webnovel

BAB 18- TIKET KESEMPATAN

TIKET KESEMPATAN

Dara dan Abrial telah sampai di lantai 3, ruangan Barra. Benar, sepertinya akan ada pertunjukan konser alias teriakan Barra yang memarahi anak buahnya yang tidak becus bekerja. Abrial meminta Dara untuk masuk terlebih dulu.

"Masuk Ra, gua nyusul." kata Abrial.

Dara mengangguk, lalu ia ketuk pintu ruang kerja Barra. Jawaban 'masuk' pun terdengar, Dara segera membuka pintu dan mulai memasuki ruangan. Belum selesai menutup pintu, Barra sudah berdiri dengan tangan berkacak pinggang.

Barra berdehem, lantas membuat Dara segera menutup pintu cepat dan memajukan langkah ke hadapan Barra. Tanpa basa-basi Barra segera berbicara ke intinya.

"Apa kamu tau kesalahanmu?" tanya Barra dengan penekanan.

"Tau Pak," jawab Dara.

"Bagus! Kenapa Anda selalu membuat saya kesal, marah dan darah tinggi!" teriak Barra sembari menarik pelan rambutnya.

"Pak, m-maaf." ucap Dara sesenggukan.

Abrial yang mendengar suara Dara parau, pun memasuki ruang kerja Abrial.

"Apa!" tatap Barra sinis kepada Abrial yang masuk.

"Sudah Barr, namanya juga manusia dia juga baru lulus sekolah. Wajar dong." bela Abrial.

"Setidaknya jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Bisa-bisanya dia bersikap bodoh di depan papah. Mampus gua pulang-pulang kena omel." sahut Barra.

"Kamu saya kenakan SP 1. Sampai 3 kali kamu tetap ceroboh, tidak becus, dan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak tanggung-tanggung kamu saya pecat!" bentak Barra.

Dara makin sesenggukan, ia sedih teringat perjuangannya merantau untuk melunasi hutang operasi Pricilla, yang berjuang melawan penyakit di kampung.

"Sudah ayok keluar dari ruangan Barra sekarang," perintah Abrial kepada Dara.

Dara pun segera pergi, dan mengucapkan pamit. Ia berlari menjauh. Abrial mendekati Barra, dan menatapnya lekat. Ia paham jika Barra sedang ada masalah, karena tempramennya begitu buruk.

"Kenapa sih Barr? Tempramen lo dikontrol dong, karyawan baru bisa out gara-gara bosnya galak." ucap Abrial.

"Adik gua, dia seperti menyembunyikan sesuatu." jawab Barra.

"Apalagi Tuhan, profesional dong kerja ya kerja jangan bawa masalah rumah ke kantor." sahut Abrial sembari memukul meja.

Lalu ia berjalan keluar meninggalkan Barra. Barra hanya menatap kesal kepergian Abrial.

"Eh! Kurang ngajar ya lo! Tidak menghormati atasan." teriak Barra sembari membuang muka.

Dara tidak kembali ke ruang kerjanya, ia memilih duduk di kursi taman belakang kantor. Disana ia menangis sejadi-jadinya, lalu ia mencoba menelepon Pricilla.

'Berdering.'

Panggilan suara itu pun terjawab.

"Halo, Dara?" sapa Pricilla.

"Halo bi, apa kabar bibi disana? Sehat?" jawab Dara sembari menahan isak tangisnya.

"Sehat, ya walaupun sekarang bibi sudah terbaring di atas kasur saja." balas Pricilla dengan suara yang begitu lemah.

Sepertinya memang operasi yang dilakukan beberapa waktu yang lalu tidak benar-benar menyembuhkan Pricilla, karena ternyata tumor yang berada di otaknya adalah tumor ganas.

Ketika bagian mereka diambil, justru mereka (tumor) bertambah dengan cepat sehingga tetap menimbulkan gejala seperti kejang-kejang.

"Kenapa bibi belum sembuh juga?" suara isakan Dara sudah tidak tertahan lagi.

"Ra, jangan menangis." ucap Pricilla khawatir.

"Tumor bibi cukup ganas, mungkin bisa sembuh tapi dalam 1 kali operasi. Dan itu tidak mungkin pasalnya dokter khawatir tubuh bibi yang tidak kuat, mengingat kondisi bibi yang lemah. Maka dari itu di ambillah sebagian, bukannya membaik tetapi berujung seperti ini." tambahnya.

"Tapi waktu itu d-dokter bilang bibi bisa sembuh setelah o-operasi, hiks-hiks."

"Iya, waktu itu belum diketahui tumor ganas. Baru diketahui seminggu yang lalu, bibi kejang-kejang hebat dan ternyata itu lah penyebabnya. Untuk biaya operasi kan sudah tidak ada, jadi bibi meminta obat jalan saja hanya untuk penangkal sakit sementara."

Dara makin tak kuasa menangis, ia lalu berbohong mengatakan jika ada atasannya datang tiba-tiba. Dan ia pun berjanji gaji pertamanya nanti akan ia transfer kepada Pricilla secepat mungkin.

Di tengah ia menangis, tiba-tiba ada panggilan suara dari Abrial. Dara pun mengangkat tanpa menjawab.

"Ra, jika ada nomor asing itu nomor Abian. Dia mau bicara sama lo." ucap Abrial. Seketika sambungan telepon pun terputus begitu saja.

Betul saja, nomor asing melakukan panggilan telepon ke ponsel Dara. Jari Dara refleks menerima, dan menyapa seseorang disana.

"Halo," ucapnya lembut.

"Gua Abian Ra, nanti gua jemput lo. Mulai hari ini tinggal di rumah gua ya. Barang-barang lo semua sudah dibereskan bibi semua." jawab Abian.

Dara pun mengiyakan, lalu ia segera kembali bekerja karena sisa jam kerjanya hanya 2 jam saja. Waktu pun berjalan, tak terasa Dara sudah waktunya pulang. 2 jam jika dikerjakan dengan membersihkan toilet dan membersihkan kaca pun terasa sangat cepat.

Di luar kantor, Dara sudah ditunggu oleh Abian beserta Alvan. Dara yang memang melihat mereka, segera menghampiri dan memasuki mobil Abian. Alvan seketika langsung merengek ingin bergelayut manja kepada Dara.

Dara dengan senang hati, memangku Alvan. Dalam perjalanan Abian dan Dara saling diam, hanya Alvan lah yang berbicara terus menerus dengan bahasa bayi. Tak lama, mereka sampai. Dara segera turun sembari menggendong Alvan.

Sedangkan Abian menurunkan barang-barang yang mereka bawa, dibantu oleh asisten rumah tangga Abian. Tentu rumah Abian menjadi sorotan hangat bagi Dara, ternyata rumah Abian tak kalah mewah dengan rumah milik Abrial.

Hanya saja yang membedakan, rumah Abian bernuansa Jepang walaupun di dalam kompleks perumahan elit. Sungguh pemandangan yang indah bagi Dara. Beralih ke Abian yang sudah membawa barang masuk, ia segera memanggil Dara yang masih terpaku di halaman depan.

Sontak Dara sadar akan dirinya yang sangat terbuai dengan keindahan, ia segera berlari kecil menghampiri Abian. Lalu mereka berjalan memasuki rumah, dan menunjukkan posisi kamar Dara.

"Ra, kamarmu disini ya bersebelahan dengan kamar saya." ucap Abian.

"Sengaja saya pisahkan, jika disana kamar asisten rumah tangga bukan babysitter." tambahnya.

Dara yang menyimak, pun ikut menoleh arah yang ditunjuk Abian. Ternyata benar, kamar babysitter ia sediakan khusus.

"Baik Bang." jawab Dara.

"Ya sudah, lo istirahat dulu aja. Nanti kalo sudah terasa enakan, ajak main Alvan ya." balas Abian sembari mengambil alih anaknya dari Dara.

"Siap." jawab Dara sambil tersenyum.

Ia segera membalikkan badan dan membuka pintu kamarnya. Pemandangan mewah 2 kali lipat, dibanding kamar pembantu di rumah Abrial sudah menjamunya di depan mata. Namun, Dara memilih untuk tetap tenang. Begitu pintu ia tutup, Dara segera melompat-lompat dan mulutnya terus saja menganga tak percaya.

Terdapat AC yang terpajang di atas, lalu ada juga televisi yang ditaruh di meja depan ranjang. Meskipun ukuran kasurnya lebih kecil dari ukuran kasur di rumah Abrial, tetapi fasilitas AC dan televisi jauh lebih mewah menurut Dara.

Apalagi di dalam lemari pakaian, sudah ada sepaket sprei; kasur, guling dan bantal. Tidak lupa selimut tebal layaknya di dalam hotel. Dara pun sangat bersyukur, ia segera merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Tangannya pun menggapai tombol remote AC, berbekal ilmu mengarangnya ia tekan-tekan semua tombol satu-persatu.