Hanya Amy dan Lady Machbeth. Sesaat lari dari kerasnya kehidupan tidak masalah 'kan? Itu yang selalu Amy katakan pada dirinya sendiri.

Esok ia akan memulai awal yang baru, pikir Amy dengan tidak sabar.

***

"Kau menyelamatkanku hari ini," tepuk Francis di bahu Vincent.

"Dan kau semakin merusak dirimu sendiri," balas Vincent.

Vincent sangat bertolak belakang dengan Francis. Meski mereka saudara kembar, tapi tetap mereka saling menyayangi. Vincent yang memilih menerima tampuk kepemimpinan keluarga Roux, mengembangkan usaha yang telah didirikan nenek moyangnya selama berabad-abad. Sedangkan Francis lebih memilih menghamburkan semua jerih payah yang sudah Vincent dapatkan. Dan Vincent tidak keberatan.

Mereka adalah saudara yang saling melengkapi. Terkadang Vincent merasa iri dengan kebebasan yang dimiliki Francis. Dan terkadang juga ia bingung, siapa yang sebenarnya kakak disni?

Francis yang lebih tua sepuluh menit dari Vincent. Nyatanya tidak membuat Francis sadar umur. Ditambah dengan hampir setiap harinya berganti pasangan dan juga mabuk-mabukan. Meskipun Francis tahan minum.

"Sesekali kau harus menikmati hidup, V." Francis mengerling pada Vincent.

"Menikmati hidup dengan cara merusak diri sama sekali tidak cocok untukku," balas Vincent datar.

"Kau tahu kalau Sophia menyukaimu?" kata Francis.

Tidak ada jawaban. Ruang tamu apartment itu hening untuk beberapa saat. Vincent sangat tahu bahwa Sophia menyukainya. Tapi ia sama sekali tidak tertarik dengan watina itu. Menjadikan Francis sebagai pelampiasan, dan kakaknya itu juga tidak keberatan.

"Kalau kau mau, untukmu saja." Vincent terlihat jengah dengan pembicaraan ini.

"Aku bukan pengepul, saudaraku," ucap Francis sambil menyunggingkan senyumnya, "aku bisa mencari wanitaku sendiri."

"Dan Sophia, dia gadis bodoh. Sama sekali bukan tipeku," tambah Francis, "hanya kesenangan sesaat."

Untuk sesaat Vincent melihat Francis yang memasuki kamarnya lalu kembali berkutat dengan gadget-nya. Dan untuk sesaat pula Vincent kembali teringat dengan gadis yang menabraknya tadi. Gadis yang berkebalikan dari Sonya yang super canggih dalam segala hal. Vincent menyunggingkan senyumnya saat mengingat gadis bersurai seperti coklat susu itu mengusap mulutnya.

"Hm... sepertinya ada yang menarik?" tuduh Francis yang entah sejak kapan berdiri diambang pintu kamarnya sambil bersedekap.

"Bukan apa-apa," sanggah Vincent.

Francis melayangkan tatapan menyelidik ke arah Vincent. Tentu tidak akan mudah membohongi Francis. Mereka sama-sama tahu sifat masing-masing. Meskipun tidak meyakinkan Vincent berusaha bersikap biasa saja.

"Ya, bukan apa-apa."

Tbc...

***

______________________________________

Index;

Mademoiselle-Nona, dalam bahasa Perancis

Pegbox-bagian kepala cello untuk mengatur kekencangan senar

______________________________________