2 #1 ~ Colmar

Amy sangat menyukai kota tempat tinggal neneknya. Kota Colmar terkenal karena keindahannya dan menjadikan kota itu sebagai salah satu kota turis yang paling banyak dikunjungi. Dengan jalanan batu persegi yang tertata rapi membuat tatanan kota itu semakin apik. Bunga-bunga menghiasi setiap rumah dengan bermacam warna dan bentuk. Mulai dari snowdrop sampai carnation bermekaran dengan indah, karena memang menjelang musim semi.

Tidak hanya setiap rumah namun juga sepanjang jalan dan sepanjang tepi sungai. Kota yang disebut dengan Petite Venice - Little Venice ini memang sungguh seperti kota di dalam negeri dongeng. Di kota inilah Amy akan menjadi musisi jalanan, kalau beruntung ia akan bermain di bebebapa café. Semoga.

Sebenarnya Amy tidak ingin menyusahkan neneknya yang sudah tua renta. Tapi wanita tua itu jelas sangat suka saat Amy mengunjunginya. Karena Nenek Giselle tinggal sendirian. Sepertinya kali ini ia akan tinggal lama di sana. Amy tersenyum girang sambil melompat kecil. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Amy untuk sampai di rumah neneknya. Cukup berjalan kaki selama tiga puluh menit.

Tidak banyak yang berubah setelah kunjungan Amy musim panas yang lalu. Terletak dipinggiran kota. Rumah itu masih dihiasi bunga warna-warni. Amy mengetuk pintu dan menunggu dengan sabar. Tidak lama setelahnya Nenek Giselle membukakan pintu untuk Amy. Peluk dan cium menjadi ucapan selamat datang.

"Apa ibumu mengusirmu lagi?" tanya wanita tua itu.

Amy hanya mengangguk, berusaha senyaman mungkin di tempat duduknya. Lalu menyesap lemon tea buatan Nenek Giselle. Amy melihat raut kesal di wajah neneknya, bukan kepada Amy melainkan anaknya yang tidak lain adalah ibu Amy.

"Kau," ucap Nenek Giselle sambil mengacungkan tangannya, "tinggal lah disini, seterusnya."

Amy tidak menyangka neneknya itu akan mengucapkan kalimat itu. Hah! Di luar dugaan Amy sangat senang mendengarnya. "Benarkah, Nek?" tanya Amy memastikan.

"Tentu saja." balas Nenek Giselle tegas.

Terkesan seperti anak durhaka memang, namun Amy lebih senang tinggal bersama neneknya ketimbang ibunya. Ia merasa lebih bebas bermain cello jika tinggal bersama Nenek Giselle. Tidak seperti ibunya yang meminta Amy untuk mengubur dalam-dalam impiannya sebagai pemain cello. Amy tidak berharap menjadi terkenal atau mengikuti kompetisi conquer, cukup bisa bermain cello sesering dan sepuasnya sudah cukup bagi Amy.

Bakat bermusik yang Amy warisi dari kakeknya, tentu ia tidak ingin menyia-nyiakannya. Sama seperti Amy, Nenek Giselle juga jatuh cinta dengan musik klasik. Dengan musik itu Kakek Rudolf mampu memenangkan hati Nenek Giselle.

"Kalau begitu, haruskah aku mengambil semua bajuku dari rumah?" tanya Amy.

"Itu bisa di urus nanti," balas Nenek Giselle. "istirahatlah dulu, kau pasti lelah."

Senyum terkembang di bibir mungil Amy. Ah, ia sangat menyayangi neneknya ini, batin Amy.

"Lihatlah, kau kurus seperti itu," kata Nenek Giselle, "pasti Nora tidak memberimu makan dengan benar."

Amy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukan kesalahan ibunya kalau Amy tidak makan dengan benar. Kembali lagi, semua karena ekonomi. Ibunya yang menikah lagi membuat Amy harus menjadi menjadi musisi jalanan untuk mendapatkan uang. Ia tidak ingin bergantung pada ayah barunya. Dan tidak akan pernah.

"Nek, bagaimana menurutmu kalau aku menjadi musisi jalanan lagi?" tanya Amy dengan tatapan penuh harap.

"Aku janji, tidak akan terlibat dengan polisi lagi." sumpah Amy dengan cepat sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.

Amy mengkerut saat Nenek Giselle menyipitkan matanya. Lalu membuang nafas. "Terserah kau saja." ucap wanita tua itu.

Seketika Amy memeluk erat neneknya. Pekik Amy memenuhi rumah mungil itu. Ia girang bukan kepalang.

﹏♪﹏

Amy berjalan disepanjang jalanan kota Colmar sambil mencubit croissant lalu mengunyahnya. Gadis itu sedang mencari tempat yang pas untuk konser mininya. Tentu harus bebas dari polisi, tidak seperti yang terakhir kali.

Menimbang beberapa tempat yang cocok ternyata tidak mudah. Kebanyakan tempat sudah ditempati seniman lain. Satu-satunya cara hanya ikut dalam rombongan mereka.

Lucky, Amy bertemu dengan kepala grup pemusik jalanan dan ia diperbolehkan untuk bergabung dengan mereka. Bukan kelompok yang besar tapi cukup banyak penggemar. Sempurna, batin Amy.

Karena hari ini Amy tidak membawa cello kesayangannya, kali ini ia hanya menonton di pinggir. Menikmati berbagai macam lagu yang di mainkan oleh grup musik barunya. Sayang sekali, batin Amy.

"Hei, anak baru?" tanya sebuah suara dibelakang Amy.

Amy mengangguk cepat. "Iya."

"Kau bisa bermain sekarang?" tanya gadis itu, "ah, namaku Sera."

"Salam kenal, Sera. Aku Amy," balas Amy, "tapi aku tidak membawa alat musikku."

"Tenang saja, kami punya cadangannya." Kata Sera sambil menarik tangan Amy.

Hari ini bener-benar hari keberuntungan untuk Amy. Tidak menyangka ia akan bermain secepat ini. Setelah mempelajari sedikit partiture yang Sera berikan, Amy bergegas mengecek cello yang akan dimainkannya. Tidak sulit bagi Amy, karena ia sudah menghafal keseluruhan partiture yang Sera berikan.

Disambut oleh banyaknya tepuk tangan membuat Amy sedikit grogi. Sama sekali tidak sama ketika ia bermain solo. Ia harus bisa menyesuaikan permainannya dengan yang lain. Melantunkan Ode to Joy karya Beethoven.

﹏♪﹏

Hari yang melelahkan bagi Vincent, nanum pria itu menolak untuk tumbang di tengah kesibukannya. Mewarisi kerajaan bisnis keluarga Roux bukanlah hal yang mudah. Di dalam mobilnya ia masih harus berkutat dengan kertas-kertas yang semakin lama membuatnya semakin muak. Ia membutuhkan refresing. Karena itu Vincent terbang ke Perancis.

Bekerja sekaligus liburan, Vincent memilih kota Colmar. Tanah kelahiran ibunya. Juga tempat yang menyimpan banyak kenangan. Kota Colmar merupakan kebalikan dari sifat Vincent yang kaku dan tegas. Vincent tersenyum kecut.

Iphone Vincent bergetar menunjukkan nama Francis.

"My Bro, apa kau sudah sampai?" tanya suara diseberang telepon.

"Oui." jawab Vincent singkat.

"Bagus. Kalau begitu belikan bunga untukku."

"Bunga? Aku tidak tahu kau suka bunga," balas Vincent sambil menyeringai.

"Bukan untukku, tapi untuk Sophia. Dia akan membunuhku kalau bunga-bunga sialan itu tidak ada."

"Itu urusanmu, Fran," ucap Vincent dingin.

"Oh, ayolah. Bantulah aku." kata Francis.

"Baiklah."

Setelah menutup telepon itu Vincent kembali memandangi jalanan kota Colmar. "Ke toko bunga." ucap Vincent singkat pada sopirnya.

Tidak terlalu sulit untuk mencari toko bunga. Setelah memesan bouquet bunga mawar merah Vincent kembali ke tempat mobil terpakir. Sampai ia melihat banyaknya orang berkerumun tidak jauh dari toko bunga itu. Menikmati musik jalanan. Tertarik dengan kerumunan itu, Vincent melangkahkan kakinya kesana.

Sambil memejamkan mata Vincent menikmati setiap alunannnya. Tanpa sadar Vincent terpaku di tempatnya berdiri, cukup lama sampai semua kerumunan itu bubar. Ia telah banyak menikmati musik klasik sebelumnya. Namun tidak dengan yang ini. Musik yang mereka mainkan serasa hidup dan bebas. Berbeda, hanya itu yang bisa Vincent gambarkan.

Tersadar saat sesosok tubuh mungil menabraknya dan membuat bouquet yang digenggamnya terjatuh. Seketika mata Vincent saling bertemu dengan mata gadis mungil itu.

"Maafkan aku, Tuan." kata gadis itu sambil memungut bouquet yang terjatuh.

Seletah memberikannya, segera gadis itu mundur beberapa langkah dari Vincent. Dengan raut cemas gadis itu membungkuk pada Vincent.

"Sekali lagi, maafkan aku."

Tbc...

﹏♪﹏

______________________________________

*Index;

Partiture - lembar not musik

Oui - ya, dalam bahasa Perancis

______________________________________

avataravatar
Next chapter