webnovel

2. Visi Keadilan Terbentuk

Aroma keharuman kopi panas bercampur gula menyeruak di ruang kecil dengan satu meja dan tiga kursi milik Wisnu. Dua kursi di depan Wisnu yang terhalang meja telah diisi dengan ransel dan handphone milik Candra. Atas perintah Wisnu, Candra harus merekam setiap pembicaraan mereka dengan detail sebagai saksi pertama. Candra sudah tahu ke mana arah perbincangan mereka.

"Kenapa nggak ditaruh meja aja, sih, Pak? Padahal meja segede itu cuma diisi laptop sama setumpuk kertas doang. Pelit amat!" dengan bibir mengerucut Candra protes. Dia telah memperkuat pertahanan dirinya untuk menerima kenyataan dari sang dosen.

"Maaf, nanti lecet," jawab Wisnu dengan wajah datar. Dia terus menatap mata Candra seolah menilik sesuatu.

Candra ternganga, "Beneran aja, Pak? Saya berdiri, loh, dari tadi. Mumpung ada kursi kosong dua kenapa yang makai harus tas sama handphone saya?"

"Kamu mau duduk?" tanya Wisnu tanpa ekspresi.

"Kalau saya jawab mau apa Bapak ngasih izin?" balas Candra kesal.

"Tidak," jujur Wisnu.

"Wow, baik sekali hati Anda! Saya terkesima, haha! Jelas mau, lah, Pak! Pegel tau berdiri terus dari tadi. Ditambah ini udah lewat setengah jam dan kelas pertama sudah dimulai. Artinya saya bolos kuliah gara-gara Bapak." Candra mengalihkan pandangannya ke dinding.

"Oh? Kenapa tidak pergi saja?" raut wajah Wisnu masih sama.

"Pintunya, 'kan dikunci sama Bapak! Asal tau aja, ya. Ini penculikan yang nyata! Menahan mahasiswa yang tidak bersalah di ruang dosen tanpa disuguhi apa-apa, hanya disuruh diam dan merekam sejak tadi. Sampai kopinya udah dingin," cerca Candra tanpa sungkan.

"Kalau begitu dobrak saja pintunya." Wisnu menunjuk pintu dengan dagu. Sudut bibirnya masih tak mau terangkat.

"Apa?" Candra mengernyit bingung.

"Dobrak saja. Kamu, 'kan kuat. Nanti saya yang tanggung jawab," lanjut Wisnu.

Sontak Candra menutup mulutnya yang ternganga, "Sudah dimulai!" pekiknya tertahan setelah mengerti ucapan Wisnu.

"Iya, sudah dimulai, Candranika!" Wisnu menekan setiap perkataannya.

Candra meringis ngeri. Tatapan Wisnu sedikit berubah lebih intens. Candra meneguk ludahnya sendiri dan berkata dalam hati agar tetap tenang. Dalam hal ini, keduanya sama-sama tidak mengetahui sisi lain masing-masing. Mereka diam beberapa saat hanya untuk saling pandang. Handphone Candra masih merekam setiap detiknya.

"Kamu menipu semua orang," kata Wisnu memecah keheningan.

"Begitu juga dengan Bapak," jawab Candra tegas tanpa ada penekanan. Artinya dirinya telah dalam kendali.

'Gue tau ini bakal seperti interogasi dan wajar aja soalnya dia dosen gue yang secara tingkatnya lebih tinggi daripada gue, tapi gue nggak nyangka kalau dia bakal marah. Alasannya apa coba?' batin Candra.

Wisnu tersenyum miring membuat kening Candra berkerut, "Jadi begitu, ya? Pekerjaan yang benar-benar berbahaya. Saya sampai tidak bisa tidur semalaman. Apa yang harus saya lakukan, Candra?"

'Tunggu! Bukannya itu gue? Mata gue sampai kayak panda begini, loh,' jawab Candra dalam hati.

"Maaf, Pak. Kebenarannya memang seperti ini. Saya juga terkejut ketika mengetahui identitas Bapak dibalik profesionalitas seorang dosen. Ternyata masih ada orang yang seperti Bapak. Membantu tanpa pamrih itu jauh di luar nalar saya," Candra tersenyum tipis.

"Kamu pun sama. Percakapan ini tidak akan ada habisnya. Mari sudahi rasa penasaran yang terus menghantui sejak kemarin dan terima kenyataan. Apakah kamu benar-benar seorang relawan detektif yang menanggung tugas rahasia dari pamanmu meskipun kamu bukan anggota dari pihak yang berwenang?" Wisnu begitu serius.

"Pertanyaan Bapak seolah sudah mengetahui cerita saya dan saya tau siapa yang memberitahunya. Nyonya Resya Anggirani, bukan? Kalau begitu Anda juga sudah tau jawabannya," jelas Candra.

"Saya ingin dengar dari mulutmu sendiri," tajam Wisnu.

"Iya! Saya telah dilatih oleh paman saya sejak kecil dan saya telah menjalankan berbagai macam misi untuk membantu semua orang yang membutuhkan. Tanpa peduli apapun jenisnya. Dari tugas kecil sampai yang besar, dari sederhana hingga luar biasa, semua telah saya jalani sendirian. Apa Anda juga mau dengar alasannya mengapa saya melakukan ini? Karena saya tidak mau ada orang lain yang mengalami ketidakadilan seperti yang saya alami. Orang tua saya memperlakukan saya seperti budak bahkan mencari uang pun saya yang melakukannya. Mereka hanya bersenang-senang dan bermain dengan orang-orang kotor setiap malam. Saya masih bodoh dan tidak bisa melawan. Bekerja sebagai pelayan kafe bagian kebersihan di siang hari dan malamnya menjadi tukang cuci piring di rumah makan prasmanan adalah keseharian saya. Semua itu berlangsung sampai saya lulus sekolah dasar. Setelah itu, paman mengetahui kondisi tidak lazim dari anak SD seperti saya. Dia membawa saya dan menunjukkan kehidupan yang baru. Sejak saat itu saya mengerti dunia itu luas. Banyak orang yang tersenyum palsu dibalik perilaku tidak adil dan palsu. Saya ingin menyingkirkan itu semua sebisa mungkin meskipun mustahil. Sayangnya hanya ini yang bisa saya lakukan. Diam-diam menerima semua permintaan paman untuk berkeliaran mencari dan menguak sesuatu. Saya pikir dengan begitu keadilan dapat terwujud. Ketika mereka yang bersangkutan tersenyum, saya juga ikut tersenyum. Kamudian saya berpikir, apakah yang saya lakukan ini sudah benar atau terlalu mencampuri urusan orang lain? Jawabannya adalah saya tidak peduli! Dipanggil pahlawan amatiran pun saya tetap tidak peduli! Saya hanya mengikuti naluri saya hingga kini!" Candra bicara sangat cepat sehingga Wisnu melotot dan merasakan hal baru lagi dari mahasiswinya.

Napas Candra terengah. Dia membasahi bibir bawahnya sambil menghela napas panjang agar sedikit tenang, "Jika sudah puas dengan jawaban saya silahkan minum kopinya, Pak. Kasihan dari tadi nungguin Bapak. Rasanya sudah tidak enak." Candra memalingkan wajahnya merasa malu.

Mulut Wisnu terbuka. Dia pun ikut memalingkan wajah ambil menutup mulutnya, "Astaga!"

Tangannya bergetar memegang cangkir kopi bahkan ketika diminum pun kopinya hampir tumpah. Candra terdiam dan hanya meliriknya. Wisnu meraup wajahnya demi meredam syok yang masih melanda. Kembali menatap Candra dengan senyum kecil yang sedikit ragu untuk menghadapi mahasiswinya.

"Silahkan duduk. Saya masih punya air putih kalau kamu mau." mengambil sebotol air mineral dari laci dan meletakkannya di meja.

"Awas! Ntar lecet, Pak!" Candra menahan pergerakan Wisnu sambil menatap air mineral yang sudah menempel di meja.

Wisnu kembali ternganga, "Ah, lupakan! Saya berniat mengganti mejanya."

"Dasar orang kaya!" maki Candra dalam gumaman yang cukup keras.

"Saya bisa dengar," kata Wisnu cuek.

Candra tidak berkutik. Memilih menepikan handphone-nya dan menduduki kursi dengan perasaan lega, "Nah, begini dari tadi, 'kan enak." mulai tersenyum.

"Mau minum dulu?" tawar Wisnu.

"Nggak mau, ah! Soalnya nanti hutang lagi sama Bapak. Waktu di rumah sakit juga dihitung hutang budi, 'kan? Iya dong pastinya," sindir Candra. Sebenarnya dia malu karena telah mengeluarkan isi pikirannya dengan sangat lantang. Berharap tidak ada dosen lain di ruangan dosen.

"Benar tidak mau? Padahal saya kasih racun didalamnya." mata Wisnu sedikit meredup. Candra heran mengapa dosennya bisa berubah-ubah ekspresi dengan begitu cepat.

"Racun? Wah, niat sekali mau membunuh saya." Candra terbelalak.

"Saya agak bersimpati sama kamu," ucap Wisnu prihatin.

"Terima kasih, tapi saya nggak butuh belas kasihan Bapak. Dihina sudah cukup," jawab Candra malas.

"Bodoh, sok berani, kurang fokus, terlalu percaya diri, menyebalkan dan tidak cantik!" Wisnu menghitung dengan jarinya.

"Eh, yang belakang sendiri kenapa hujatannya paling nyelekit, ya?" Candra mengerjap tidak terima. Tangannya ingin sekali mencabik-cabik mulut Wisnu yang menyetujui candaannya.

Wisnu terkekeh, "Ubah semua itu jadi pujian."

"Mustahil! Sangat-sangat mustahil kalau hinaannya keluar langsung dari mulut Pak Wisnu. Pasti awet sampai lulus kuliah, saya jamin itu. Bapak, 'kan pelit ngasih saya nilai. Gimana bisa dibilang pintar meskipun saya udah berusaha?" protes Candra membuat Wisnu terkekeh lagi.

"Kamu gadis yang baik, Candra. Terima kasih sudah bekerja keras selama ini." Wisnu tersenyum manis.

Mendadak pipi Candra bersemu merah. Spontan dia menepuk pipinya. Senyum Wisnu tak kunjung pudar.

'Gadis baik? Pak Wisnu muji gue baik? Beneran?!' pekik Candra dalam hati.

"Setelah ini mari bekerja sama. Sepakat?" lanjut Wisnu membuat lamunan Candra buyar.

"Eh? Emm, kalau itu saya pikir dulu. Saya nggak tau keahlian Bapak apa. Bukan berarti saya meragukan Bapak, loh, ya. Cuman karena terbiasa bekerja sendiri jadi merasa aneh kalau bekerja sama. Apalagi orangnya Pak Wisnu. Pasti bakal nyebelin nantinya," Candra masih bersemu merah.

"Hahaha, kamu jujur sekali! Kenapa? Saya bisa membantu kamu lebih dari yang kamu harapkan. Kalau penasaran sama saya, kenapa tidak dicoba saja?" Wisnu menaikkan sebelah alisnya.

"Hah?! Gimana, Pak?" Candra mengerjap polos.

"Terima tawaran dari Resya Anggirani." Wisnu tersenyum miring.

"A-artinya bukan hanya kerjaannya, tapi juga kerja sama dengan Bapak?" tanya Candra memastikan. Terkadang bahasa Wisnu sulit dia pahami.

Wisnu mengangguk, "Benar!"

"Emangnya Bapak mau sama saya?" Candra meneleng.

Wisnu terkesiap, "Ambigu sekali!"

Candra sadar, "Bukan begitu maksudnya! Aduh, gimana, sih?!" wajahnya menjadi lebih memerah.

Wisnu tidak tahan untuk tertawa, tetapi dia tetap menahannya agar Candra tidak bertambah salah tingkah. Dia melipat tangan di meja dan sedikit memajukan wajahnya, "Tidak ada salahnya kita coba."

Kedua alis Candra terangkat. Otomatis otaknya berpikir di saat hatinya ingin langsung menyetujui ajakan Wisnu. Dia pikir jika bersedia bekerja bersama Wisnu dengan ikhlas maka hasilnya nanti akan memuaskan dan dia jadi tahu seberapa besar kekuatan Wisnu di luar bidang akademik. Mungkin Candra juga bisa mengulik kehidupan pribadi Wisnu yang tidak diketahui siapapun.

"Baiklah, saya setuju! Ayo kita selesaikan misi ini!" Candra mengulurkan tangan. Wisnu dengan senang hati menjabatnya ala pebisnis yang sedang bertransaksi.

Candra tertawa singkat, "Lalu, gimana soal Bapak? Kenapa mau jadi orang baik?"

"Tidak jauh beda sama kamu. Hanya saja saya tidak punya masa lalu kelam seperti kamu," jawab Wisnu seadanya.

"Hmm? Berarti orang baik murni? Anehnya!" kata Candra tanpa segan.

"Hati saya sering terluka saat melihat orang lain kesulitan dan tidak ada yang menolong. Jika sudah ada penolongnya maka saya bisa lega. Apa itu salah? Ditambah lagi saya punya penyakit yang sudah bersarang di tubuh saya sejak dulu," jelas Wisnu.

Candra refleks memukul meja, "Benarkah?! Penyakit apa, Pak? Kasihannya!"

"Penyakit tidak bisa menolak permintaan orang lain." Wisnu kembali tersenyum manis.

Seketika Candra menyesal telah bersemangat, "Bapak lama-lama terlalu narsis, ih! Nggak jadi keren tau, Pak!"

"Sungguh? Oh, satu hal lagi, Candra. Kita buat kesepakatan. Kita tetap dosen dan mahasiswa jika di kampus. Di luar itu kita adalah rekan kerja. Jadi, kamu harus tetap menghormati dan patuh sama saya di lingkungan akademik. Saya tidak akan segan pada kamu sekalipun kamu bersikap baik pada saya." ekspresi Wisnu kembali ke titik semula. Datar nan tidak bersahabat.

"Huft, mendadak jadi dingin banget, ya?" Candra berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Dengan kata lain, kamu dihukum karena sudah bicara lancang sama saya," lanjut Wisnu.

"Apa?! Nggak bisa gitu, dong! Kita, 'kan lagi bahas kerjaan bukan soal kuliah!" Candra memukul meja lagi.

"Tindakan kamu ini sudah melewati batas. Memukul meja dosen di depan dosennya sendiri?" sindir Wisnu.

Candra semakin tidak terima, "Bapak bisa banget nyari alasan buat saya naik darah. Bapak yang ngajak saya bahas ini di sini dan sekarang saya yang disalahin dengan berbagai aturan? Ini pemaksaan namanya!"

"Suka atau tidak memang kamu sudah bertindak melewati batas sebagai mahasiswa. Nama kamu akan saya taruh di buku hitam." Wisnu membuka laci meja hendak mengambil buku hitam yang berisi catatan mahasiswa berperilaku buruk.

Tangan Candra heboh menghentikannya, tetapi ketika hampir menyentuh lengan Wisnu, Wisnu meliriknya tajam sehingga Candra menarik kembali tangannya.

"Aaa! Jangan gitu, dong, Pak! Kasihanilah saya! Jahat banget, sih, sama saya. Kalau nama saya masuk di buku itu terus nilai-nilai saya yang lain gimana? Bakal terancam punah, Pak," Candra sedikit merengek.

'Err, gue pengen makan dosen satu ini mentah-mentah! Bisa-bisanya balikin keadaan jadi begini? Wah, kekuasaan seorang dosen emang nggak ada tandingannya. Mahasiswa selalu salah!' teriak Candra dalam hati.

"Akan saya pikirkan ulang jika kamu menjalankan perintah saya," kata Wisnu datar.

"Apa itu, Pak? Saya lakukan!" Candra berharap bukan hal aneh yang akan dia terima.

"Sekarang juga beritahu mahasiswa semester satu mata kuliah saya diundur jam tiga sore. Saya ada urusan mendadak habis ini. Setelah itu pergi ke perpustakaan ambilkan buku yang sudah saya pesan ke penjaga. Lalu, tolong rekap semua nilai ujian ini dan masukkan dalam flashdisk. Besok serahkan pada saya. Jika ada yang salah akan ada hukuman baru. Setelah semuanya selesai baru akan saya pertimbangkan apakah sikap kamu baik atau tidak," jelas Wisnu sambil menyerahkan flashdisk kosong dan tumpukan kertas di meja yang ternyata lembar ujian semester lain.

Mulut Candra tidak bisa berhenti ternganga. Dia menerima tumpukan kertas dan flashdisk itu pasrah. Wisnu berdiri memasukkan laptop ke dalam tas.

"Hanya itu yang saya sampaikan. Semoga harimu menyenangkan. Permisi!" Wisnu meninggalkan senyuman tipis dan dia pergi begitu saja membuka pintu yang terkunci. Kemudian, pintu itu dibiarkan terbuka.

Candra masih tercengang di kursinya bahkan rekaman handphone masih menyala. Satu detik kemudian dia berteriak, "Huaaa! Dosen iblis nggak ketulungan! Gue salah nilai dia. Gue pikir udah berubah baik dan asik diajak bercanda, nyatanya tetep aja nyebelin nggak ada obat! Aaaa, kenapa gue bisa setuju terjerumus sama dia?! Candra payah!"

Sumpah serapah mulai terlontar, menggelegar memenuhi seisi ruangan. Napasnya yang turun naik tidak bisa dipaksa tenang. Teringat namanya akan masuk di daftar hitam, dia segera pergi mencari kelas yang akan menerima pelajaran Wisnu. Berlari dari satu kelas ke kelas lain sambil naik-turun tangga. Terlihat di parkiran sudah tidak ada mobil Wisnu, tandanya Wisnu benar-benar pergi setelah selesai menginterogasi Candra. Para mahasiswa yang menerima perintah untuk pindah kelas di pukul tiga sore bertanya-tanya mengapa Candra yang diutus untuk memberitahu mereka, karena itu darah Candra semakin mendidih. Setelah selesai memberi kabar, lanjut berlari menuju perpustakaan yang jaraknya cukup jauh dari gedung fakultas ekonomi. Perpustakaan itu sangat besar dan cukup ramai. Namun, dia harus kesulitan membawa buku dari penjaga perpustakaan. Candra pikir hanya satu buku yang dipesan, tetapi ini lebih dari sepuluh dan semua judulnya tidak satu pun yang Candra mengerti. Karena ranselnya sudah penuh dengan kertas nilai, akhirnya Candra membawanya dengan tangan kosong.

"Kampret bener Pak Wisnu! Gue ngos-ngosan! Air mana air?" celingukan di gasebo yang panas dan sepi. Duduk lelah dan membiarkan buku-buku itu tergeletak.

Candra bersandar tiang. Memandang buku-buku itu kesal. "Ini buku apaan, sih? Semuanya bahasa Inggris. Dilihat sekilas juga bukan soal ekonomi. Mana masih plastikan lagi," gumamnya.

"Pasti baru beli," sahut seseorang yang sangat dikenal Candra.

Sontak Candra menoleh ke belakang, "Fero!"

"Hehe, kaget, ya? Kenapa? Kangen sama gue?" canda orang yang bernama Fero. Dia beralih duduk di dekat Candra dan menilai buku-buku itu. "Punya siapa, nih? Kelihatannya kayak orang pinter aja," sambungnya.

Teman laki-laki yang sangat dekat dengan Candra melebihi siapapun. Dia adalah Fero Al Ziofani. Laki-laki manis dan ramah itu berada di kelas yang sama dengan candra. Sangat pekerja keras karena bekerja paruh waktu sebagai barista di malam hari. Fero cukup populer di kalangan gadis. Sikap baiknya selalu meluluhkan siapapun.

"Ck, siapa yang kangen lo? Jangan narsis kayak pak Wisnu, deh. Ngomong-ngomong itu bukunya dia." Candra berdecak sambil memalingkan pandangannya.

Seketika Fero menjatuhkan satu buku yang dipegangnya, "Punyanya pak Wisnu? Kenapa lo yang bawa? Lo maling, ya?" tuduhnya dengan mata melotot.

"Sembarangan! Gue lagi dihukum sama dia tau! Ih, kalau ingat mukanya aja bawaannya pengen nonjok habis-habisan!" kesal Candra sampai memukul udara.

"Hah? Hahaha, dihukum? Lo nyinggung apaan? Lagian nggak hati-hati, udah tau temperamen pak Wisnu berubah-ubah." Fero tertawa ringan. Kembali melihat sampul buku-buku itu.

Candra mendesah pasrah, "Mau gimana lagi? Orangnya nggak bisa diajak ngobrol pakai bahasa manusia. Apa-apa pasti salah dimatanya."

Fero masih terkekeh, "Terus kenapa lo nggak ikut kelas?"

"Lo sendiri? Malah baru datang," balas Candra. Dia menaikkan kakinya tanpa melepas sepatu. Tersenyum pada temannya yang jarang dia jumpai belakangan ini. Tidak mengelak jika Candra rindu, bahkan bisa dibilang sangat rindu.

"Haha, gue? Baru bangun soalnya kemarin dapat kerjaan ekstra. Tadi aja gue belum mandi, cuma cuci muka doang ini." Fero meringis tanpa malu.

Candra menendang kaki Fero sambil tertawa, hampir menjatuhkan buku-buku Wisnu, "Ih, jorok! Buruan mandi sana! Gue siram air seember kalau nggak mandi sekarang!"

"Eh, kenapa ketawanya gitu? Kayak ada binar-binar rasa rindu, ciee!" Fero menunjuk candra sengaja.

Candra semakin tersenyum salah tingkah, "Hahaha, habisnya lo jarang ke kampus, sih. Lo, tuh, terlalu bekerja keras sampai lupa waktu. Istirahat sejenak kenapa?"

Fero tergelak puas, "Ah, sial! Jujur lo kebangetan! Gue jadi terharu, 'kan?"

"Fero gila! Kampret banget gue keceplosan ngomongnya, tapi nggak apa-apa soalnya emang bener gitu. Gue kangen sama lo." Candra menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Tawa Fero pun memelan. Pipinya bersemu merah. Tiba-tiba angin pun berhembus kencang dari arah gerbang. Seketika dahaga Candra menghilang.