webnovel

Antologi

Isi sesuai judul, kumpulan cerita (cerita pendek, mungkin ada yang sedikit panjang, ada juga yang agak panjang) tanpa benang merah. Suatu kali mungkin ada nama tokoh yang sama, itu hanya karena Author malas berpikir. Suatu kali mungkin ada cerita yang seolah tersambung ke cerita lain, itu hanya karena Author kurang kreatif. Satu cerita mungkin akan sangat kamu benci, tapi bisa jadi kamu akan jatuh cinta pada cerita yang lain. Jadi, silakan menikmati…

NurNur · Fantasy
Not enough ratings
25 Chs

Prasangka #06

∽ Empat Jam Setelah Penemuan... ∽

Waktu berjalan dengan cepat saat mengumpulkan keterangan. Lebih cepat dibanding dua jam lalu yang sebagian waktu dihabisakan hanya dengan duduk menunggu. Tahu-tahu sudah pukul empat sore saat mereka beranjak mendatangi rumah keenam.

Begitu olah TKP selesai, hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengumpulkan keterangan, mencari informasi. Imam bergerak bersama Ilmi mendatangi rumah warga.

Rumah pertama yang didatangi tentu saja orang yang menemukan korban. Bu Nunik Rusmiati. Ada juga Suryono di sana. Duduk di teras di atas kursi kayu dengan piring dan gelas yang sudah bersih tanpa jejak. Entah makanan apa yang sebelumnya ada di piringnya hanya dia dan si pemberi makan yang tahu.

Suryono masih tetap berada di sana saat proses tanya jawab dengan Bu Nunik selesai. Ia tidak bicara, tatapannya jatuh pada papan depan rumah yang dibasahi oleh hujan. Sama sekali tidak mereaksi kehadiran Imam dan Ilmi. Karena merasa terganggu karena Ilmi terus memandanginya, tatapan Suryono akhirnya teralihkan.

"Kita enggak mungkin menanyai dia," Imam berkata lebih dulu karena sejak tadi Ilmi teus memandangi Suryono.

Wajah Suryono tanpa ekspresi. Meski seperti itu tatapannya masih bereaksi, tidak kosong sepenuhnya. Ilmi masih memperhatikan pria itu ketika ia beranjak dari duduknya dan berlalu di bawah hujan yang mengguyur tubuhnya. Punggungnya membungkuk, tidak ada kebanggaan. Ia berjalan dengan kepala menunduk seperti seorang pria menyedihkan yang kesepian.

"Sur, masih hujan. Nanti kamu sakit!" Teriakan Bu Nunik tidak dianggap.

Karena tidak mungkin melakukan tanya-jawab dengan seseorang yang tidak sepenuhnya waras, tentu saja Suryono dilewatkan. Imam dan Ilmi beralih ke rumah selanjutnya.

Pertanyaan yang diajukan standar. Mengenai alibi sekitar waktu kematian dan hubungan dengan korban. Juga kapan terakhir kali bertemu korban. Pembicaraan menjadi lebih panjang dan lama karena orang-orang yang ditanya memberi penilaian mereka sendiri mengenai meninggalnya korban. Siapa yang mencurigakan dan mengapa orang itu layak dicurigai.

Tidak sulit meminta orang-orang bercerita dan menjawab pertanyaan yang diajukan karena dalam diskusi yang dipimpin oleh Ketua RT, mereka telah berjanji untuk ikut bekerja sama dan membantu jika dibutuhkan. Semua orang melakukannya dengan baik. Satu-satunya orang yang sulit untuk diajak bicara dan masih tetap pada sifatnya yang menyebalkan adalah Boy.

"Kalau Mas Boy tidak mau dicurigai lebih baik jawab saja pertanyaan kami!" Kalimat tegas dari Ilmi bisa dengan cepat membungkam mulut Boy yang berbisa.

Imam dan Ilmi mendatangi satu rumah terakhir sebelum kembali untuk menghangatkan diri. Pakaian mereka telah setengah basah dengan klem celana yang dipenuhi bercak-bercak air hujan.

Waktu yang tersita tidak hanya dihabiskan untuk mengajukan pertanyaan pada rumah-rumah yang dikunjungi. Beberapa kali mereka harus mampir ke rumah yang tidak masuk dalam daftar kunjungan karena dipanggil, karena orang-orang penasaran dengan perkembangan penyelidikan yang dilakukan. Hal itu terjadi beberapa kali ketika keduanya melewati rumah warga lain untuk sampai di tempat yang dituju.

Ada beberapa hal baru yang berhasil mereka temukan. Juga beberapa rumor. Sayangnya, jika semuanya dikumpulkan tetap tidak mempersempit kemungkinan siapa pelaku pembunuhnya. Setelah mengumpulkan keterangan, setiap orang jadi terkesan memiliki motif.

Beberapa warga yang dimintai keterangan adalah rumah-rumah yang berada dekat dengan TKP. Rumah keluarga Pak Basuki, Pak Pramuka, dan Pak Jalal. Ketiganya ditanyai lebih banyak dan lebih mendetail dari yang lain. Imam ingin tahu apakah ada suara-suara seperti pertengakaran, atau teriakan yang terdengar. Pun jika ada suara mencurigakan lainnya.

Nihil. Tidak terdengar suara apa pun yang dianggap mencurigakan.

Penemuan baru yang cukup mengejutkan mengenai korban pernah mengalami percobaan pemerkosaan. Sesuatu yang diceritakan ketika berada di rumah Pak Jalal. Anehnya warga yang lain justru hanya menganggapnya sebagai sensasi.

"Enggak ada buktinya," jawab Pak Jalal ketika Imam bertanya mengenai alasannya.

"Mas Boy, orang yang waktu itu dituduh lagi sama pacarnya," istrinya menimpali.

Bapak dan Bu Jalal adalah pasangan suami-istri yang tidak suka ikut campur. Mereka cenderung menghindari masalah-masalah yang nantinya akan menyeret mereka ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan.

Pak Jalal adalah seorang pria bertubuh gempal. Rambutnya yang lebat telah ditumbuhi banyak uban meski usianya belum mencapai setengah abad. Istrinya yang lebih muda 5 tahun lebih mudah diajak berpendapat.

"Boy punya pacar? Siapa?" Ilmi mengintrupsi.

"Mbak Elis. Itu, anak pertamanya Bu Nunik."

Pak Basir yang tinggal di bagian lain dari TKP, tiga rumah dari titik temu bagian kanan dan kiri kampung, juga dimintai keterangan karena dia-lah orang terakhir yang bertemu dengan korban. Istrinya adalah seorang wanita pencemas, tinggi, kurus, dan mengenakan kacamata.

Rumah Pak Basir jadi satu dengan toko, menempel tepat di samping rumahnya. Sore itu, dua hari sebelum kejadian, korban datang dengan ekspresi letih, tanpa semangat sama sekali. Penampilannya berantakan dan rambutnya kusut. Korban tidak banyak bicara. Karena yang dicarinya tidak ada, ia segera pulang.

"Apa yang dicari?"

"Sumbu kompor. Kalau enggak ada tali rafia."

"Tali rafia?" Imam mengulang.

Imam dan Ilmi saling bertukar pandangan. Imam mengangguk yakin sebagai isyarat. Barang itu adalah alat penjerat yang tidak ditemukan di TKP. Berdasarkan ukurannya, jejak yang tertinggal kemungkinan besar adalah tali rafia.

"Boy orang yang paling mencurigakan. Pasti dia pelakunya." Suara berasal dari kamar yang pintunya setengah terbuka. "Karena melawan waktu diperkosa makanya dibunuh," tambahnya kemudian berdiri di depan pintu kamarnya.

Gadis itu anak perempuan yang disebut-sebut baru datang setelah sebulan penuh tidak pulang. Anak yang keselamatannya paling dikhawatirkan si ibu. Anak itu sebelumnya juga berada di antara para warga yang memadati TKP. Setelah melihat hal mengerikan yang baru saja terjadi, ibunya kemudian menyuruh anak gadis itu pulang dan diam saja di dalam rumah.

"Hush, enggak boleh ngomong sembarangan!" Ayah mengingatkan.

"Memang kok. Kejadian malam itu juga pasti dia pelakunya. Yang diam-diam masuk ke..."

"Amel!" Ayah menekankan suaranya.

"Memang kok. Tetangga-tetangga juga pada bilang begitu. Ada yang liat katanya."

"Masuk kamar! Sekarang!" Ayah yang habis kesabaran karena peringatannya tidak dihiraukan, lebih membentak. Anak gadisnya menurut, tapi dengan wajah berlipat-lipat dan bibir dimonyong-monyongkan.

"Kalau memang Mas Boy pelakunya, kalian harus menangkapnya sekarang." Kini ini ibu yang berbicara. Nada suaranya penuh kekhawatiran. Masih seperti sebelum-sebelumnya.

Hal yang juga menarik untuk didengar adalah desas-desus mengenai korban yang frustrasi. Setelah suaminya meninggal, anak dari suami pertamanya juga meninggal karena kanker tulang.

Selanjutnya rumah yang sedang didatangi adalah rumah keluarga Pak Basuki. Istrinya seorang wanita yang sangat energik, cerewet, dan sangat suka berspekulasi sendiri. Suaminya sedang memeriksa seng yang lepas karena angin kencang sehingga ia bisa bebas mengembangkan cerita berdasarkan daya khayalnya.

"Anaknya diasuh mantan suaminya yang ada di kota. Ha! Mungkin itu bunuh diri. Dia frustrasi karena anaknya meninggal. Dia 'kan pernah teriak-teriak keliling kampung salah-salahin warga waktu anaknya meninggal. Dia bilang dia mau balas dendam ke semua orang. Jadi, karena dendam dengan warga kampung dia berbuat seolah bunuh dirinya itu pembunuhan." Si ibu bertepuk tangan seolah baru saja berhasil memecahkan sebuah misteri yang tak pernah terpecahkan selama ini. "Pasti seperti itu!" tambahnya yakin.

"Apa korban pernah mencoba bunuh diri sebelumnya?" Imam bertanya lagi.

"Hm... kalau itu saya kurang tahu soalnya dia lebih sering mengurung diri di rumah."

"Kenapa korban ingin balas dendam pada warga?" Kali ini Ilmi yang bertanya.

"Itu... waktu anaknya masih di rumah sakit, orang-orang pada enggak melaut jadi enggak ada yang bisa ngantar dia ke rumah sakit..."

"Kenapa enggak ada yang bisa ngantar ke rumah sakit?" tanya Ilmi lagi meski jawaban dari pertanyaan pertamanya belum selesai dijawab.

Pembicaraan terhenti. Ibu pemilik rumah bersikeras menutup rapat mulutnya. Ia bahkan mengalihkan pembahasan dengan menawarkan teh dan roti. Ia hendak meninggalkan keduanya ke dapur tapi Ilmi menolak dengan sopan. Jelas si ibu menghindari pembahasan.

Imam dan Ilmi mohon diri, mengakhiri tanya-jawab mereka.

Bu Eko dan seorang ibu lagi yang tidak masuk dalam daftar untuk dmintai keterangan telah menunggu di teras, memaksa agar Imam dan Ilmi mampir. Keduanya menanyakan perkembangan kasus dan menggali informasi sebisa mungkin. Bertanya mengenai identitas pelaku, sudah diketahui atau belum. Sudah menemukan petunjuk atau belum.

Begitu Imam menggeleng, kedua ibu berebut menyampaikan pemikiran mereka. Begitu seseorang selesai bicara, yang satu mendukung. Begitu seterusnya.

"Tapi Bu Nunik yang paling mencurigakan? Enggak biasanya 'kan dia peduli sama Jandanya Amran, pakai antar-antar makanan segala."

"Kenapa?"

"Itu, kalian sudah dengar yang katanya ada yang masuk rumahnya malam-malam?" Bu Eko memberi jeda, Imam dan Ilmi mengangguk bersamaan. "Tersangkanya waktu itu, kan Mas Boy. Tapi karena enggak ada bukti, enggak ada saksi juga, jadi cuma dianggap sensasi. Mbak Elis anaknya Bu Nunik marah-marah sampai datangin rumah Jandanya si Amran. Sejak itu keluarga Bu Nunik jadi punya dendam."

"Tapi Mas Boy memang jelalatan sih," ibu yang satunya menimpali.

"Gimana kalau Bu Nunik yang bunuh. Dia pura-pura ngantar makanan. Begitu lengah langsung dibunuhnya. Terus dia keluar lagi untuk teriak-teriak biar enggak dicurigai."

Imam dan Ilmi menggeleng bersamaan. Waktu kematiannya tidak sesuai. Mereka belum memberi keterangan apa pun pada warga sehingga mereka bisa bebas berimajinasi sesukanya.

Yang terparah Boy. Ia mencurigai hampir semua orang yang ada di kampung. Ia tahu akan ada beberapa orang yang menyebut namanya, menuduhnya sebagai pelaku. Tentu saja ia akan sangat berang jika sampai tahu siapa orangnya. Ia bahkan berteriak-teriak pada Imam dan mengatainya sebagai polisi yang bodoh jika percaya hal itu begitu saja.

"Saat itu dia sudah mati! Kalau kalian ingin tahu siapa yang mencurigakan, Pak Sabar juga mencurigakan. Dia pernah menuduh si janda menggoda anak laki-lakinya yang baru lulus SMA. Bu Eko juga pasti benci karena suaminya sering melirik wanita itu. Bu Nur, Bu Jalal, Bu Ani, bahkan Pak RT yang pernah mengancam akan mengusir si janda dari kampung. Mereka semua mencurigakan!" tukasnya meledak-ledak.

Begitu menyelesaikan sesi tanya-jawab di rumah terakhir, Imam dan Ilmi berpisah menuju tempat tinggal masing-masing dan membuat janji untuk bertemu 30 menit kembali lagi.

Meski telah membuat janji, tampaknya Imam memiliki pemikiran lain. Ia berencana mengunjungi TKP sekali lagi, seorang diri. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia meluncur ke rumah yang Ilmi tempati. Tentu saja tidak ada niatan untuk mengajaknya hanya mengintip, ingin tahu apa yang sedang Ilmi lakukan.

Nihil. Wanita itu tidak ada di mana pun dalam rumah. Tampaknya apa yang direncanakan Imam dan Ilmi sama. Bedanya Ilmi telah pergi lebih dulu.

Imam menggerakkan langkah tercepatnya. Baju yang baru diganti kembali basah diguyur hujan. Celana panjangnya yang tidak digulung juga dipenuhi cipratan air. Sesekali ia nyaris terpleset karena papan berubah licin saat basah, tapi tetap tidak memperlambat langkahnya. Yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah menghentikan Ilmi. Ia tidak boleh melakukannya. Tidak!

"Ilmi!"

Terlambat. Kain yang menutupi tubuh korban telah disingkap seluruhnya dan Ilmi telah melepas lensa yang membatasi penglihatannya.

Ilmi memiliki mata yang jernih dengan bola mata hitam sempurna yang selalu ditutupi dengan lensa abu-abu. Beberapa detik kemudian tatapan itu berubah pesakitan. Wajahnya pucat. Ia tentu saja tidak sakit secara fisik. Ia selalu merasa marah secara emosional setelah melihat kebenaran yang ada di balik matanya. Tatapan mata jernih itu kini mengarah pada Imam yang masih berdiri di depan pintu.

Imam tidak mengatakan apa pun. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup rapat. Ia menghela napas panjang, frustrasi. Jelas ini bukan lagi sekadar kecewa. Imam marah.

Sejak Ilmi mengatakan ingin bercerai, ia sama sekali tidak bisa mengendalikan wanitanya. Tidak tahu apa yang ada di pikirannya, terlebih apa yang diinginkannya. Ia merasa diabaikan. Lebih dari itu, tidak dianggap.

Rasanya begitu menyakiti Imam.

Mereka kembali ke rumah tanpa ada yang berbicara.

Imam sebenarnya masih terlalu marah. Kekesalannya belum mereda sedikit pun. Tapi ibu pemilik rumah tempatnya menumpang meminta Imam mengantarkan ikan yang telah dimasak dengan sambal gami untuk Ilmi.

Suami-istri pemilik rumah tahu tujuan kedatangan Imam dan kenapa memilih rumah mereka untuk menginap. Mereka mengerti dan memutuskan untuk mendukung segala usaha Imam untuk berbaikan dengan Ilmi. Itulah sebabnya ibu pemilik rumah meminta Imam untuk mengantar makanan. Mereka bisa makan berdua dan berharap setelah itu segalanya menjadi lebih baik.

"Ibu pemilik rumah mengantarkan ini," Imam berbicara dengan tak acuh.

"Ibu pemilik rumah meminta kita makan bersama?" Ilmi bertanya sebelum menerima makanan dalam tempat bertutup yang Imam sodorkan.

Imam tidak langsung menjawab. Sebenarnya ia tidak ingin memberi jawaban tapi kepalanya justru mengangguk.

"Ayo!"

Ilmi mengurungkan niatnya mengambil makanan yang Imam bawa. Ia biarkan pria itu masuk dan meletakkannya sendiri di meja makan sementara Ilmi menyiapkan nasi dan menyajikan sayur.

Ilmi bisa menebak apa yang diinginkan pemilik rumah karena pagi tadi mereka sempat berbicara. Ia bahkan dibekali dengan beberapa nasihat pernikahan. Ilmi tahu Imam sudah banyak bercerita tentang nasib pernikahan mereka dan mengatakan niatnya tinggal di sana. Dia selalu menggunakan cara seperti itu untuk mencari dukungan. Juga terhadap Mio.

"Aku..."

Suara Ilmi terendam oleh suara berat Imam. "Mungkin benar," kata pria itu "Seharusnya kita berpisah sejak awal. Jangan khawatir, setelah polisi datang besok pagi dan kasus ini selesai, saya akan pergi dari tempat ini."

Mendadak mata Ilmi terasa panas. Nasi yang sudah berada di mulut tidak mampu tertelan. Ia memerlukan segelas air. Imam terlalu jahat untuk mengangkat pembahasan seperti ini ke meja makan.

Nafsu makan Ilmi hilang. Mengangkat sendok jadi terlalu berat untuknya. Imam sendiri sejak tadi hanya mengaduk-aduk nasinya.

Hening. Satu-satunya suara bersal dari jatuhan air hujan yang begitu ribut di atas seng. Hal lain yang memecah keheningan adalah benturan sendok pada piring.

Tidak ada pembicaraan membuat satu menit berlalu sangat lama. Memang benar Ilmi yang pertama kali meminta berpisah. Sebelumnya sangat tidak mudah mengatakan hal itu pada Imam. Kini, mendengar kalimat yang sebelumnya pernah ia katakan, anehnya justru terasa menyakitkan buatnya.

"Apa sebenarnya yang membuatmu tertarik dan memaksa untuk melibatkan diri dalam kasus?" Imam membuka topik pembicaraan setelah meneguk segelas air. Ia akan kembung karena kebanyakan minum. Ini adalah tegukan di gelas kedua.

Jika Imam ingin mengalihkan pembahasan dengan membuka pembicaraan baru, ia salah mengambil topik. Tapi jika ia memilih topik itu untuk mendegar alasan dari tindakan-tindakan Ilmi, ini adalah topik yang tepat.

"Aku sendiri enggak sepenuhnya tahu..." Ilmi memotong dengan berdehem untuk menjernihkan suaranya. "Aku mungkin ingin tahu apa yang bisa kulakukan. Karena saat aku berusaha melarikan diri, aku justru dipaksa menemui hal-hal seperti ini. Atau mungkin... ini sejenis obsesi gila." Ilmi mengakhiri jawabannya dengan mengangkat kedua bahunya bersamaan.

"Anak kita. Apa alasan itu tidak cukup untukmu agar berhenti melihat hal-hal seperti itu?" Imam telah memasukkan pembahasan paling sensitif ke dalam pembicaraan mereka.

Pandangan Ilmi jatuh pada pria di depannya, tapi fokusnya ada pada tempat yang tidak bisa ia lihat. Ekspresinya menunjukkan kesedihan dan ketidaksukaan di saat yang bersamaan. Pria itu telah banyak berusaha mengerti dirinya, tidak bisakah berusaha mengerti untuk sekali ini lagi. Ia ingin dimengerti meski sadar terlalu egois jika berharap seperti itu.

"Karena itulah aku ingin berpisah," Ilmi menahan suaranya agar tidak meledak. "Karena hanya dengan cara menjadi egois aku bisa bertahan."

Imam meletakkan sendoknya di meja dengan kasar. "Oke, lakukan apa yang kamu suka," katanya semakin kesal. "Puas!" Ia beranjak dan pergi.

Ilmi juga meletakkan sendoknya dan menatap kepergian Imam dalam diam.

Rintik-rintik hujan masih belum berhenti membuat irama di atas atap dan angin masih berembus kencang. Udara dingin terasa menguasai atmosfer. Teras-teras rumah sepi. Jalan-jalan yang basah kosong. Semua warga fokus dalam kegiatan masing-masing untuk menghangatkan diri dalam rumah.

Sebenarnya tidak sepenuhnya menghangatkan diri dan berdiam dalam rumah. Teror mengenai pelaku pembunuhan masih berlanjut. Benak-benak mereka masih aktif bertanya dan menduga-duga. Sebelum misteri berhasil dipecahkan, ketenangan sesungguhnya hanyalah fatamorgana.

"Assalamualaikum." Ilmi mengetuk tiga kali. Ada suara televisi yang terdengar dari dalam. Ia berdiri di depan pintu yang tidak tertutup rapat dengan membawa buah dan sayur segar sebagai balas antaran ikan yang diberikan padanya.

"Walaikumsalam. Mbak Balqis, silakan masuk." Bapak pemilik rumah membukakan pintu. Usianya 65 tahun tapi gerakannya masih lincah dan gesit. Ilmi menyerahkan bawannya. "Bu!" teriaknya memanggil istrinya.

Ibu pemilik rumah keluar dari dapur. Imam mengintip dari dalam kamar sebelum memutuskan ikut keluar. Jadilah, keempatnya berkumpul di depan televisi ruang depan sembari ditemani pisang goreng dan teh hangat.

Mulanya obrolan singkat biasa, tapi kemudian Ilmi menyinggung kasus.

"Rahma..." Ibu pemilik rumah menghela napas panjang. Ini kali pertamanya bagi Balqis mendengar seseorang menyebut namanya dengan benar, dengan penuh kasih sayang. Tidak dengan panggilan 'si Jandanya Amran,' atau 'dia' "Sebenarnya Rahma tidak sepenuhnya seperti yang orang-orang pikirkan."

***