Setelah mendengar itu, hati Bunda teriris. Seketika merasa bersalah, karena merasa seolah-olah telah memaksakan kehendak padahal seharusnya Bunda menyadari bahwa Circi tidak sama karena Circi istimewa. Dengan tegar nan kuat, Bunda genggam kedua tangan berisi milik Circi, kemudian mengutarakan sesuatu yang sepertinya memanglah sudah seharusnya diutarakan sejak beberapa waktu yang lalu. Sorot mata Bunda menyiratkan bahwa ada kilasan penyesalan di masa lalu, yang membuat Bunda menakutkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu muncul. Karena Bunda merasa trauma. Dan semua itu menjadi awal mula super duper protektif bahkan over posesif, meski beberapa tahun belakangan, mulai berkurang, disibukkan oleh HAFA BAKERY dan lainnya.
"Nak? Begini, maaf untuk adu mulut kami yang, entah kamu sudah mendengar semua atau hanya di bagian beberapa kalimat terakhir. Sungguh sama sekali Bunda tidak berniat memaksakan kehendak, Bunda hanya ingin agar masalah ini lekas selesai. Bunda tidak mau juga tidak siap dengan, itu, saat dulu, saat Circi," Isak Bunda tak kuasa tatkala ingatan di masa silam berputar kembali layaknya roll film. Tentang bagaimana putri semata wayang benar-benar tidak bisa bertemu orang baru, selalu bermain sendiri di dalam kamar, belajar secara otodidak dengan bapak atau ibu guru yang secara sukarela datang memantau melalui jendela kamar atau pintu yang sengaja tidak ditutup terlalu rapat, menyusup diam-diam setelah berhasil mengalihkan perhatian Circi pada hal lain di ruangan lain, menggunakan objek buku berisi sebuah dongeng anak bergambar agar memiliki kesempatan serta waktu lebih untuk mengecek ulang setiap deret kata yang tergores kasar di selembaran setiap buku tulis lalu hal-hal lain yang jauh dari kata normal untuk anak-anak seusianya.
Sempat saling terdiam selama beberapa menit, Bunda yang terlalu sibuk dengan pergulatan batin dan Circi yang sibuk menguatkan serta memastikan apa yang dilakukan kali ini sudah benar. Hingga, suara langkah kaki Papa yang sedang menuruni anak tangga terdengar ke 2 pasang telinga ibu dan anak ini. Membuat Circi mengangguk mantap. Balik menggenggam erat tangan Bunda sembari memberikan senyum hangat.
"Tidak apa-apa Bunda, nanti malam kita bisa bicarakan bersama, sekarang biarkan aku makan dengan tenang terlebih dahulu. Oke?" Bujuk Circi mencoba menenangkan, seolah berhasil membaca kekhawatiran sang surga dunia. Sontak Bunda menganggukkan kepala meski terselip sebuah keraguan di sudut hati. Selanjutnya, setelah Papa ikut bergabung di meja makan, yang terjadi tak ada satu pun yang mengeluarkan suara, hanya dentingan garpu atau sendok yang membentur piring atau mangkuk.
Detik demi detik berlalu, tak dirasa waktu telah menunjukkan pukul 8 malam. Sejak tadi berulang kali Circi sibuk mengatur nafas, berusaha menstabilkan emosi yang bergejolak didalam dada. Berkali-kali me-mindset diri agar berpikir dewasa. Ketika mencoba mengajak Papa untuk bergabung di sofa berwarna coklat susu di ruang tamu, awalnya beliau menolak, namun Bunda tidak tinggal diam, sehingga kali ini mengeluarkan bujuk rayu maut, otomatis membuat Papa akhirnya luluh jua. Dengan suara bergetar, Circi bercerita semua yang terjadi ketika listrik minihouse padam, perapian tak membantu sama sekali, suhu sedang minus derajat celcius membuat berfikir dua kali untuk meraih handphone di atas tempat tidur, kehadiran lelaki asing, tidak sadarkan diri, kemunculan mendadak hewan berbulu, mendapat bekas cakaran dan cerita berlanjut begitu saja. Bayangan buruk tentang Papa atau Bunda akan murka atau memukul tidak pernah terjadi, justru yang didapat mereka berdua hanya terdiam, marah, sesaat menangis, cemas, menangis, takut, menangis, terharu, dan emosional-emosional lain.
Hampir 4 jam membagi emosi satu sama lain dan saling melempar pertanyaan dan jawaban, akhirnya tamat juga. Reflek Papa memeluk erat putri semata wayang dibarengi Bunda yang menggenggam erat tangan Papa dan Circi. Jejak air mata menetes masih terlihat di sudut mata. Tidak menyangka putrinya melalui hal berat tanpa mereka ketahui.
Akhirnya setelah malam kalut berganti pagi cerah ceria. Matahari bersinar seri nan cerah. Namun dari dalam kamar, Circi mendengar jelas dari lantai bawah, bagaimana suara pintu ruang kerja Papa terbuka diikuti tawa riang dan candaan satu sama lain menggema hingga ke seluruh sudut rumah. Telah lebih dari 15 tahun Mr. Khai dan timnya, mendampingi dan mengawasi perempuan muda itu namun tetap saja sampai detik ini keberadaan mereka masih menjadi momok menakutkan layaknya monster besar yang siap melahap siapa saja. Padahal faktanya tidak begitu. Sedetik setelah Circi kembali larut dalam pemikirannya sendiri, suasana rumah seketika hening. Sesekali bisikan perbedaan pendapat menyelimuti ruang kerja Papa yang kini sibuk menyimak dan mengamati keputusan yang akan diambil demi kebaikan putri tercinta.
Mengabaikan apa yang terjadi di lantai bawah, tiba-tiba terbesit sesuatu di kepala Circi, yaitu sebuah ide. Perempuan muda ini menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah keputusan baik. Oleh karena itu, ia menyibak selimut, melompat turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju meja belajar, tanpa membuka sumpalan telinga, kedua tangan berisi itu segera saja meraih buku diary yang telah kusam termakan waktu, menyobek selembar halaman. Sejenak terdiam, mencoba menenangkan diri dengan menghembuskan napas perlahan, kemudian kembali memfokuskan diri dengan mulai menulis apa saja yang bermunculan di otak. Meski tangan gemetar, disebabkan rasa gugup dibarengi gelisah luar biasa, ia tetap memantapkan hati untuk melakukan ini, sesuai rencana. Karena Circi tahu, Mr. Khai pasti akan bersedia untuk membantunya. Juga penuh harap, semoga Tuhan memberi kelancaran setiap jalan yang sedang dicoba.
Keputusan penuh pertimbangan telah selesai. Semua di dalam ruangan sepakat. Maka hari H pun tidak dapat terelakkan lagi. Papa dan Bunda mengantar Mr. Khai beserta tim keluar dari ruang kerja. Saat akan melewati ruang tamu, Mr. Khai memberi kode pada tim untuk kembali ke rumah sakit terlebih dahulu. Kompak, mereka keluar secara bersamaan, setelah menaiki kendaraan masing-masing, akhirnya hilang di pandangan.
"Boleh bertemu dengan Circi?"Tanya Mr. Khai sembari menatap bergiliran sepasang mata pada kedua manusia paruhbaya di hadapan.
"Tentu saja, mari," Antar Papa ke depan kamar perempuan muda yang saat ini membatu di balik selimut di atas tempat tidur. Sepertinya berpura-pura tidur adalah satu-satunya jalan. Sedangkan Bunda sibuk membereskan ruang kerja.
Setiap ketukan sepatu hitam yang bertabrakan dengan lantai, disaat itu juga jantung Circi berdegup sangat kencang. Entah mengapa mendadak telinganya berubah menajam. Suara apapun, di sekitar kamar dapat didengar oleh gendang telinga.
"Nak, bapak dokter datang, mau bertemu Circi. Katanya sudah lama tidak bermain boneka bersama." Bujuk Papa sembari sesekali tangan berurat nan mulai berkeriput di beberapa bagian itu mengetuk-ngetuk pintu kamar Circi setelah mulai menyadari, bahwa pintu terkunci dari dalam.
Circi mendecih dalam hati dan pikirannya. Karena tak habis pikir ketika mendengar bujuk rayu Papa yang selalu menganggap dirinya masih sangat kecil disaat Circi telah bertekad kuat untuk berubah menjadi lebih dewasa di usia kepala 2 ini.
Karena tidak ada reaksi apapun. Papa kembali mengulang bujuk rayunya dengan dipenuhi rasa cemas, sesekali ekor mata melirik Mr. Khai yang hanya memberi reaksi tersenyum. Seolah paham bahwa hal-hal seperti ini akan terus terjadi berulang kali kalau Circi sendiri masih tidak memiliki keinginan untuk up.
Sejenak Papa menundukkan kepala, lamat-lamat berdoa dalam hati sekaligus berharap semoga Circi mau merespon. Agar tidak memakan waktu lebih lama lagi berdiri di depan pintu kamar Circi. Dan Tuhan mengabulkan doa Papa. Circi yang kesal, akhirnya bersuara jua.
"Pergi. Bapak dokter tidak perlu bermain lagi denganku. Lagipula aku sudah bukan anak kecil lagi." Teriak Circi sekeras mungkin agar kedua lelaki itu segera pergi dari depan pintu kamar.
"Nak, jangan begitu," Bujuk Papa sekali lagi. Sesekali saling bersitatap dengan Mr. Khai yang hanya berdiri, tersenyum hangat dan menanti dengan penuh sabar.
". . ."
"Tidak apa-apa mas," Mr. Khai selaku adik sepupu dari Bunda mencoba menenangkan sang kerabat dekat yang kini mulai terlihat gelisah karena seperti yang sudah-sudah, Circi tidak pernah mau lagi keluar bertemu Mr. Khai padahal dahulu mereka pernah, berhasil mengakrabkan diri masing-masing, bermain boneka bersama, meski itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar serta proses yang begitu panjang dan butuh kesabaran extra serta ketulusan hati untuk mempermudah mengetuk pintu hati Circi agar mau melakukan tatap muka dan berinteraksi lebih dekat lagi.
Akhirnya kedua lelaki itu pergi, tanpa mereka tahu, di dalam kamar, Circi mulai bisa bernafas lega kembali. Namun degupan jantung tak kunjung jua untuk berhenti sebab, saat ini masih ada satu misi yang harus dilakukan. Dengan kecepatan kilatan petir, tubuh berisi itu telah berdiri di balik jendela, mengintip dua lelaki yang tengah berbincang kecil di halaman rumah. Beberapa menit kemudian, sebuah batu berbalut kertas terlempar ke arah Mr. Khai yang sedang bersiap untuk masuk ke balik kemudi mobil.
Setelah batu itu berhasil memberi rasa sakit pada pelipis kirinya, Mr. Khai membungkukkan badan untuk memungutnya yang melesat tepat di samping roda depan mobil berwarna hitam itu. Setelah membuka lembaran kertas untuk menebak siapa yang mengirimkannya dengan cara yang kurang terpuji, tiba-tiba sebersit senyum secerah matahari terbit begitu saja sesaat ketika menyadari siapa pelaku di balik pencipta goresan merah. Kedua mata tajam layaknya burung elang itu menangkal jelas siluet tubuh perempuan yang sedang tergesa-gesa menutup jendela serta gorden dari arah dalam kamar yang terletak telat di lantai 2 rumah, di pojok depan bagian kanan. Dari situ senyumannya semakin berkembang.
"Aku ingin sembuh, aku ingin sekali merasa bebas, rasanya mau lepas dari semua ini, lelah selalu menjadi bayang-bayang munculnya masalah baru yang tidak pernah habis, sekaligus menjadi beban Papa dan Bunda disaat mereka hanya memiliki satu-satunya putri semata wayang. Aku tidak ingin lagi seperti ini. Sekarang aku sudah dewasa. Saatnya perlu belajar mandiri, tidak mau bergantung pada mereka lagi. Tolong bantuannya, beri kesempatan padaku untuk merasakan apa yang aku mau. Juga aku ingin mengucapkan terima kasih, untuk semuanya. Semoga Tuhan membalas niat dan bantuan baikmu." #Shirly Kenia
Selepas membaca isi dari kertas putih yang ternyata adalah sebuah surat singkat, nampak kedutan di bibir begitu terasa, pertanda tak dapat lagi ditahan sebuah senyuman lebih lebar dan cerah untuk terbit yang kesekian kalinya. Segera diremas surat itu, meluncur begitu saja ke dalam kantong kemeja putih, membuang batunya keluar, dan, fokus untuk masuk ke balik kemudi, berlalu dari rumah yang lebih dari 10 tahun selalu disinggahi.
"Benar-benar Circiku yang lugu." Ulasnya sembari menggeleng-gelengkan kepala, seluruh moment indah terbayang-bayang. Menampakkan Circi yang polos, sangat aktif bertanya ini-itu bahkan karena terlalu polosnya, Circi jadi terlalu mudah untuk dialihkan fokusnya dari topik A ke sebuah buku bergambar. Dan karena hal ini juga yang membuat hati kecil Mr. Khai terketuk.