webnovel

Antologi

Isi sesuai judul, kumpulan cerita (cerita pendek, mungkin ada yang sedikit panjang, ada juga yang agak panjang) tanpa benang merah. Suatu kali mungkin ada nama tokoh yang sama, itu hanya karena Author malas berpikir. Suatu kali mungkin ada cerita yang seolah tersambung ke cerita lain, itu hanya karena Author kurang kreatif. Satu cerita mungkin akan sangat kamu benci, tapi bisa jadi kamu akan jatuh cinta pada cerita yang lain. Jadi, silakan menikmati…

NurNur · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
25 Chs

Prasangka #05

∽ Dua Jam Setelah Penemuan... ∽

Dari ketinggian, perkampungan di atas laut Pulau K akan tampak seperti leter T dengan jajaran rumah yang saling berhadap-hadapan. Meski sisi kanan dan kirinya tidak sepenuhnya sama panjang.

Pulau K sudah ada sebelum jaman kemerdekaan. Hanya saja saat itu masih berupa tempat persinggahan dan peristirahatan para nelayan. Ada sekitar 26 rumah yang dibangun dengan sarana dan prasana berupa masjid, Posyandu, PAUD, SD, dan tempat penjemuran rumput laut. Tidak lupa keramba ikan milik warga.

Sebuah kejadian tidak terduga kemudian mengubah perkampungan yang sebelumnya tenang dengan keindahan lautnya yang bersahaja menjadi bergolak. Sebuah mayat ditemukan pada siang hari yang tidak berbeda dengan siang-siang lain pada hari yang sama. Mayat seorang wanita yang juga merupakan warga kampung.

Penemuan mayat tepat terjadi di hari kedua kedatangan Ilmi dan Imam. Tujuan kedatangan yang seharusnya bisa digunakan untuk berlibur dan menenangkan diri akhirnya berubah total.

Kamila Ilmi adalah seorang wanita berusia 27 tahun, tinggi 165 cm, dan bentuk tubuh ramping. Kulitnya berwarna sama seperti rata-rata penduduk yang mendiami negara tropis. Matanya terlihat besar karena kelopak mata yang menonjol. Hidungnya mancung dengan batang hidung tinggi seperti orang Arab. Rambutnya panjang, hitam, dan bergelombang. Perawakannya memang jauh dari kategori imut, tapi secara garis besar Ilmi adalah seorang wanita yang cantik dengan senyum manis –walau ia jarang sekali tersenyum.

Sebuah insiden yang merengut nyawa anak laki-lakinya kemudian membuatnya menjadi pribadi yang lebih tertutup. Senyum manisnya pun semakin jarang ditunjukkan. Ia tahu apa yang terjadi pada anak laki-laki adalah rangkaian dari takdir hidup yang memang harus ia lewati. Meski tahu, Ilmi tetap tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan berduka. Hanya dengan duka ia merasa bisa terus mengenang anak lelakinya dengan adil.

Dengan kedatangan Imam ke tempat yang sama tanpa bisa Ilmi menghindar, seluruh hari yang seharusnya bisa ia lewati sebagai masa-masa pemulihan diri berubah berantakan. Belum lagi masalah penemuan mayat. Benar saja, hari tenang itu tidak ada. Sekarang semua hal yang ingin dihindari justru mengikutinya. Bahkan, meski ia sudah tidak lagi di dataran yang sama.

Imam Adzriel. Alasan kedatangan pria itu murni hanya untuk membuntuti Ilmi.

Walau tahu Ilmi butuh waktu untuk berpikir dan menenangkan diri, Imam tetap membuntut dan selalu menempel ke mana pun wanita itu pergi. Imam tahu pasti apa yang Ilmi butuhkan, lebih tepatnya berusaha mengerti, tapi tetap saja ia tidak memberi izin Ilmi pergi terlalu lama darinya atau terlalu jauh. Hatinya memiliki ketakutan bahwa jarak dan waktu akan membuat Ilmi terbiasa tanpanya. Usianya dua tahun lebih tua tapi terkadang ia masih tidak memiliki kepercayaan diri untuk berpikir dewasa.

Sebagai seorang petugas kepolisian, Imam memiliki bentuk tubuh yang bagus, atletis dengan dada bidang. Tingginya pun sempurna untuk ras Asia. Ia tahu dengan baik cara berpakaian dan selalu rapi. Untuk kepribadian, Imam sama sekali tidak memiliki sisi keren. Imam tipe yang sering bersikap ceroboh dan sembrono. Cara berpikirnya yang hanya sesekali dewasa membuat Ilmi memberinya cap sebagai pria berpikiran kerdil.

Hal terbaik yang dimiliki Imam sebagai seorang pria adalah pendiriannya yang kuat. Sebagai seorang wanita, poin terpenting bagi Ilmi dalam memilih pria adalah berpendirian. Hingga sekarang, di saat ia tidak sepenuhnya ingin melepaskan tapi tidak bisa mempertahankan, ia bersyukur Imam masih terus ada.

Penemuan mayat otomatis membuat masa cuti yang seharusnya bisa Imam habiskan dengan bersantai bersama daftar rencana memperbaiki kembali pernikahannya, terpaksa dirombak ulang.

Suara teriakan dan petir yang pecah secara bersamaan adalah awal segalanya. Para tetangga keluar dari rumah dan suara ribut-ribur terdengar dari berbagai tempat. Atmosfer dipenuhi dengan perasaan was-was, ketakutan berlebih, dan berbagai prasangka.

Untungnya kedatangan Imam untuk mengamankan TKP tepat waktu. Sebagai seorang petugas dengan pekerjaan melakukan penjagaan dan pengaman, Imam tahu benar apa yang menjadi prioritas.

Cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi tidak memungkinkan polisi kota untuk bergerak cepat melakukan penanganan. Belum lagi ada seorang pria yang menaruh kecurigaan yang besar terhadap Imam dan Ilmi bahkan setelah Imam mengungkapkan identitasnya sebagai polisi.

Penemuan mayat, semua jadwal yang berantakan, petugas yang tiba terlambat, dan dicurigai. Kesialan menimpa Imam berturut-turut. Semuanya sempurna. Seolah tidak ada lagi yang lebih buruk, Ilmi mengajukan penawaran untuk melakukan penyelidikan.

Menghadapi hal-hal seperti ini adalah keadaan yang sangat ingin Imam hindari. Namun apalah daya, Ilmi justru mendekat tanpa ragu. Imam sendiri tidak memiliki kuasa untuk menghalau takdir yang datang.

Bukankah Ilmi datang untuk melupakan, untuk menenangkan diri tapi kenapa ia tidak menghindar saja dan menahan diri. Imam sama sekali tidak habis pikir.

"Kalau saya setuju dengan saranmu apa kamu juga bisa setuju untuk enggak akan menggunakan penglihatanmu?" Imam memulai tawar-menawar. "Seperti janji di awal untuk enggak terlibat, saya yakin kamu juga enggak akan bisa menepatinya."

"Apa kita punya pilihan?"

Sementara Ketua RT dan para warga melakukan diskusi untuk membulatkan keputusan mengenai apa yang akan mereka sepakati, Imam dan Ilmi juga melakukan hal yang sama di tempat berbeda. Berdebat, saling menumpahkan emosi.

Imam tidak bisa langsung menjawab. "Sekarang enggak tapi sebelumnya ada." Suaranya melembut karena kehabisan kata-kata.

"Benar. Sekarang kita enggak lagi punya pilihan jadi kita tunggu hasil pembahasan. Kalau mereka enggak setuju, aku enggak akan bicara apa-apa lagi. Tapi kalau semua orang setuju, kita lakukan." Ilmi melakukan penawaran terakhir. Dalam hati ia yakin akan menang. Kata-katanya barusan hanya untuk menghindari perdebatan panjang dengan Imam.

Orang yang pertama kali menemukan korban adalah Bu Nunik Rusmiati. Seorang wanita berusia 42 tahun, bertubuh kurus. Wajahnya teramat tirus sehingga tulang pipinya terlihat menonjol. Saat muda ia adalah seorang wanita pekerja keras. Kini, ia terlihat lebih tua dari usianya namun sisa-sisa kematangan dalam menjalani hidup terpancar dari caranya bersikap.

Bu Nunik mengunjungi kediaman korban untuk mengantarkan kolak yang baru dibuatnya. Korban tidak ikut rapat pagi di aula kampung dan sama sekali tidak terlihat sejak kemarin. Akhir-akhir ini emosi korban sedang buruk, ia terlihat pucat, dan lebih kurus. Ingin memastikan keadaan korban, Bu Nunik berinisiatif datang dengan membawa semangkuk kolak. Tidak tahunya hal yang didapatinya justru lebih dari mengejutkan.

Bu Nunik adalah seorang ibu tunggal. Meski seorang wanita, ia adalah nelayan yang tangguh. Dengan kemampuan bertahannya yang tinggi, ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan dua orang anaknya. Anak pertamanya Elis, rencananya akan menikah bulan depan. Sementara anak keduanya Leli, masih usia sekolah.

Orang kedua yang melihat mayat korban dan menyebarkannya dengan berteriak-teriak keliling kampung adalah Suryono, seorang pemuda 23 tahun. Setelah kedua orang tuanya meninggal 5 tahun lalu, kejiwaan Suryono tidak lagi stabil. Sebelumnya ia adalah seorang pemalas yang kerjannya hanya ongkah-ongkah kaki seharian di rumah. Jangankan mencari pekerjaan atau membantu ayah mengurus keramba, disuruh ibu melakukan hal-hal kecil saja ia ogah. Kepergian orang tuanya yang begitu cepat kemudian membuatnya sangat terguncang.

Suryono adalah seorang pria tinggi, kurus, dekil. Ia memiliki tahi lalat timbul di alis kirinya. Kulitnya kecokelatan terbakar sinar matahari. Satu-satunya peninggalan orang tuanya adalah rumah yang ia tempati. Warga sering meminta tenaganya untuk melakukan hal-hal kecil dan sebagai imbalan ia akan diberi makan atau uang jajan. Secara kejiwaan Suryono memang masih terguncang tapi tidak sepenuhnya gila. Ia masih bisa mengerti beberapa hal.

Keseharian Suryono hanya berkeliling kampung tanpa tujuan atau masuk ke kolong-kolong rumah saat air surut. Siang itu pun sama. Setelah mendengar teriakan Bu Nunik dan melihat korban tergeletak dari pintu yang terbuka, Suyono berkeliling kampung dengan meneriakkan kematian korban seolah dirinya adalah papan pengumuman berjalan.

Meski tidak waras, Suryono tidak pernah melakukan kejahatan atau melukai siapa pun.

Tempat kapal datang bersandar ada di bagian terdepan dari perkampungan. Bagunan Masjid berada di titik temu atau titik tengah. Sementara sekolah SD Negeri ada dibagian kiri.

Tiga tetangga terdekat dari TKP adalah keluarga Pak Jalal dan keluarga Pak Pramuka, dua rumah yang berada di depan TKP. Di sebelah kanan, berjarak cukup untuk membangun satu rumah lagi tinggal keluarga Pak Basuki.

Selain Suryono, orang yang segera keluar dari rumah dan mendekat ke TKP adalah para tetangga terdekat. Seorang pria yang suka sekali menyudutkan Imam, yang dipangil-panggil dengan nama Mas Boy juga ada di antaranya meski rumahnya berada di sisi lain.

Mas Boy adalah seorang pria bertubuh pendek dengan banyak otot. Usianya 25 tahun. Rambutnya jabrik, sementara wajahnya dibenuhi bekas jerawat. Keluarga Boy masih memiliki hubungan dengan keluarga Pak Basuki. Boy datang untuk mengunjungi rumah Pak Basuki ketika mendengar teriakan Bu Nunik.

Ketua RT sendiri, Pak Nasir, ia bergegas meninggalkan tamunya di rumah ketika seorang warganya datang dengan tergupuh-gupuh memberi laporan. Rumah Pak Nasir berada di sisi yang berlawanan. Ia berusia 46 tahun dan tinggal dengan istri dan 2 anaknya yang berusia 12 dan 9 tahun. Anak tertuanya menetap di Bontang karena disanalah ia bekerja.

"Mas Imam, Mbak Ilmi," Ketua RT muncul dari balik pintu yang terbuka lebar "Warga setuju dengan semua yang Mbak Ilmi sebutkan dan sepakat menunggu hasil penyelidikan kalian. Mereka juga setuju untuk bekerja sama jika dibutuhkan."

Keyakinan Ilmi terbukti. Imam memasang wajah tanpa ekspresi. Ia sungguh tidak mengharapkan semua berjalan seperti yang Ilmi rencanakan. Imam meraih cangkir tehnya yang telah dingin dan menghabiskannya dalam satu tegukan.

***

Salah satu cara mengetahui waktu kematian adalah dengan memeriksa kekakuan mayat. Kekauan mayat terjadi karena perubahan reaksi kimia dalam tubuh. Reaksi biasanya terjadi 2 jam setelah waktu kematian korban. Indikasinya, otot yang tadinya lemas menjadi keras dan kenyal.

1-2 jam pertama, kekakuan terjadi di bagian atas seperti kelopak mata, kepala, leher, dan rahang. 3-4 jam, kekakuan terjadi di bagian tengah seperti perut, badan, dan tangan. 4-6 jam, kekakuan terjadi di sekitar perut dan kaki. Setelah 12 jam, mayat akan mengaku secara menyeluruh dan menetap selama 24 jam. Setelah 24 jam, kekakuan akan menghilang sesuai urutan kakunya mayat.

Seorang reserse pernah mengajarkan Imam beberapa teori penting untuk melakukan penyelidikan. Reserse itu sebelumnya adalah adik kelasnya ketika masih di Sekolah Mengengah Atas, kemudian bertemu lagi di kantor kepolisian yang sama. Meski tidak berasal dari satuan yang sama, keduanya tetap sering bertemu dan mengobrolkan beberapa topik terkini.

"Waktu pertama kali saya periksa, kekakuan baru terjadi di sekitar perut ke bawah. Kematiannya kira-kira 4-6 jam yang lalu." Berdasarkan teori yang pernah diajarkan padanya, Imam tahu berapa lama korban telah meninggal. "Setelah berlalu 2 jam lagi, kekakuan hampir sepenuhnya terjadi di seluruh tubuh dan lebam pada mayat enggak lagi bisa hilang dengan penekanan."

"Lebam pada mayat?"

"Selain dengan melihat kekauan, suhu tubuh, kita bisa memperkirakan waktu kematian dengan melihat lebam pada mayat. Lebam mulai tampak kira-kira 30 menit setelah kematian dan biasanya akan hilang dengan penekanan. Setelah 8 jam, meski dengan penekanan lebam enggak akan bisa hilang," jelas Imam.

Ilmi mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah meminjam sarung tangan plastik dari warga setempat, Imam bersama dengan Ilmi melakukan olah TKP. Ilmi mengambil gambar dengan kamera ponselnya sementara Imam memeriksa setiap bagian dan sudut tanpa terlewatkan.

Melakukan penyelidikan terhadap suatu kasus bukanlah bagian dari tanggung jawab pekerjaan Imam dan sebelumnya ia adalah tipe orang yang menjunjung tinggi aturan. Nyatanya, sekarang ia berkeliaran di TKP untuk melakukan pemeriksaan.

Semua warga telah berada di dalam rumah masing-masing. Berlindung dari hujan yang semakin deras dan menghangatkan diri. Satu-satunya warga yang masih bertahan adalah Ketua RT, terkait tugasnya untuk senantiasa mengawasi Imam dan Ilmi. Ia hanya berdiri mematung di teras. Tidak berani lebih dekat lagi. Takut kalau-kalau sidik jari atau pun jejak DNAnya tertinggal. Ia akan dicurigai oleh polisi dan ditanyai macam-macam. Menjaga jarak lebih baik.

Satu orang lagi yang masih berada di luar, Boy. Pria itu masih bertahan di rumah keluarga Pak Basuki. Ia mondar-mandir dengan cemas. Sesekali berjalan ke teras untuk memastikan apakah Pak Nasir masih berdiri di sana. Jika iya, sudah pasti Imam dan Ilmi juga masih berada di tempat itu, artinya pemeriksaan belum selesai.

"Ini yang saya sebut dengan keanehan." Imam menunjuk leher korban dengan pulpen di tangannya. Selain mengenakan sarung tangan, Imam juga membawa pulpen, kertas untuk mencatat, dan plastik yang digunakan untuk mengamankan apa pun yang mungkin akan ditemukan sebagai bukti.

Dalam kertas catatan Imam tertulis waktu korban ditemukan, sekitar pukul 12 siang.

Posisi tubuh korban terlentang dengan kepala menghadap ke sebelah kiri. Kakinya berada dekat dengan kursi makan. Bintik pendarahan yang Imam temukan pada mata dan wajah menandakan korban meninggal karena mati lemas.

"Ada bekas alat penjerat di sini tapi kenapa pelaku juga harus menggunakan tangan untuk mencekik korbannya?" Imam melanjutkan begitu Ilmi memperhatikan leher korban dari dekat. Ada bekas alat penjerat bersamaan dengan jejak kuku.

"Bisa saja, 'kan... kalau alat penjeratnya putus," Ilmi berargumen.

Imam mengangguk. "Mungkin. Bisa jadi."

Walau mengangguk, Imam tidak sepenuhnya yakin dengan argumen Ilmi. Dilihat dari jejak tali penjerat, ia tahu dengan ketebalan tali, alat penjerat tidak akan bisa putus begitu saja. Meski tidak sepenuhnya setuju, ia tidak memiliki pendapat lain yang lebih masuk akal.

"Tapi alat penjeratnya tidak ada di mana pun." Ilmi memeriksa lantai dan kolong-kolong meja. Tidak melihat ada tali di mana pun ia mencari. Kaki Ilmi justru menginjak kancing plastik. Ia memungutnya, kemudian memeriksa pakaian korban dan mencocokkannya. "Cocok."

"Ha?!" Imam berseru.

"Lihat apa?" Ilmi berkata sinis. Lirikannya mematikan.

"Bukan, bukan!" tepis Imam cepat, tahu ke mana arah pikiran Ilmi. "Ada bekas kuku. Lihat!" Gaun tidur yang korban gunakan terbuat dari kain katun yang mudah kusut sehingga jejak-jejak yang tertinggal bisa bertahan lama. "Bentuknya aneh..."

Ilmi menutupi kembali tubuh korban "Apa artinya?" tanyanya tidak mengerti. "Dia membuka paksa sendiri pakaiannya?"

Jejak kuku yang tertinggal pada pakaian korban memiliki bentuk yang tidak seperti orang lain yang berusaha membuka paksa pakaiannya, melainkan korban sendiri. Bagian kuku terkecil yang adalah jari kelingking berada di susunan terbawah dari jejak kuku lain yang sedikit lebih besar. Jika benar orang lain yang memaksa membuka seharusnya susunannya terbalik. Kuku terkecil seharusnya berada di bagian teratas.

"Sebenarnya saya sempat melihat korban sebelum meninggal," Imam berkata pelan.

"Apa?"

"Pagi tadi, sebelum kita ke rumah Pak RT," Imam menjelaskan. "Aku berkeliling sampai SD. Saat akan kembali saya mendengar suara duk, duk. Waktu akan memeriksa, pemilik rumah menyalakan televisi dan menaikkan volumenya. Kupikir dia mungkin enggak mau apa yang sedang dikerjakan menarik perhatian orang."

"Waktu kejadiannya?"

"Kira-kira sekitar setengah tujuh." Imam mengangkat bahunya tidak yakin. Jam tangannya tertinggal di rumah jadi ia tidak bisa sering-sering memastikan waktu seperti kebiasannya.

Ilmi mengelus dagunya berpikir. "Korban ditemukan meninggal sekitar pukul 12 siang. Waktu kematian 4-6 jam lalu berarti antara pukul 6-8 pagi. Kamu yakin itu korban? Bukannya pelaku? Bisa jadi waktu itu korban sudah meninggal atau pelakunya sedang berusaha membunuh korban."

Imam menggeleng kuat-kuat. Kali ini ia tampak yakin. "Saya memang tidak melihat wajahnya, tapi jelas itu tangan perempuan karena terlihat ramping dan... kidal."

"Kidal?" ulang Ilmi. "Dari mana kamu tahu korban kidal?"

"Lihat!" Imam menunjuk telapak tangan sebelah kiri korban. "Dia kapalan di bagian ini. Itu tandanya kiri adalah tangan yang lebih dominan. Lagi pula waktu itu pintu dan jendela terbuka. Sangat riskan melakukan pembunuhan dengan kecerobohan seperti itu."

"Anggap pelaku tahu korbannya kidal, seharusnya tahu kalau pelaku dan korban saling kenal, dan saat itu korban memang sudah meninggal. Bagaimana kalau itu dilakukan untuk membuat alibi?" Ilmi kembali berargumen.

"Mungkin. Bisa jadi. Kita bisa masukkan pendapat itu untuk kemungkinan lain." Imam bangkit, menjauh dari jenasah korban. Ia masih memeriksa. "Satu lagi selain alat penjerat yang hilang... HP."

"Benar."

Di abad ini, ponsel bukan lagi termasuk barang mewah. Semua orang dari semua kalangan punya minimal satu. Bagi banyak orang ponsel sama penting seperti kebutuhan pokok, pangan, maupun sandang.

Setelah berdiri selama beberapa menit untuk mengamati selurah isi rumah, perhatian Imam nyaris luput pada jendela. Ia belum memeriksanya sama sekali. Saat pertama kali masuk, jendela masih terbuka. Imam yang menutupnya karena takut hujan dan angin yang tampias akan merusak kesterilan TKP.

Jendela dibuka, kemudian Imam bersyukur tidak sampai melewatkan pemeriksaannya yang satu ini. "Tolong ambilkan saya plastik di atas meja makan yang tadi kita bawa," katanya pada Ilmi

***

Cerita ini hanya fiktif, hanya latar tempat yang nyata. Kebiasaan, nama orang, dan yang lainnya tidak nyata.

NurNurcreators' thoughts