webnovel

3. Kemungkinan Jatuh Cinta

Menghabiskan waktu di jam pertama berdua. Menikmati hari cerah tanpa penghalang. Warna pakaian Candra yang mirip langit membuat Fero tak berhenti tersenyum. Kemudian, buku-buku itu sudah berada di kardus kecil hasil dari Fero meminta di kantin. Pergantian jam pun tiba. Dua orang itu masih asik bercanda sampai seorang gadis manis berkacamata datang mengagetkan mereka.

"Hayo! Berduaan aja nggak masuk kelas! Enak banget, ya, kalian!"

Suara nyaring itu sampai membuat Candra terjingkat. Lalu, gadis itu kembali memekik ketika melihat Fero yang meringis sambil melambaikan tangan.

"Fero?! Ini ... lo beneran Fero? Waduh, mimpi apa ini nggak ada mendung nggak ada hujan mendadak muncul sosok fenomenal yang jarang kuliah? Wah, gue terperangah! Eh, bukan, maksudnya terpesona. Aaa, selamat datang kembali, Fero! Gue kangen banget sama lo!" gadis itu hendak memeluk Fero, tetapi Fero menahannya dengan satu tangan.

"Nggak usah lebay, deh! Baru gue tinggal dua hari aja udah heboh. Kalau lo meluk gue, ntar bukan Candra doang yang cemburu. Bisa-bisa satu fakultas cemburu." Fero mengedipkan sebelah matanya.

Gadis itu semakin memekik tak tertahan, "Hiyaaa! Manisnya! Kenapa kalian bisa ada di sini? Gue cemburu beneran, loh! Ini nggak adil. Kenapa cuma gue yang ikut kelas tadi?"

"Salah sendiri jadi orang pintar." Fero mengendikkan bahu.

"Eh, tolong ralat omongan lo barusan. Gue nggak ada kata cemburu sama lo, ya!" Candra menunjuk Fero sebentar.

"Candra gue yang paling cantik! Lo ceria banget hari ini! Pengen peluk!" gadis itu kembali histeris. Hampir berhasil memeluk Candra, tetapi berhenti karena Candra membuatnya jijik. "Gue panuan dan belum mandi tiga hari. Belum sikat gigi sejak kemarin soalnya pasta gigi gue habis," kata Candra.

Gadis itu cemberut. Dia Ishika Firuha Putri, satu-satunya teman perempuan yang setia pada Candra. Berada di kelas yang sama dengan Candra dan Fero. Ishika adalah gadis terpintar di kelas mereka dan keluarganya memiliki toko buku. Kerap kali Ishika ikut mengelola toko tersebut. Dia juga mengetahui latar belakang Candra yang diasuh oleh pamannya meskipun tidak mengetahui identitas Candra yang sebenarnya.

"Kalian tega banget sama gue. Sedih, nih." Ishika mengerucutkan bibirnya.

"Ssttt! Jangan ganggu macan betina yang mau ngamuk. Candra lagi berhadapan sama pak Wisnu. Tuh, dikasih buku setumpuk." Fero menunjuk buku-buku dalam kardus.

Ishika langsung melihat buku-buku itu, "Wah, keren! Ini seputar agribisnis karangan luar negeri. Kenapa pak Wisnu bisa punya beginian, ya? Gue boleh pinjam, nggak?" tanyanya antusias.

"Kalau lo mau dimakan sama dia silahkan aja. Gue nggak peduli buku ini apaan yang penting gue selamat dari daftar hitam," kata Candra malas.

Ishika saling pandang dengan Fero, "Sampai segitunya?" kata mereka bersamaan.

Candra mengangguk sedih, "Parah, 'kan?"

"Emangnya salah lo apa, Can?" Ishika sedikit khawatir.

'Haha, salah gue berada di lingkaran mengerikan bareng dia,' jawab Candra dalam hati.

"Mana gue tau? Orangnya emang suka cari gara-gara sama gue," Candra sok sedih.

"Hmm, kalau dipikir-pikir cuma sama lo doang pak Wisnu jahil. Sama gue nggak pernah, Fero juga nggak pernah, sama mahasiswa lain juga nggak pernah. Paling-paling ngasih hukuman kalau ada salah tugas doang terus pelit nilai. Kok, sama lo beda, ya?" Ishika mengetuk dagu sambil menatap langit.

Mendadak Candra menepuk pundak Ishika membuat Ishika terjingkat, "Bener banget! Anehnya lagi dia pernah nolongin gue sampai dua kali waktu hujan panas. Gimana gue nggak syok coba? Terus sekarang nyari masalah sama gue. Apa otak pak Wisnu rada semrawut kali, ya?"

"Hah?! Pak Wisnu pernah nolongin lo?!" baik Ishika maupun Fero terkejut.

Candra hanya bisa mengerjap polos, "Oh, gue belum cerita, ya? Hehe, intinya begitulah."

Dipaksa bercerita dan akhirnya Candra menceritakan segala macam bantuan dan rasa prihatin di kala kehujanan. Tentu saja tidak menyertakan bagian di mana dirinya dibebani pekerjaan rahasia. Fero dan Ishika percaya begitu saja. Mereka justru ikut bingung dengan pola pikir Wisnu. Namun, Fero jauh menyadari perubahan sikap dari dosennya itu karena mereka sama-sama seorang laki-laki.

'Sebenarnya gue udah duga dari awal. Cara pandang pak Wisnu ke Candra cukup berbeda. Apa mungkin cuma asumsi gue aja?' pikir Fero.

Kemudian, mata kuliah ke dua dimulai. Mereka mendengarkan dosen sambil mencatat sesuatu yang penting. Saat itu, Fero tidak berhenti memandang Candra. Dia duduk tepat di belakang Candra. Ishika yang berada di sampingnya pun memergokinya.

"Fer, lo lihatin Candra dari tadi?" tanya Ishika membuat Fero sedikit kaget.

"Enggak, kok. Ngapain juga lihat punggung si nenek lampir kayak Candra? Ntar yang ada gue dimarahin lagi," bisik Fero.

Ishika ikut berbisik, "Lo tau? Dia sering marah-marah belakangan ini. Apalagi waktu lo sibuk kerja, hobinya cuma marah-marah. Kenapa, ya?"

"Soalnya, 'kan dia singa betina," jawab Fero bercanda membuat Ishika terkikik. Lalu, mereka kembali pada perkuliahan.

'Sering marah? Apa gara-gara pak Wisnu? Ah, nggak mungkin,' pikir Fero gundah.

Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berharap pendapat buruknya tentang sang dosen menghilang. Jam ke dua berakhir di pukul dua belas siang. Hari ini Candra hanya memiliki dua kelas. Setelah ini dia bebas aktivitas. Candra berhasil membawa buku dalam kardus ke motornya. Dia terpisah dengan Fero dan Ishika karena mereka harus bekerja.

"Oke, waktunya pulang!" dengan riang hendak memakai helm, mendadak handphone-nya di saku celana berdering.

"Siapa yang telepon?" gumam Candra sambil melihat handphone.

"Fero? Kenapa dia?" mengangkat panggilannya dan terdengar suara Fero meminta tolong di seberang sana.

"Apa? Motor lo sekarat? Terus lo di halte sekarang? Iya-iya, gue ke sana sekarang." Candra mematikan handphone-nya dan bergegas ke halte. "Ada-ada aja motor bisa sekarat. Paling juga bocor kena paku," gumamnya sebelum menyalakan mesin motor.

Tidak cukup sulit untuk membawa kardus berisi buku dan ransel yang sangat berat ketika mengendarai motor, sehingga belum mencapai lima menit Candra sudah tiba di halte. Dia meringis mentertawakan Fero yang duduk sendirian di sana sambil meratapi nasib pasrah.

"Haha, kasihan banget lo. Untung cuaca cerah, kagak hujan kayak gue waktu itu. Jadi ingat ini halte ramai orang dan posisi motor gue juga lagi di bengkel. Kenapa mukanya ditekuk begitu? Hati-hati kadar gantengnya bisa ilang, loh!" goda Candra sambil melepas helm dan turun dari motor.

Seketika Fero tersenyum paksa, "Puas? Motor gue ban depan sama belakang bocor semua. Barusan gue bawa ke bengkel. Dari tadi nunggu bus nggak ada yang lewat. Mau pesen ojek online, eh, kuota gue habis. Anterin gue ke kafe, dong, Can! Udah telat, nih!"

"Siap, Kakak! Apapun buat Fero pasti Candra lakuin, haha! Hitung-hitung karena kita jarang ketemu, nih. Gue baik, 'kan jadi temen? Yuk, naik!" dengan ceria tanpa ada rasa enggan Candra menarik lengan Fero hingga Fero berdiri.

Fero menjadi merasa diperhatikan, "Can, jangan bilang lo kangen gue beneran? Aduh, senangnya!"

Candra duduk di belakang dan menyuruh Fero untuk mengendarai motornya, "Iya terserah lo aja. Buruan naik! Kita ke kafe antar si barista ganteng yang hobinya numpuk tugas kuliah!" seru Candra penuh semangat seperti anak kecil.

Senyum Fero semakin terangkat, "Haha, senang banget kayaknya. Nggak diragukan lagi ini lo rindu berat sama gue. Kalau gitu mulai besok gue rajin kuliah, ah! Biar selalu ada di sisi Candra."

"Aw, digodain cowok ganteng! Gue harus senang apa marah, ya?" Candra sok berpikir. Menepuk pipinya keras.

"Lo yang godain gue terus, bego!" Fero terkekeh. Sedikit memukul Candra dengan helm dan mereka tertawa.

Begitulah cara mereka berteman dengan baik. Lalu, motor melaju ke kafe tempat Fero bekerja. Menurut Candra tertawa sedikit akan lebih baik daripada terus memendam amarah untuk seseorang yang selalu mengganggunya. Bukannya pulang setelah mengantar Fero, Candra justru duduk sebentar dan memesan secangkir kopi buatan Fero. Menikmati suasana ketika Fero berinteraksi dengan baik kepada rekan dan pelanggannya. Tanpa sadar hal itu membuatnya sudut bibirnya tersungging manis. Terkadang dia berpikir jika temannya itu luar biasa manis dan menakjubkan, tetapi tidak pernah dekat dengan perempuan selain dirinya dan Ishika. Padahal selalu digoda dan dikerumuni gadis-gadis cantik. Sifat itu mirip menyerupai Wisnu. Kala teringat Wisnu, Candra berdecak malas dan menghabiskan kopinya dalam sekali tegukan. Dia pamit pada Fero untuk pulang.

Tumpukan kertas ujian berisi nilai siap direkap. Cukup detail dan pasti Candra mengerjakannya tanpa ada yang salah sampai ditinjau berkali-kali. Malam pun tiba dan Fika pulang dengan perut kosong. Tidak ada makanan apapun di dapur karena Candra sibuk dengan waktunya sendiri.

"Candra, Paman lapar! Paling enggak buatin mie instan, dong!" lirih Fika di depan pintu Candra yang terbuka.

Candra menoleh kaget, "Eh? Paman udah pulang? Kok, Candra nggak tau kapan masuknya? Hahaha!"

Tanpa malu tertawa dan berujung perutnya berbunyi cukup keras membuat tawa Candra reda dan giliran Fika yang tertawa jauh lebih keras darinya. Candra memarahi perutnya sendiri. Menutup laptop dan membereskan semua kertas itu. Pergi menuju dapur untuk memasak sesuatu yang jauh lebih mengenyangkan dan hangat dari mie instan. Acara makan bersama pun dimulai. Fika bertanya apakah Candra dan Wisnu sudah memulai misinya. Mendengar jawaban Candra yang sedikit geram membuat Fika tidak bertanya lebih lanjut. Fika paham situasi kepala keponakannya seperti gunung berapi ingin meletus sekarang. Karena itu Fika berinisiatif meminta nomor telepon Wisnu. Candra terkejut dan bertanya alasannya, tetapi Fika bilang itu urusan antara laki-laki dan Candra tidak berhak ikut campur. Meskipun mereka berdebat, tetap saja Candra mengalah dan memberikan nomor Wisnu. Setelah selesai makan, Fika pamit pergi.

"Ngapain Paman keluar lagi malam-malam? Mendingan tidur sambil dengerin lagu, 'kan enak." Candra mengendikkan bahu di teras. Dia mengantar Fika yang benar-benar pergi dengan motornya.

Di taman kota yang tidak jauh dari lingkungan tempat tinggalnya, Fika menunggu seseorang dengan penuh senyuman. Tangannya dimasukkan ke saku jaket kulit yang hangat. Berdiri di samping lampu taman yang hampir mendekati pagar pembatas antara taman dengan trotoar, cukup menikmati indahnya jalanan di malam hari. Penuh gemerlap lampu dan udara yang berbeda dengan siang hari. Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu telah datang.

"Selamat malam, Tuan Fika! Maaf, saya sedikit terlambat." tersenyum dan bicara ramah.

Fika menoleh dan melebarkan senyumnya. "Wow, menakjubkan! Baru pertama kali bertemu sudah mengenaliku. Ah, selamat malam juga! Maaf, aku terlalu senang menunggumu," jujurnya.

Orang itu sedikit kikuk, "Be-benarkah? Saya sudah mencari tau tentang Anda sebelumnya. Eee, maaf, saya harus menganggap Anda sebagai detektif polisi atau walinya Candranika?"

Fika menghela napas panjang tanpa menghilangkan senyuman. "Hahh, maaf membuatmu keluar dengan Paman malam-malam begini. Seharusnya kau berkencan dengan seorang gadis," Fika membuat orang itu terkekeh. Lalu, Fika kembali menatap jalan Raya, "Malam yang indah, bukan? Pak Wisnu?"

Orang itu mengerjap sejenak dan tersenyum manis. Ikut melihat jalan raya, "Iya, lumayan indah."

Setelah keluar rumah, Fika menelepon Wisnu dan mengajaknya bertemu di taman kota. Bisingnya kendaraan justru menimbulkan ketenangan bagi mereka. Pakaian Wisnu yang sederhana masih mampu membuat Fika terkesima. Dia merasa kalah telak dan ingin kembali muda. Kini penampilan Wisnu seperti laki-laki biasa tanpa terbebani formalitas pekerjaan.

"Tidak kusangka memang kau lah orangnya. Sejak di gedung itu aku terus berpikir bahwa kau yang membuat keponakanku resah bahkan sampai sekarang. Sungguh kuakui kau benar-benar keren dan tampan sebagai dosen. Berapa usiamu? Haha, tidak perlu menjawab jika tidak mau, aku hanya basa-basi. Intinya aku hanya ingin mengenalmu secara langsung, Pak Wisnu. Kau tidak perlu terlalu sopan padaku. Terserah ingin menganggapku sebagai polisi atau wali dari mahasiwimu," senyum Fika tidak luntur.

Wisnu terbius dengan ucapan itu. Dia melirik Fika tanpa berkedip. Satu kata di benak Wisnu untuk orang di sampingnya, yaitu lugu. Wisnu bisa mengerti sifat Fika yang tidak jauh berbeda dengan Candra.

"Maaf, saya sudah terbiasa berbicara formal. Sedikit susah untuk diubah, tapi akan kucoba," Wisnu menyipitkan matanya.

"Kau lucu sekali, Pak Wisnu! Hahaha!" Fika menepuk pundak Wisnu tanpa ragu. Wisnu pun tertawa sewajarnya.

'Polisi yang ramah. Bukan seperti detektif serius yang kubayangkan,' pikir Wisnu.

Fika menatap Wisnu serius tanpa menurunkan tangannya dari pundak Wisnu. Tentu saja Wisnu heran.

"Pak Wisnu, mohon bimbingan dan kerja samanya," ujar Fika.

Deg!

Wisnu mengerti maksud Fika dan dia mengangguk, "Pasti!"

Jawaban Wisnu menghilangkan segala macam keraguan bagi Fika.

'Orang ini selalu melangkah tanpa ragu,' pikir Fika.

Sisanya mereka habiskan dengan menikmati keheningan taman yang berpadu dengan bisingnya jalanan. Pembicaraan singkat tersebut telah menumbuhkan kepercayaan antara keduanya. Lalu, keesokan harinya Wisnu kembali sebagai dosen yang memancarkan kharismanya. Pagi-pagi sekali sudah mengirim pesan pada Candra untuk mengantar buku dan rekapan nilai ke ruangannya nanti ketika pergantian jam mengajar.

"Candra, sayangku! Mau gue bantu?" tawar Ishika ketika Candra keluar dari kelas saat mata kuliah di jam pertama selesai. Dia akan membawa buku-buku pesanan Wisnu ke ruang dosen.

"Boleh-boleh! Ide bagus, tuh! Kalau gue sendirian pasti ditahan lagi sama dia. Yuk, jalan!" Candra dengan senang hati menerimanya.

Dia sangat lega ditemani Ishika yang bisa membantu dirinya jika kesulitan nanti, akan tetapi ketika hendak menuruni tangga, seseorang menabraknya dan membuat buku-buku itu jatuh berserakan sampai meluncur ke bawah. Candra berteriak karena hilang keseimbangan. Dirinya hampir jatuh bersama buku-buku itu jika saja orang yang menabraknya tidak memegang tangan dan pinggangnya erat. Ishika sampai memekik tertahan dan membekap mulutnya tidak percaya. Kehebohan pun terjadi. Banyak mahasiswa mengerumuni koridor lantai dua menuju tangga. Detak jantung Candra masih berpacu tak karuan dan dia tidak berani membuka mata setelah berteriak meskipun merasakan adanya tangan besar yang menolongnya.

"Candranika, kamu tidak apa-apa?" suara berat penuh kekhawatiran itu berasal dari sang pelaku yaitu Wisnu. Semua orang dibuat syok atas perlakuannya.

Candra membuka matanya setelah mendengar suara itu. Dia menatap Wisnu lebar. Wisnu mendesah lega. Matanya terlihat sayu.

"Astaga! Maaf, saya tidak sengaja. Apa kamu terluka? Saya bawa ke ruang kesehatan sekarang." Wisnu membantu Candra untuk menjauh dari anak tangga. Kini mereka berada di posisi yang normal. Namun, tangan Wisnu tidak mau melepaskan tangan Candra. Beberapa mahasiswi berbisik iri ingin mendapat kesempatan yang sama.

Bahkan Candra tidak bisa mengalihkan pandangannya sekarang. Matanya terus menyorot pada netra Wisnu yang masih sayu. Binar itu terlihat berbeda. Lalu, detak jantung Candra semakin bertambah cepat. Aroma parfum Wisnu juga sangat mengganggu indera penciumannya yang sayangnya terasa begitu nyaman. Jika boleh jujur Candra tidak ingin melepaskan diri sekarang.

"Candranika?" panggil Wisnu lagi karena Candra melamun. Akhirnya Candra mengerjap sadar dan menarik tangannya dari Wisnu, "Ah, i-iya, Pak! Terima kasih sudah menolong saya. Sa-saya nggak apa-apa, kok. Saya juga minta maaf. Itu ... bukunya jadi berantakan. Saya ambil sekarang!"

Segera mengutip satu per-satu buku-buku itu dan memasukkannya dalam kardus yang juga meluncur hampir ke perbatasan tangga lantai dua dan satu.

"Itu buku saya? Kalau begitu ayo barengan sama saya." Wisnu ikut mengumpulkan bukunya dan membawanya dengan tangan kosong serta mendahului Candra untuk turun.

"Eh, Pak! Tungguin saya!" Candra panik menyusul setelah mengambil buku yang terakhir.

Kepergian mereka menimbulkan huru-hara sesaat. Para mahasiswi merasa mendapat tontonan segar. Aksi dosennya yang dianggap jantan itu mendapat teriakan hangat bercampur pipi yang bersemu merah.

"Aaaaa! Gue iri!" Ishika berteriak jauh lebih keras dari semua orang.

Dia berdiri mematung tidak jadi mengantar Candra. Setelah itu Fero datang menanyakan apa yang terjadi pada Ishika.

'Huft, nasib baik gue nggak jatuh. Kalau iya pasti udah tergeletak di tangga lantai satu. Untungnya ada Pak Wisnu. Walaupun dia yang nabrak, tapi tetep tanggung jawab. Eh, kok, gue jadi seneng begini? Dada gue masih bergemuruh kaget, nih,' batin Candra seiring berjalan mengikuti Wisnu.

Meletakkan kardus berisi buku-buku itu di meja Wisnu. Masih berdiri hendak menyerahkan flashdisk yang berisi hasil rekapan, tetapi menunggu sampai waktunya tepat karena Wisnu sedang sibuk menggeledah lacinya.

Candra berkedip dua kali, "Kalau dipikir-pikir tadi Pak Wisnu juga lagi buru-buru. Kenapa, ya?"

"Kamu bicara sesuatu?" Wisnu mendengarnya walau tanpa memperhatikan.

Candra tersentak dalam hati, "Enggak, Pak. Cuma mau ngasih flashdisk ini doang. Nilainya sudah saya masukkan semua, tapi maaf kertas ujiannya masih di ransel saya. Mau saya ambilkan?"

"Iya," jawab Wisnu singkat. Dia masih berkutat dengan laci.

"Ba-baik, Pak!" Candra menaruh flashdisk itu di meja. Dia pergi setelah melihat Wisnu sekali lagi.

"Sok sibuk banget. Gue kaget tau dijawab singkat, padat, jelas kayak gitu," gumam Candra seiring berjalan.

Ketika memasuki kelas, Candra ditarik teman-temannya yang melihat adegan singkatnya di tangga. Mereka bertanya bagaimana rasanya dipegang dan diselamatkan oleh Wisnu. Candra kesulitan menjawab sampai dirinya tidak diperbolehkan mendekati ranselnya.